POKOK BAHASAN I
ILMU
PENGETAHUAN PEMERINTAHAN
(KYBERNOLOGI)

Pemerintahan adalah suatu sistem
dari gerak semua fungsi yang ada di satu masyarakat negara yang mempunyai
wilayah tertentu yang digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan
meliputi bidang-bidang kejasmanian dan kerohanian. Aristoteles (384-322 SM) dalam bukunya
Politica menyatakan negara adalah suatu masyarakat paguyuban yang paling tinggi
di atas masyarakat-masyarakat paguyuban lainnya yang bertujuan mencapai
kebaikan yang paling tinggi dan mulia di atas tujuan-tujuan masyarakat
paguyuban (gemeinschaft) di dalamnya.
Pemerintah tidak akan mempunyai
peran manakala tanpa adanya pemerintahan karena pemerintah menunjukkan lembaga
yang tidak dinamis sedangkan pemerintahan merupakan kegiatan / proses aktivitas
pemerintah. Pemerintahan mempunyai arti untuk menggerakkan sesuatu, pemerintah
sebagai kata benda, sesuatu kekuasaan untuk memerintah suatu negara, sedangkan
pemerintahan adalah suatu kegiatan proses atau suatu produk bagaimana
menjalankan perbuatan pemerintahan dari suatu negara.
Menurut W.S. Sayre (1970: 7)
“Government is best
defined as the organized agency of the state empressing and execing its
authority”
Artinya pemerintahan sebagai
lembaga negara yang terorganisir yang memperlihatkan dan menjalankan
kekuasaannya.
Jadi ilmu pemerintahan merupakan
suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memimpin hidup bersama manusia ke
arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang secara sah.

Taliziduhu
Ndraha, Kybernolog, dalam
makalahnya yang berjudul Kerangka Strategik Standarisasi Kompetensi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menyampaikan kualitas pemerintahan dari
pendekatan Kybernologi. Menurut pendekatan
Kybernologi, setiap masyarakat adalah sebuah satuan kultur. Ia digerakkan oleh tiga subkultur,
yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial
(SKS). SKS berkualitas tiga, konstituen, terjanji, dan pelanggan. Interaksi
antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance). Di mana ada
masyarakat, di situ terdapat pemerintahan. Pemerintah hanya salah satu di
antara tiga pemeran atau pelaku pemerintahan (Gambar 6). Pelaku lainnya adalah
pelaku ekonomi dan masyarakat pelanggan. Fenomena masyarakat dan pemerintahan
merupakan objek materia bagi semua cabang ilmupengetahuan sosial, termasuk
Kybernologi, sementara sisi manusia pada fenomena itu merupakan objek forma
Kybernologi, yang membedakannya dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya
(Lihat Bab I Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010). Pemerintahan
didefinisikan sebagai proses interaksi antar tiga subkultur masyarakat untuk
mencapai kemajuan hidup berkelanjutan (Gambar 1). Proses interaksi itu terdiri
dari enam rute yang bergerak terus-menerus. Tanpa salah satu rute itu,
pemerintahan tidak terjadi. Keseluruhan rute itu menunjukkan kualitas
pemerintahan dengan enam rute sebagai dimensi-dimensinya. Perlu dikemukakan
bahwa urut-urutan rute itu tergantung, bisa dimulai dari mana saja. Bisa dari
pembentukan nilai oleh SKE, dan bisa juga dari pembentukan SKK oleh SKS. Jika
dimulai dari pembentukan SKK oleh SKS, maka urutan dimensi-dimensi kualitas
pemerintahan adalah:
- Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu
- Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumbersumber
- Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan
- Redistribusi nilai kepada SKS oleh SKK (penepatan janji) 5. Monev kinerja SKK oleh SKS
- Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (dari sini kembali ke rute 1)

Pemerintahan
(governance) berlangsung untuk membuahkan kinerja pemerintahan, yang dapat
disingkat dan disederhanakan yaitu kehidupan masyarakat berkelanjutan. Kinerja
pemerintahan disebut berkualitas good, jika kehidupan masyarakat berkelanjutan
itu menunjukkan kemajuan yang konsisten, dan sebaliknya bad, jika menunjukkan
gerak melambat (melemah) ketimbang masyarakat yang lain, maju-mundur atau
timbul-tenggelam. Governance yang
kinerjanya berkualitas good, disebut good
governance.

Menurut
pendekatan tradisional politik, pemerintah atau eksekutif adalah satu di antara
lembaga-lembaga pemangku kekuasaan Negara. Pendekatannya menggunakan pendekatan
kelembagaan politik. Pemerintahan adalah semua yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah. Sejajar dengan ini, pemerintahan daerah
didefinisikan sebagai apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah daerah. Tetapi UU 32/04 berbicara lain. Pasal 1 butir 2 dan 3 UU
32/04, menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah
dan DPRD. Walau demikian, yang disebut pemerintah daerah hanyalah Kepala Daerah
dan jajarannya. Ketentuan itu berarti, pemerintahan daerah lebih luas ketimbang
apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu kepala
daerah beserta

perangkatnya,
satu di antara dua penyelenggara pemerintahan daerah (yang satu lagi DPRD).
Seperti telah dikemukakan di atas, Kybernologi memandang pemerintahan sebagai
fenomena sosial. Di mana ada masyarakat, di situ terdapat pemerintahan
(governance). Pemerintahan adalah interaksi antar tiga subkultur (subkultur
ekonomi, SKE, subkultur kekuasaan, SKK, dan subkultur sosial, SKS, yang juga
disebut subkultur kepelangganan, SKP) yang menggerakkan masyarakat itu untuk hidup
maju berkelanjutan. Kekuatan itu disebut subkultur karena setiap masyarakat
merupakan sebuah kultur. Jika kinerja interaksi itu berkualitas good, maka
governance itu disebut good governance. Jika sebaliknya, disebut bad
governance. Jadi definisi good governance di sini jauh berbeda dengan definisi
yang selama ini dikenal. Dengan demikian, pemerintahan daerah adalah local
governance. Sementara itu, menurut

Pasal
1 butir 6 LTLJ yang sama, daerah adalah masyarakat juga. Melalui pendekatan
Kybernologi pemerintahan didefinisikan terlebih dahulu. Karena pemerintah
daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah, maka definisi pemerintah
daerah terikat pada definisi pemerintahan daerah itu. Standardisasinya pun
demikian juga.
Sudah
merupakan hukum alam, pada gilirannya pemerintahan daerah adalah komponen atau
subsistem sebuah sistem yang lebih besar, sementara pemerintahan daerah itu
sendiri terdiri dari berbagai subsistem. Pada sistem terbuka, perubahan pada
suatu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya, sehingga oleh gerak
subkultur terjadilah dinamika masyarakat dari kondisi heterostasis ke kondisi
homeostasis, dari homeo- kembali ke hetero- , demikian terus-menerus. Dinamika
masyarakat itu bisa diperkuat atau diperlemah, dipercepat atau diperlambat,
arahnya juga bisa diubah dan dikendalikan, bahkan kaitan antar subkultur bisa
ditiadakan setidak-tidaknya dihambat, oleh intervensi kepentingan politik
kekuasaan. Tandatandanya: kontrol sosial dan opini publik dalam masa damai,
ditanggapi sebagai penghinaan, pencemaran, penyerangan terhadap simbol-simbol
Negara, sehingga dianggap sampah. Sistem berubah menjadi sistem tertutup.
Pemerintahan beruba.h menjadi defensif. Negara terisolasi dari lingkungannya.
Rezim pemerintah mencampakkan pelanggannya sendiri karena dianggapnya melawan.
Tinggal menunggu waktu menjadi paranoid government (William A Cohen & Nurit
Cohen, The Paranoid Corporation and 8 Other Ways Your Company Can Be Crazy,
AMA, NY) 1993). Manakala ini terjadi, Negara kehilangan enerji dari lingkungan.
Pemerintah lantas memakan lemaknya sendiri. Gampang. Pemerintahn berubah
menjadi monster, kanibal. Pemerintah setambun apapun, pada saatnya ia menjadi
kurus dan akhirnya kalau tidak gila, mati.
Pemerintahan
daerah bergerak pada tiga dimensi, yaitu dimensi substansi (pemenuhan kebutuhan
pelanggan), dimensi lokasi, dan dimensi waktu (proses: ada yang boleh serentak
dan ada yang harus berurutan dan bagaimana urut-urutannya, cepat dan lambat).
Dilihat dari sisi itu, tiada satupun kegiatan pemerintahan daerah

yang
terlepas satu dengan yang lain. Mengingat pemerintahan daerah merupakan
subsistem pemerintahan nasional, dan semua terjadi pada lokasi yang sarna,
berhubungan antar substansi itu ada yang dependen, interdependen, tetapi tidak
ada yang independen sama sekali. Dalam hubungan itu keberhasilan kegiatan yang
satu bisa mendukung clan juga bisa merusak keberhasilan kegiatannya lainnya,
langsung maupun tidak. Kemungkinan kedua inilah yang sering terlihat. Oleh
sebab itu, walaupun tiap daerah bersifat otonom, ketika daerah yang satu
melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan yang diperkirakan berdampak antar
daerah, ia harus berkoordinasi dengan daerah lainnya. Hubungan tiga dimensional
dependensi dan interdependensi antar kegiatan tersebut perlu dibuat. Peta-buta
makronya dapat digambarkan seperti Gambar 4. Hubungan tridimensional satu
kegiatan substantive (mikro) diperlihatkan melalui Gambar 5. Gambar 4 dan
Gambar 5 menunjukkan hubungan tridimensional itu dalam bentuk rantai (sistem)
terbuka (lingkungan dalam Gambar 5 menunjukkan hubungan internal dan
eksternal). Hukum rantai berbunyi: "Kekuatan rantai sama dengan kekuatan
matarantainya yang terlemah." Gambar 2, Gambar 4 dan Gambar 5 di atas
itulah peta dasar standardisasi kompetensi pemerintahan daerah.

Gembar
1 menunjukkan bahwa pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun daerah,
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari enam kualitas atau karakteristik yang
menjadi komponen-komponennya, sekaligus sasaran objektif kompetensi
penyelenggaraannya, yaitu:
- Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu/pemilukada (control SKS terhadap SKK di hulu)
- Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumbersumber dengan seadil-adilnya
- Pembentukan nilai oleh SKE, di dalamnya termasuk pembangunan
- Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (penepatan janji, kontrol SKS terhadap SKK di tengah, jika tidak menepati jainji, SKK dinilai wanprestatie) 5. Monev kinerja SKK oleh SKS
- Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini hasilnya kembali ke rute 1)
Oleh
karena penyelenggara pemerintahan daerah itu terdiri dari Pemerintah Daerah dan
DPRD, maka kedua lembaga itu wajib memiliki kompetensi untuk menjalankan 6
komponen sistem tersebut di atas.
Kata
kunci di sini adalah kompetensi. Competence (competency) selalu terkait dengan
skill, skill terkait dengan suatu job, job dengan kinerja, kinerja dengan
pelanggan, dan pelanggan dengan negara. Arti competence sederhana: the
quality of being competent. Competent berarti having suitable or sufficient
skill, knowledge, experience, etc; properly qualified." Skill atau
keterampilan adalah istilah umum yang berisi kualitas yang bervariasi mulai
dari tingkat rendah sampai pada tingkat tinggi (keahlian, kepakaran), dengan
menggunakan anggota badan, alat sederhana, sampai pada alat yang paling rumit,
bahkan penuh misteri.
Dalam
tulisan lain, misalnya Bab II dan Bab III Kybernologi Sebuah Panggilan
Masadepan (2010) disimpulkan bahwa mengingat posisi dan peran Kemendagri yang
istimewa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, penyelenggara
pemerintahan dalam negeri memerlukan kompetensi tingkat tinggi yang kuat berisi
keahlian umum (generalist) professional "serbacuaca." Sudah barang
tentu kompetensi tersebut merupan buah penanaman sistem nilai kepamongprajaan
yang dilakukan oleh penyelenggara sistem pendidikan tinggi kepamongprajaan
berbentuk institut yang dianggap pas, dan tidak berbentuk sekolah yang di masa
lalu terbukti kesempitan bagi sebuah missi besar yang hendak menjangkau masa
depan yang panjang dalam kancah perubahan global yang serba cepat.
Kompetensi
atau keterampilan adalah cara paling efektif dan efisien menghasilkan suatu
nilai. Keterampilan adalah sebuah proses. Proses (untuk) apa? Proses untuk
mencapai 6 sasaran objektif penyelenggaraan pemerintahan di atas. Dilihat dari
perspektif Kybernologi, pada hakikatnya pemerintahan daerah adalah proses perlindungan
hak asasi manusia dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Perlindungan dan
pemenuhan itu semacam proses produksi, dan nilai atau sistem nilai adalah
produknya. Pasal 13 dan 14 LTU 32/04 seharusnya menyatakan produk-produk yang
merupa.kan kebutuhan dasar masyarakat dan hak-hak asasi manusia secara
definitif dan enumeratif, sebagaimana halnya sebuah bank atau perusahaan
menawarkan produk-produknya secara definitif dan enumeratif kepada masyarakat
(pelanggan). Proses produksi nilai-nilai itu (Gambar 5) merupakan sebuah rantai
terbuka bersifat siklik (cyclic), terdiri dari terminal (1 sd 8) dan rute (a sd
g). Terminal 5 mengandung nilai ideal. Dilihat dari satu sisi, implementor
(rute c) yang langsung menghasilkan output, sedangkan dari sisi lanjutan, nilai
yang diharapkan (3) bergantung pada pelanggan (5). Perbandingan antara 3 dengan
7, apakah 7>3, 7<3 atau 7=3 menunjukkan tingkat nilai nyata kebijakan
tentang substansi terkait. Oleh sebab itu, pembelajaran tentang kompetensi
tidak hanya sefihak (sisi pemerintah) tetapi duabela.h fihak (termasuk fihak
yang diperintah). Manalah bisa terjadi tepukan dengan sebelali tangan!
Dengan
memperhatikan hukum rantai di atas, segala kualitas yang dimiliki oleh
implementor dan pelanggan sehingga nilai ideal kebijakan terbentuk menjadi
nilai nyata (Gambar 5, terminal 8) yang efektif dan efisien, disebut kompetensi
(Gambar 6). Perilaku kompetensi terlihat pada beberapa penampilan. Penampilan
itu diperlihatkan pertama kali dalam Gambar 5 dalam Bab II Kybernologi Sebuah
Panggilan Masadepan (2010), kemudian dikembangkan dalam Gambar 5 dalam Bab II Hak
Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Lihat juga Bab IX Kybernologi Sebuah
Titipan Sejarah (2010).
Bab
III Kybernologi Sebuah Panggilan Masadepan menjelaskan 10 kompetensi
kepamongprajaan seperti terangkum dalam Gambar 6:
- Pamongpraja adalah pengamong pemerintahan. Kompetensi ini menuntut pamongpraja untuk memihak fihak pelanggan negara
- Pamongpraja adalah professional pemerintahan. Kompetensi ini mengharuskan pamongpraja untuk menguasai asas-asas profesionalisme, dan menggunakan Kode Etik Kepamongprajaan sebagai pola perilakunya seharihari
- Pamongpraja adalah kader pemerintahan civil. Ketentuan itu diperlukan untuk menjaga kemurnian sikap pamongpraja terhadap kekuasaan. yaitu pamongpraja bersikap civil dalam "segala cuaca"
- Pamongpraja adalah korps. Pamongpraja adalah sebuah "body," badan yang utuh jiwa-raga, diikat oleh semangat korps, kesiapan untuk menjunjung tinggi keluhuran profesi kepamongprajaan, kesediaan untuk mengontrol dan
- mengoreksi diri sendiri, dan tidak melindungi sesama yang melanggar hukum dan mencemari kode etik kepamongprajaan
- Pamongpraja adalah garisdepan pemerintahan. Kompetensi ini menuntut pamongpraja untuk hadir di mana-mana, di belakang, di tengah, dan di depan, dan memiliki tanggungjawab di masa lalu, masakini dan
- masadepan. Di mana pamongpraja hadir, di situlah garisdepan pemerintahan! 6. Pamongpraja adalah dinas dan jabatan karier, Makna kompetensi ini ialah, kepamongprajaan tidak terbatas pada masajabatan (lifelong career), dinas 24 jam sehari, dan pengabdiannya kepada masyarakat utuh seumur hidup
- Pamongpraja adalah pemangku pemerintahan umum. Pemerintahann umum adalah pemangku fungsi generalis (generalist function) yang mengikat dan menjadi semacam "superstruktur" bagi pemangku fungsi specialist pemerintahan. Selaku generalis, profesi kepamongprajaan menuntut tidak hanya keahlian khusus, tetapi terlebih keahlian umum
- Pamongpraja adalah lembaga dekonsentrasi. Lembaga dekonsentrasi adalah simbol pemerintahan pusat sebagai wujud bentuk Negara kesatuan. Lembaga ni harus semakin kuat dengan semakin otonomnya daerah-daerah, guna mengarahkan kemaj uan daerah otonom pada kesebangsaan Indonesia (tunggal ika) melalui proses konvergensi
- Pamongpraja adalah matarantai permanen antar siklus politik. Kompetensi ini sangat penting sebagai pengawal Negara, guna menjaga agar pada suatu saat tidak terjadi kekosongan kekuasaan, akibat kondisi luarbiasa tertentu. Hal ini terkait erat dengan penegakan kode etik kepamongprajaan yang telah dikemukakan dalam Bab II bagian 8 Kybernologi, HAM dan Kepamongprajaan (2010)
- Pamongpraja adalah kekuatan pengikat pusat dengan daerah
Sebagai
kekuatan pengikat pusat dengan daerah, pamongpraja
- Berjiwa kenegarawanan (statesmanship), bukan kewirausahaan (salesmanship)
- Berdiri di atas semua kepentingan, bahkan tidak berkepentingan sendiri. c. Menjadi pamongpraja adalah pilihan bebas, keputusan nurani terdalam, dan disadari sedini mungkin sejak awal, sehingga kondisi profesi kepamongprajaan yang menuntut kesederhanaan dan pengorbanan tidak dijadikan alasan pelanggaran hukum dan pengabaian tugas apapun jua
- Berfungsi linkage antara proses divergen dengan proses konvergen berada di tangan pamongpraja
Setiap
kompetensi di atas memiliki dimensi-dimensi kompetensi. Dilihat dari sisi lain,
dimensi-dimensi itu dapat juga disebut sebagai syarat bagi kompetensi yang
efektif (dimensi-dimensi efektivitas kompetensi). Dimensi-dimensi itu sebagai
berikut:
- Dasar hukum (legalitas kompetensi) dari instansi yang berwewenang. Sudah barang tentu, dasar hukum didahului dengan kebijakan tertentu yang memberikan berbagai bahan pertimbangan dan keputusannya
- Isi kompetensi, yaitu kemampuan-kemampuan potensial (keterampilan, keahlian, dsb, yang diperlukan yang membentuk 10 kompetensi adi atas) yang dibutuhkan dan diperoleh me lalui diktat, yang disebut juga kompetensi akademik
- Kompetensi sosial (akseptabilitas diri pelaku di tengah masyarakat pelanggan), yaitu kemampuan untuk mengenal pelanggan sedalam-dalamnya melalui empati setulus-tulusnya
- Kompetensi etikal-moral, yaitu pribadi pelaku yang utuh, terpercaya dan bertanggungj awab
- Kompetensi jasmani-dan-rohani (kesehatan, emosi stabil, dsb). Pamongpraja harus benar-benar menjaga kesehatan fisik dan jiwanya, bergaya hidup sederhana, menjauhi konsumsi terlarang seperti rokok, miras dan sebangsanya
- Penggunaan (aktualisasi) kompetensi secara operasional-pro fessional (disebut juga kompetensi professional). Profesionalisme itu berawal pada ilmu pengetahuan dan berakhir pada kompetensi teknikal, kompetensi artistik, dan kompetensi kreatif yang nyata, sehingga menghasilkan nilai yang diharapkan. Hal ini memerlukan manajemen kompetensi seperti Gambar 7. 7. Manajemen kompetensi
Manajemen
kompetensi (Gambar 7) meliputi 12 terminal (1 sd 12) dan 12 rute (a sd 1). Cara
bekerja terminal itu berturut-turut sebagai berikut:
1.
Kybernologi menjelaskan enam kualitas pemerintahan, yaitu:
1) Pembentukan
SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu/pemilukada (control SKS terhadap
SKK di hulu)
2) Penjanjian
oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumber-sumber dengan
seadil-adilnya
3) Pembentukan
nilai oleh SKE, di dalamnya termasuk pembangunan
4) Redistribusi
nilai oleh SKK kepada SKS (penepatan janji, kontrol SKS terhadap SKK di tengah,
jika tidak, SKK dinilai wanprestatie)
5) Monev
kinerja SKK oleh SKS
6) Pertanggungjawaban
SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini hasilnya kembali
ke rute 1)
2.
Melalui rute penimbangan, terungkap nilai tiap kualitas
3.
Penanaman nilai di dalam diri calon pamongpraja dilakukan melalui Sistem
Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (SPTK)
4.
Output SPTK adalah pamongpraja
5.
Melalui pemberian dasar hukum, pamongpraja beroleh kompetensi untuk
menyelenggarakan governance (dengan enam kualitas di atas)
6.
Penyelenggaraan tersebut (interaksi antar tiga subkultur masyarakat) diharapkan
menghasilkan kinerja yang kualitasnya good (good governance, GG)
7.
Interaksi antar tiga subkultur masyarakat berlangsung melalui fungsi organisasi
pemerintahan (Gambar 6)
8.
Dalam melakukan tugas dan memenuhi tanggungjawabnya, pamongpraja memegang teguh
Kode Etik Profesional Kepamongprajaan (Bab II Kybernologi: HAM dan
Kepamongprajaan, 2010)
9.
Dari interaksi tiga subkultur keluar kinerja pemerintahan 10. Kinerja itu
sebagaimana dirasakan oleh pelanggan

11.
Dari monev pelanggan, keluarlah sikap: percaya atau tidak percaya kepada
Negara, berpengharapan atau berputusasa
12.
Melalui feedback, pernyataan sikap itu menjadi masukan balik bagi negara
Jika
dimensi-dimensi itu dipandang sebagai unsur-unsur yang saling terkait,
keseluruhan dimensi itu selanjutnya dapat disebut sistem kompetensi. Dimensidimensi
itulah yang harus dipenuhi oleh insan penyelenggara agar dapat meman kompetensi
(berkompeten) tertentu, sekaligus sebagai komponen yang menjadi sasaran
penilaian tenaga yang bersangkutan dari waktu ke waktu.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja governance
telah diuraikan dalam Bab I Kybernologi: HAM dan Kepamongprajaan (2010). Di
sana dikemukakan bahwa governance (interaksi
antar tiga subkultur masyarakat) dengan enam dimensi dipengaruhi oleh lima
faktor kritik governance, yang
menimbulkan variabilitas kinerja pemerintahan, seperti Gambar 8. Kelima faktor
itu adalah:
- Keselarasan yaitu tingkat ketepatan waktu dan arah tiga subkultur pada tujuan bersama jangka panjang, sehingga keberhasilan yang satu tidak merusak tetapi sebaliknya mendukung keberhasilan yang lainnya
- Keseimbangan yaitu tingkat bargaining power dan keluasan pengambilan kesempatan berperan yang relatif sama antar tiga subkultur pada suatu saat, mengingat hukum rantai yang menyatakan bahwa kekuatan sebuah rantai sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah
- Keserasian yaitu tingkat empati (empathicability, ethicality) sikap dan harmoni kinerja tiga subkultur yang berbeda-beda, pada suatu saat
- Dinamika yaitu tingkat kecepatan dan ketepatan perubahan (adaptabilitas) hubungan antar subkultur dari kondisi heterostasis ke homostasis dan sebaliknya.
- Keberlanjutan (kelestarian, kesinambungan, keterusberlangsungan), yaitu tingkat kelancaran proses jangka panjang interaksi antar tiga subkultur sesuai dengan norma (standar) yang (telah) disepakati bersama sejak awal, oleh rezim lima tahunan yang berbeda-beda, sebagaimana terlihat pada tiga subkultur satu dibanding dengan yang lain, dan kondisi interaksi antar tiga subkultur tersebut menurut rute sebagaimana ditunjukkan oleh angka 1 sd 6 pada Gambar l. Keberlanjutan yang dimaksud tidak harus oleh rezim yang sama, sebab justru perubahan lingkungan yang cepat bahkan mendadak menuntut perubahan rezim!
Di
negeri yang sudah maju, kompetensi itu sudah mendarahdaging pada setiap tenaga
kerja, sudah menjadi budaya, tetapi di Indonesia yang budaya kerjanya masih
lemah dan pada umumnya terkebelakang, kata kompetensi, sama dengan kata visi,
telah menjadi mantra sakti, mewah, mahal, namun di samping tidak utuh dan tidak
bulat, juga terkesan hanya formalitas belaka. Tidak utuh artinya bidang
kompetensi yang satu dengan yang lain tidak seimbang, tidak bulat artinya
setengah-setengah, tidak sistemik. Disalahgunakan, bahkan jadi komoditi
politik! Lagi pula bukan hanya itu. "Being
competent" (seumpama panen) memang penting, tetapi "becoming competent" jauh
lebih penting lagi (seumpama mulai dari menanam).

Standar
ada dua macam: tolak-ukur (mulai dari nol, objektif) dan tolak-ukur
(perbandingan, relatif). Standar berfungsi sebagai tolak- dan tolok-ukur,
dayatarik dan dayadorong, harapan (das Sollen) untuk dikejar, sepakatan antar
stakeholders, khususnya antara provider dengan pelanggan, norma hukum (formal)
atau ikatan,

pegangan
bagi para aktor pemerintahan dalam providing layanan (kewajiban, wewenang dan
tanggungjawab) dan pegangan bagi pelanggan dalam menuntut hakhak serta
memperjuangkannya bila perlu. Standar sebagai norma berproses menurut model
Gambar 9. Manajemen pelayanan mengenal fungsi, proses pengubahan atau
transformasi, rute, matarantai atau networking, dan siklus (Gambar 5).
Semuanya
harus distandardisasi (standardisasi total), namun implementasinya harus
bertahap sesuai dengan tingkat keberdayaan masyarakat, baik pada level makro
maupun mikro. Untuk itulah diperlukan kesepakatan antara pelanggan dengan
provider. Jadi implementasi standar berjalan dari kesepakatan ke kesepakatan.
Artinya standardisasi kompotensi harus didukung (didahului) dengan pemberdayaan
masyarakat pelanggan produk yang untuk memroduksinya kompetensi itu diperlukan.
Dasar Manajemen Kompetensi adalah kebijakan pemerintahan yang telah ditetapkan
pada level nasional, yang memenuhi pengertian standar dan standardisasi di
atas. Standardisasi bermula pada konstitusi, dan difahami menurut perspektif
Kybernologi. Perspektif Kybernologi memahami konstitusi berdasarkan Hak Asasi
Manusia (HAM), dan tidak semata-mata menurut penafsiran rezim politik yang
sedang berkuasa. Artinya, jika UUD menetapkan bahwa "Tiap-tiap warganegara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," maka
kecuali ketentuan itu diubah oleh pembuat UUD, tiada suatu kebijakan
pemerintahanpun yang bisa berakibat seseorang kehilangan pekerjaannya.
Hal
itu lebih lanjut berarti pemerintah wajib terus-menerus menjalankan program
ekonomi berefekganda terbukanya lapangan kerja, meningkatnya kemampuan warga
untuk memasuki lapangan kerja dan menempuh transformasi lapangan kerja.
Kesediaan lapangan kerja, keterbukaan kesempatan kerja, dan keberdayaan warga
menempuh transformasi lapangan kerja adalah tiga produk standar konstitusional
di bidang lapangan kerja. Demikian juga halnya dengan produk-produk lain yang
ditetapkan dalam UUD. Kompetensi tidak terlepas dari produk yang produksinya
memerlukan kompetensi yang bersangkutan. Jadi kompetensi yang distandardisasi
adalah kompetensi yang mutlak diperlukan untuk memproduksi dan menyampaikan
produk itu di tangan pelanggan. Standardisasi kompetensi bermula dari
standardisasi produk yang memerlukannya (kompetensi itu).
Jika
ditelusuri melalui rute Gambar 7, standardisasi kompetensi yang terletak di
terminal 5 diawali dengan standardisasi kinerja ideal pemerintahan (produk yang
diharapkan oleh pelanggan) yang terletak pada terminal 6. Standardisasi itu
berdasarkan anggapan dasar bahwa walaupun produk yang diharapkan dirancang
berdasarkan pesanan atau tuntutan pelanggan, mengingat posisi Negara sebagai
provider, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan, produk yang diharapkan
oleh pelanggan adalah produk yang ditawarkan oleh Negara. Konsekuensinya ialah,
pada saat suatu produk ditawarkan oleh Negara kepada pelanggannya, terbentuk hubungan
janji-dengan-percaya antara keduabelah fihak. Janji itu harus ditepati.
Hukumnya ialah Sekali Lancung Ke Ujian Seumur Orang Tak Percaya. Namun
Kybernologi mengonstruksi sebuah hipotesis yang berbunyi, pelanggan bisa tetap
percaya kepada Negara walaupun pelanggan kecewa akan produk yang diterimanya,
manakala Negara bertanggungjawab dan pertanggungjawabannya dapat disetujui pelanggan,
dan pelanggan tetap berpengharapan kendatipun ia tak berdaya, manakala Negara
konsisten berubah dan memihak pelanggan.

Contoh
standardisasi produk konstutusional sebagai berikut (Tabel 1). Standardisasi
kompetensi pemerintahan daerah berdasarkan UU 32/04 seharusnya dimulai dari
Pasal 13 dan 14. Jika perumusaannya menggunakan pendekatan kompetensi,
pasal-pasal itu tidak dirumuskan secara administratif dalam bentuk
tugas-pokok-dan-fungsi (TUPOKSI) seperti yang dilakukan selama lni, melainkan
dalam bentuk produk-dan-kompetensi (PROKOM). Sebab walau task accomplished, belum tentu pelanggan menerima layanan yang
dibutuhkannya. Kementerian Lingkungan Hidup dan fungsi administrasi lingkungan
sejauh ini dianggap lancarlancar saja, walaupun kerusakan lingkungan, bencana
longsor dan banjir bandang tetap saja membunuh ribuan jiwa. Yang diasalahkan
adalah curah hujan!
Jadi
langkah-langkan standardisasi kompetensi pemerintahan (daerah) sebagai berikut:
Pertama,
diidentifikasi siapa membutuhkan produk apa. Didefinisikan secara enumeratif
kebutuhan apa yang merupakan hak (rights) individu dan yang dirasakan (felt
needs) oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat. Hak atau kebutuhan definitif
itu disebut produk atau output yang diharapkan (dijanjikan). Definisi itu meliputi
dimensi-dimensi produk seperti kualitas, kuantitas, dsb), dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam atau menjadi konsekuensi dari produk, baik positif maupun
negatif untuk diantisipasi dan dikondisikan (outcome). Dimensi-dimensi itu
merupakan unsur-unsur perjaniian atau perikatan antara Negara dengan
pelanggannya.
Kedua,
diidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan untuk memroduksi atau membentuk
produk yang bersangkutan. Dalam hubungan itu diorganisasikan semua sumberdaya
input, yaitu semua sumber-sumber yang diperlukan guna mewujudkan produk yang
dijanjikan kepada individu atau kelompok sasaran. Misalnya sumberdaya waktu
diorganisasikan menjadi jadual atau kalender, sumberdaya uang diorganisasikan
menjadi anggaran, sumberdaya ruang diorganisasikan menjadi gedung, dan
seterusnya.
Ketiga,
disepakati dan ditetapkan bagaimana menjalankan kompetensi itu sehingga produk
yang dihasilkan efektif tiba di tangan setiap pelanggan (manajemen kompetensi)
ditetapkan secara tepat unsur-unsur struktur organisasi yang berfungsi sebagai
alat penghasil produk yang bersangkutan, yaitu lini (kepala dan pelaksana
operasional), staf, dan stakeholders dengan peran masing-masing. Dalam hubungan
itu, tenaga operasional (dari tangan siapa produk terbentuk dan keluar) yang terpenting
(aktor bagi pelayanan publik dan artis bagi pelayanan civil).
Keempat,
ditentukan dengan saksama, langkah dan prosedur penggerakan struktur dalam
rangka memenuhi tuntutan (hak atau kebutuhan) individu atau kelompok sasaran.
Dalam hubungan ini tugas aktor pelayanan publik relatif mudah ketimbang artis
pelayanan civil. Dalam pelayanan publik, pelanggan menyesuaikan diri dengan ketentuan
prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh provider (organisasi pengelola
pelayanan yang diwakili oleh aktor), sedangkan dalam pelayanan civil
sebaliknya, provider wajib menyesuaikan diri dengan kondisi pelanggan yang
berada dalam kondisi tertentu, misalnya situasi darurat, bahaya mendadak, atau
bencana tak terduga, sehingga pelayanan terhadap korban sepenuhnya tergantung
pada sang aktor.
Kelima,
disepakati dan ditetapkan hak dan kewajiban, wewenang dan tanggungjawab tiap
fihak, Negara dengan pelanggannya, sepanjang manajemen kompetensi. Dalam
hubungan itu, reward dan punishment wajib diperhatikan.
Keenam, ditetapkan bagaimana mengontrol
langkah dan prosedur tersebut beserta mekanisme feedback yang diperlukan guna
menegakkan aturan, mengendalikan perilaku aktor (rules of conduct), mengoreksi,
memperbaiki dan mengembangkan pelayanan, dilihat dari sudut pelanggan.
Bekerja
pada kebijakan dan organisasi yang sudah terpasang atau given, standardisasi dapat juga selanjutnya dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
- Pelajarilah hak individu manusia dan kebutuhan kelompok sasaran yang alat pemenuh dan pelindungnya ditetapkan dan ditawarkan melalui konstitusi, konvensi, dan aturan yang berlaku.
- Pelajari apakah semua upaya permenuh dan perlindung hak dan kebutuhan itu telah terbagi habis di dalam unit kerja (departemen, direktorat, dinas, UPT, dsb) yang ada.
- Produk-produk (dengan semua dimensi produk seperti kualitas, kuantitas, waktu, dsb) apakah yang (dapat) ditawarkan atau dijanjikan oleh setiap unit kerja. Sebagai contoh, Bank Mandiri menawarkan 13 macam produk: giro, tabungan, deposito, ATM, tele, kredit perorangan, kredit usaha kecil, penarikan tunai, setoran tunai, transfer, transaksi valas, layanan cek perjalanan, dan buku cek dan giro. Setiap unit kerja Daerah juga bisa menawarkan produk sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan Daerah.
- Tetapkan prosedur dan mekanisme yang harus ditempuh oleh pelanggan guna memperoleh produk yang bersangkutan pada saat diperlukan, dan prosedur serta mekanisme yang wajib diperhatikan oleh seorang aktor dalam melakukan tugasnya. Dalam hubungan itu penting diperhatikan bahwa mengingat pelayanan civil adalah kewajiban Negara, maka negaralah yang wajib mendistribusikan produk itu sampai ke tangan pelanggannya. Dalam hal pelayanan publik, prosedur distribusi tersebut disepakati bersama.
- Ditetapkan prosedur dan mekanisme kontrol terhadap langkah dan prosedur tersebut beserta mekanisme feedback yang diperlukan guna menegakkan aturan.
- mengendalikan perilaku aktor dan artis (rules of conduct), mengoreksi, memperbaiki dan mengembangkan pelayanan, dilihat dari sudut setiap stakeholder.

Standardisasi
kompetensi pemerintahan daerah merupakan modifikasi Gambar 1 berdasarkan Gambar
2 di atas. Kerangka strategik standardisasi kompetensi pemerintahan daerah
terlihat pada termilan 5 dan terminal 6 Gambar 7. Isi terminal 5 adalah 10
kompetensi (A sd K, huruf I tidak digunakan), dan isi terminal 6 adalah enam
komponen pemerintahan (di sana disebut enam kualitas) daerah, berisi produk
yang ditawarkan oleh negara (I sd VI). Jika variable kompetensi dan variable
produk diterapkan pada Gambar 2, maka pemerintahan daerah meliputi:
I.
Pembentukan SKK (penyelenggara pemerintahan daerah) oleh SKS (masyarakat
daerah) dengan cara tertentu, mis. pemilulpemilukada (control SKS terhadap SKK
di hulu)
II.
Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan daerah tentang pengendalian,
eksplorasi, eksploitasi, pelestarian, penciptaan dan distribusi sumber-sumber
(SDA, SDM, dan SDB termasuk anggaran) dengan seadil-adilnya berdasarkan
peraturan daerah, terkait urusan rumahtangga daerah (pasal 13 dan 14 UU 32/04).
Perjanjian ini di satu fihak antara pemerintah daerah selaku implementor
kebijakan daerah dengan DPRD, dan di fihak lain antara SKK (pemerintah daerah
dan DPRD) dengan SKS
III.
Pernbentukan nilai oleh SKE, berdasarkan kebijakan daerah, di dalamnya termasuk
pembangunan
IV.
Redistribusi nilai (implementasi kebijakan daerah) oleh pemerintah daerah
selaku implementor kebijakan Daerah (Gambar 2), kepada SKS, berdasarkan
peraturan kepala daerah, kontrol dan monev DPRD sehari-hari terhadap pemerintah
daerah di tengah (concurrent control). Ini nyaris mustahil di bawah sistem
politik perpartaian yang sentralistik!
V.
Monev kinerja SKK oleh SKS. Menurut Teori Politik hal ini dilakukan
oleh
DPRD. Tetapi seperti dikemukakan di atas (IV), hal ini nyaris mustahil. Oleh
sebab itu, menurut perspektif Kybernologi, monev oleh SKS terhadap SKK di
daerah lebih tepat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lihat Bab I,
Bab II, Bab III, dan Bab IV Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi,
2009. Sudah barang tentu, itupun berdasarkan anggapan, DPD tidak mewakili
partaipolitik melainkan mewakili masyarakat daerah
VI.
Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini
hasilnya kembali ke rute 1). Jika ternyata tidak menepati janji, SKK
(penyelenggara pemerintahan daerah) dinilai wanprestatie
Jika
yang satu direferensikan pada yang lain, terbentuklah tabulasi silang sebagai
berikut.

Gambar
10 meliputi dua variable standardisasi, yaitu kompetensi (A sd K) dan produk (I
sd VI). Silangan dua variable itu membentuk 60 sel atau entries. Sel 1 misalnya
merupakan kombinasi antara kompetensi A (pengemongan dengan segenap
kaidah-kaidahnya), dengan produk I (kebutuhan akan pemerintahan daerah yang
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan DPRD), yang dilakukan oleh
pemerintah (Negara) agar kebutuhan masyarakat akan pemerintahan daerah yang
baik itu dengan segala dimensi-dimensinya, terwujud menjadi kenyataan melalui
manajemen kompetensi. Sel 1 ini kemudian diisi dengan norma (standar) yang
terkait dengan dua variable itu. Kerangka standardisasi seperti itu disebut
strategik karena dipilih sebagai cara terbaik untuk mewujudkan tujuan tertentu
yang secara hukum mengikat fihalc-fihak terkait di dalamnya. Jika 60 sel itu
terisi semua, sebuah kerangka strategik standardisasi kompetensi total
pemerintahan daerah siap diterapkan dan ditegakkan di seluruh Indonesia.

Kajian
akademik yang menyumbangkan masukan ke dalam proses penetapan dan penegakan
standar kompetensi pemerintahan daerah, terdapat dalam Bab II Kybernologi
HakAsasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Hal itu terkait dengan posisi dan
peran strategik Kemendagri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam negeri.
Pemahaman tentang hal ini dilakukan menurut metodologi Kybernologi. UUD
mewajibkan Negara untuk mengakui dan melindungi HAM, dan memenuhi kebutuhan
dasar manusia. HAM itu bukan pemberian Negara, melainkan bawaan eksistensial manusia.
yang berdasarkan Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948 wajib
diakui dan dilindungi oleh setiap Negara. Menurut Kybernologi, kebutuhan dasar
manusia itu meliputi kebutuhan rohaniah dan kebutuhan jasmaniah (L. P. van de
Spiegel, Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen,
1796, sebagaimana dikutip oleh G. A. van Poelje dalam Algemene Inleiding tot de
Bestuurskunde, 1953, h. 15). Pengakuan dan perlindungan HAM, dan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia itulah urusan Negara, yang waj ib diproduksi oleh
Negara. Dalam hubungan itu Kybernologi memosisikan manusia penduduk suatu
Negara, dalam hal ini negara Indonesia, tidak sebagai warganegara, tetapi
sebagai pelanggan produk-produk Negara tersebut (lihat Kybernologi dan Metodologi:
Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010, h. 22). Per definisi, masyarakat pelanggan
adalah masyarakat yang berotonomi. Produksi pengakuan dan perlindungan HAM dan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah fungsi lini Negara. Pemegang fungsi
lini Negara disebut Eksekutif (lihat Gambar 1). Semua urusan lini Negara, oleh
Presiden yang memegang kekuasaan konsentratif menurut LJUD didekonsentrasikan
ke sejumlah kementerian, termasuk Kemendagri. Melalui dekonsentrasi itu semua
urusan lini Negara dikelompokkan menjadi berbagai urusan pusat, tiap kelompok
urusan diselenggarakan oleh satu kementerian. Penyelenggaraan urusan oleh pusat
terbentur pada berbagai faktor antara lain:
- Wilayah Negara yang sangat luas
- Wilayah berbentuk nusantara
- Masyarakat multikultur dan heterokultur
- Kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah yang semakin tajam
- Ketertinggalan di semua bidang kehidupan dibanding dengan negara lain
Pilihan
jatuh pada penerapan asas desentralisasi. Dengan penerapan asas tersebut,
urusan suatu kementerian dapat didesentralisasikan secara enumeratif dan definitif.
Konsekuensi bentuk Negara kesatuan, yang dapat didesentralisasikan hanyalah
implementasi kebijakan Negara tentang urusan tert dalam bentuk kewenangan, sementara
kebijakannya sendiri tetap di tangan Negara (pusat). Dalam Negara berbentuk
kesatuan, residu berada di tangan pemerintah pusat.

Gambar 11 : Dalam Negara Kesatuan,
Residu
Berada Di Tangan Pemerintah Pusat.
Ibarat
orang makan, residu itu adalah sisa makanan, cuci piring, dan sampah. Dan
pembayaran rekening! Semua kementerian di luar Kementerian Luar Negeri,
menyelenggarakan urusan (pemerintahan) dalam negeri, tetapi satu di antara
disebut Kementerian Dalam Negeri. Apa arti "dalam negeri" dalam hubungan
itu? Penerapan asas desentralisasi dalam bentuk kebijakan otonomi daerah,
mengubah seluruh masyarakat menjadi sejumlah satuan masyarakat berotonomi
daerah. Kecuali urusan yang secara kategorial diposisikan sebagai urusan Negara
(pusat, konsekuensi bentuk

Negara
kesatuan), dapat didesentralisasikan menjadi urusan rumahtangga daerah. Seluruh
masyarakat adalah pelanggan semua kementerian penyelenggara urusan dalam
negeri, yaitu :
VISI
(PENGLIHATAN BATIN) MISI TUJUAN (KESEPAKATAN)
Lahir dari
kesadaran Usaha mencapai
tujuan Ditetapkan berdasarkan
visi
BHINNEKA
------------------------------------------------TUNGGAL IKA
masyarakat
yang
|
proses
pengelolaan
|
sehingga
semua
|
masing-masing
|
keunikan
menjadi ke-
|
masyarakat
merasa
|
memiliki
keunikan
|
kuatan
matarantai
|
sebangsa
dan ber
|
sehingga
yang satu
|
dan
penguranqan ke-
|
sama-sama
memba
|
berbeda
dengan
|
senjangan
vertikal
|
ngun
masa depan
|
yang
lain; sepan-
|
dan
horizontal an
|
|
jang
sejarah per-
|
tar
masyarakat se
|
|
bedaan
itu menim-
|
cepatnya
melalui
|
|
bulkan
kesenjangan
|
perencanaan
jangka
|
|
vertikal
antar lapisan
|
panjang
|
|
masyarakat
dan kesen
|
|
|
jangan
horizontal
|
|
|
antar
daerah
|
|
|
Gambar
13 Model Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Misi Bangsa Indonesia
yaitu
yang bukan-Kementerian Luar Negeri (Gambar 12, segitiga DEF). Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, seluruh masyarakat yang berubah menjadi sejumlah
satuan masyarakat berotonomi daerah yang disebut daerah itu, ditempatkan di
bawah satu kementerian saja. Kementerian itu disebut Kementerian Dalam Negeri
(Gambar 12, segitiga ABC). Oleh sebab itu, urusan Kemendagri dan Pemerintahan
Daerah, dapat disebut urusan pemerintahan dalam negeri. Dilihat dari fungsi
lininya, posisi dan peran Kemendagri sangat strategis. Gambar 13 menunjukkan
visi dan misi bangsa Indonesia. Dalam sistem Administrasi Negara Indonesia,
kementerian manakah yang terdepan berperan menjalankan misi guna mewujudkan
visi di atas?
Kemendagri.
Sejumlah departemen/kementerian "teknis" berasal dari departemen ini.
Menterinya juga dikenal sebagai satu di antara triumvirate di samping Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
Pertahanan, dan berperan sebagai pembina politik dalam negeri. Dari dahulu
Kementerian Dalam Negeri mengelola sistem pemerintahan berdasarkan asas
dekonsentrasi, desentralisasi, dan pembantuan (medebewind). Tetapi yang
terpenting adalah misinya mengelola kebhinnekaan dan mewujudkan ketunggalikaan
bangsa Indonesia. Hal itu terlihat pada fungsi lini Kementerian Dalam Negeri
yang dewasa ini terdiri dari tujuh direktorat jenderal (ditjen). Ketujuh
direktorat jenderal ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok (Tabel 2). Bila
diperhatikan dengan saksama, terlihat dengan sangat jelas bahwa dua kelompok
itu merupakan fungsi lini Kementerian Dalam Negeri. Ditjen Kelompok A berfungsi
sebagai unit kerja yang memproses "Tunggal Ika," sementara ditjen
Kelompok B mengelola "keBhinnekaan" nusantara. Dengan perkataan lain,
dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, departemen yang
terdepan berperan menjalankan misi pemerintahan Indonesia yaitu mengelolaan
keunikan tiap masyarakat (bhinneka) menjadi kekuatan matarantai nusantara.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1) Jelaskan
kualitas
pemerintahan!
2) Jelaskan
bahwa pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan!
3) Apa
pentingnya
penyelenggaraan pemerintahan daerah berbasis kompetensi?
Jelaskan!
4) Bagaimana
hubungan Ilmu Pemerintahan dengan ilmu-ilmu lainnya? Jelaskan!
5) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan kompetensi perlu distandarisasi!
6) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan standarisasi dirancang dalam kemasan kerangka
strategis, dan berikan contohnya!

Baca kembali materi
kegiatan belajar 1 yang menyangkut tentang Pemerintahan dan kualitasnya, Sasaran analisis
yaitu Pemerintahan Daerah, dan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang berbasis kompetensi. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan
seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman
kuliah.

Menurut
pendekatan tradisional politik, pemerintah atau eksekutif adalah satu di antara
lembaga-lembaga pemangku kekuasaan Negara. Pendekatannya menggunakan pendekatan
kelembagaan politik. Pemerintahan adalah semua yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah. Sejajar dengan ini, pemerintahan daerah
didefinisikan sebagai apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah daerah. Tetapi UU 32/04 berbicara lain. Pasal 1 butir 2 dan 3 UU
32/04, menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah
dan DPRD. Walau demikian, yang disebut pemerintah daerah hanyalah Kepala Daerah
dan jajarannya. Ketentuan itu berarti, pemerintahan daerah lebih luas ketimbang
apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kybernologi memandang pemerintahan sebagai
fenomena sosial. Di mana ada masyarakat, di situ terdapat pemerintahan
(governance). Pemerintahan adalah interaksi antar tiga subkultur (subkultur
ekonomi, SKE, subkultur kekuasaan, SKK, dan subkultur sosial, SKS, yang juga
disebut subkultur kepelangganan, SKP) yang menggerakkan masyarakat itu untuk
hidup maju berkelanjutan. Kekuatan itu disebut subkultur karena setiap
masyarakat merupakan sebuah kultur. Jika kinerja interaksi itu berkualitas good, maka governance itu disebut good
governance. Jika sebaliknya, disebut
bad governance. Jadi definisi good
governance di sini jauh berbeda dengan definisi yang selama ini dikenal.
Dengan demikian, pemerintahan daerah adalah local
governance.
Kajian
akademik yang menyumbangkan masukan ke dalam proses penetapan dan penegakan
standar kompetensi pemerintahan daerah, terdapat dalam Bab II Kybernologi Hak Asasi
Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Hal itu terkait dengan posisi dan peran
strategik Kemendagri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam negeri.
Pemahaman tentang hal ini dilakukan menurut metodologi Kybernologi. UUD
mewajibkan Negara untuk mengakui dan melindungi HAM, dan memenuhi kebutuhan
dasar manusia. HAM itu bukan pemberian Negara, melainkan bawaan eksistensial
manusia. yang berdasarkan Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948
wajib diakui dan dilindungi oleh setiap Negara. Menurut Kybernologi, kebutuhan
dasar manusia itu meliputi kebutuhan rohaniah dan kebutuhan jasmaniah (L. P.
van de Spiegel, Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en
middelen, 1796, sebagaimana dikutip oleh G. A. van Poelje dalam Algemene
Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953, h. 15). Pengakuan dan perlindungan HAM,
dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah urusan Negara, yang waj ib
diproduksi oleh Negara. Dalam hubungan itu Kybernologi memosisikan manusia
penduduk suatu Negara, dalam hal ini negara Indonesia, tidak sebagai warganegara,
tetapi sebagai pelanggan produk-produk Negara tersebut (lihat Kybernologi dan
Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010, h. 22). Per definisi,
masyarakat pelanggan adalah masyarakat yang berotonomi. Produksi pengakuan dan
perlindungan HAM dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah fungsi lini
Negara. Pemegang fungsi lini Negara disebut Eksekutif (lihat Gambar 1). Semua
urusan lini Negara, oleh Presiden yang memegang kekuasaan konsentratif menurut
LJUD didekonsentrasikan ke sejumlah kementerian, termasuk Kemendagri. Melalui
dekonsentrasi itu semua urusan lini Negara dikelompokkan menjadi berbagai
urusan pusat, tiap kelompok urusan diselenggarakan oleh satu kementerian.
POKOK
BAHASAN II
SISTEM
NILAI KEPAMONGPRAJAAN
Menurut
Ndraha ada 12 Nilai dalam sistem Kepamongprajaan yaitu :
- Vooruit zien/visioner (memandang sejauh mungkin ke depan)
Nilai satu Vooruitzien (lengkapnya
Besturen is vooruitzien; Gouverner c’est prevoir; To govern is to foresee).
Mengamong adalah memandang (envision) sejauh mungkin ke depan, tidak hanya
sebatas masa jabatan masa kerja, dan masa hidup. Berdasarkan UU 25/04 dan UU
17/07, kendatipun masa jabatan seseorang hanya lima tahun, ia wajib
memperhitungkan dan mengantisipasi apa yang harus, akan, dan dapat terjadi minimal
20 tahun ke depan agar terjamin kesinambungan kinerja rezim yang berbeda-beda
melalui rel atau runway yang sama.
Jerman
dan Amerika dapat digunakan sebagai ilustrasi. Obsesi para kanselir sebelum
Helmut Kohl adalah mempersatukan Jerman, mengembalikan Jerman pada posisi
terhormat di Eropa, membebaskannya dari bayang-bayang Amerika dan meningkatkan
kesejahteraan seluruh Jerman. Kohl berhasil. Ia dijuluki The Bismarck atau
Bismarck II. Kendatipun demikian, pada pemilu berikutnya rezimnya tidak
terpilih, sebab bangsa Jerman sadar bahwa obsesi berikutnya berbeda, zaman
sudah berubah, yang dibutuhkan ke depan adalah merawat dan menjaga hasil yang
telah dicapai, konon pula berkelahi memperebutkannya. Maka Schroder-pun, seorang
yang tidak dikenal secara luas, menggantikannya. Ia terpilih bukan karena kegagalan Kohl, tetapi karena
perannya dalam sejarah berbeda.
Kehadiran
Obama dalam sejarah Amerika bertolak belakang dengan Schroder. Di samping
kecerdasan, kharisma dan popularitas, ia hadir pada saat yang tepat, ambruknya
Amerika Serikat di bawah Bush dan krisis ekonomi global. Tetapi sebaiknya hal
ini tidak diperdagangkan menjadi eforia bahwa Indonesia berhasil membentuk
Obama (karena ia pernah sekolah di Menteng dan tinggal di Indonesia selama
empat tahun, bahkan lengkap dengan foto-foto segala) menjadi harapan Amerika,
tetapi bahwa bangsa Amerika telah berhasil “melting,’
sedangkan bangsa Indonesia semakin “separating,”
menuju “despairing,”.
Berdasarkan
uraian di atas, kepemimpinan visioner jangka panjang dari kebangsaan ke
kesebangsaan Indonesia melalui pengurangan kesenjangan vertical antar lapisan
masyarakat dan pengurangan kesenjangan horizontal antar daerah secara konsisten
dan berkelanjutan sehingga pada suatu saat setiap orang berkesempatan menikmati
hasil pengorbanannya.
- Conducting (membangun kinerja bersama melalui perilaku actor yang berbeda-beda)
Nilai
dua conducting, mengamong adalah menciptakan harmoni antar kegiatan
dengan instrument yang berbeda dan dilakukan oleh actor yang berlain-lainan,
oleh conductor, dengan mengoreksi sedini dan setegas mungkin tiap bunyi, nada,
atau langkah sumbang senyaris apapun, guma membangun kinerja bersama semua
komponen yang berbeda-beda pada senbuah unit kerja, namun yang bergerak di
dalam wilayah yang sama.
- Coordinating (membangun kinerja masing-masing melalui kesepakatan bersama yang berbeda)
Nilai tiga, Coordinating.
Mengamong adalah membangun komitmen bersama antar unit kerja yang berbeda-beda
dalam suatu wilayah, agar yang satu tidak merugikan tetapi mendukung yang lain,
dalam rangka mencapai kinerja masing-masing unit kerja secara optimal dalam
rangka mencapai tujuan bersama secara keseluruhan. Semakin independen hubungan
antara unit kerja yang satu dengan unit kerja yang lain, semakin diperlukan
koordinasi. Kata kuncinya adalah berkoordinasi, sehingga koordinasi bisa
berjalan tanpa koordinator. Demikian pentingnya koordinasi ini sehingga
sebagaimana halnya sebuah Perguruan Tinggi memiliki Kalender Akademik, setiap
wilayah seharusnya memiliki Kalender Pemerintahan yang meliputi Kalender
Koordinasi itu.
- Peace Making (membangun kerukunan dan kebersamaan)
Nilai
empat, Peace Making. Mengamong adalah membangun kedamaian, kerukunan,
keamana, dan ketertiban dari akar rumput (grass root) ke atas oleh Pamong
(Pamong Desa) terbawah melalui kesepakatan (beslising) konsisten terus-menerus
dengan warga masyarakat, sebagaimana di zaman dahulu Kepala Desa diakui dan
berperan sebagai hakim perdamaian desa. Perbedaan dan konflik, kompetisi dan
perlombaan, pertaruhan dan pertarungan, sesungguhnya tidak menceraiberaikan
atau menciptakan permusuhan, tetapi justru mempersatukan juka semua pihak
menjujung tinggi sportivitas.
- Residue-caring (mengelola sampah, sisa, yang beda, yang salah, dan yang terbuang)
Nilai
lima, Residuepcaring.
Mengamong adalah mengurus (sesuatu yang dianggap) sampah atau sisa-sisa,
kendatipun orang yang berpesta, baik urusan yang tidak/belum termasuk tupoksi
unit kerja manapun, maupun urusan yang tak satu unit kerja pun bersedia
mengurusnya katena tidak menguntungkan bahkan merugikannya, sesegera mungkin,
katena semakin cepat dan tidak menentu perubahan, semakin banyak produksi
sampah.
Mengamong
adalah memberikan perhatian yang sama dan sepadan kepada semua pihak, baik yang
dianggap berkesalahan, maupun yang dipandang tidak berkesalahan, baik yang
merasa dirugikan, ataupun pihak yang merasa diutungkan, sebagai akibat suatu
kebijakan, keputusan, atau tindakan pemerintahan. Ajaran ini adalah pengembangan
Teori Sisa (Residue Theory) yang digunakan pada zaman Belanda dulu. Teori
Pelayanan, Teori Pemberdayaan dan Etika Pemerintahan merupakan pelajaran dasar
nilai ini.
- Turbulence-serving (mengelola ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan/force majeure)
Nilai
enam, Turbulence-serving. Mengamong adalah mengantisipasi dan melayani
dalam arti memberdayakan, melindungi, dan menyelematkan manusia dan
lingkungannya, bangsa dan Negara, terhadap segala sesuatu yang sifatnya
mendadak, tiba-tiba, di luar perhitungan (force majeur) baik sebagai akibat
perilaku alam, dampak kebijakan public yang ternyata keliru maupun perilaku
masyarakat.
Pengamongan
didasarkan pada anggapan bahwa waktu sama dengan nol, terus menerus mutlak.
Dalam hubungan itu, mengamong berarti juga menyelenggarakan pemerintahan dalam
kondisi serba cuaca (all weather governance). Ini berkaitan dengan nilai satu.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia buat kelalaian dan suka lupa,
sehingga perkara yang seharusnya dapat diantisipasi, terasanya mendadak atau di
luar kemampuan.
- Fries Ermessen (keberanian bertindak untuk kemudian mempertanggungjawabkannya)
Nilai
tujuh, Freies Ermessen. Mengamong adalah menunjukkan keberanian untuk
melakukan turbulence serving di atas, jika perlu di luar batas aturan yang ada,
atas inisiatif sendiri, berdasarkan kepuasan batin yang diambil secara bebas,
untuk dipertanggungjawaban kemudian kepada semua pihak, dan siap menanggung
segala resikonya (tanpa kambing hitam). Berbeda dengan diskresi yang memberikan
keleluasaan bertindak bagi pejabat dalam batas aturan yang berlaku, atau
sepanjang tidak dilarang secara tegas dalam aturan perundangank. Di Negara
hokum yang menganut pendekatan progresif, ajaran ini tidak digunakan lagi,
misalnya di Jerman.
Tetapi
di Indonesia yang masih menganut pendekatan hokum positif, terlebih mengingat
kesadaran hokum yang masih rendah dan budayan hokum yang lemah, ajaran Fries
Ermessen masih diperlukan. Bung Karno menggunakannya pada tgl 5 Juli 1959
(noodverordeningsrecht). Apakah Pak Harto juga tahun 1965? Yang jelas mahasiswa
tahun 1998 merobohkan pemerintahan yang sah. Nilai ini erat berkaitan dengan
Politik Pemerintahan, Etika Pemerintahan dan Hukum Pemerintahan (khususnya
Hukum Darurat/Bahaya), Teori Kedaulatan, Teori Otonomi.
- Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more and more about less and less)
Nilai delapan, Generalist and Specialist
Function. Mengamong adalah (belajar untuk) mengetahui sedikit demi sedikit
tentang banyak hal guna mengindentifikasi dan membangun kebersamaan (tunggal
ika) antar masyarakat yang berbeda-beda. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang
luas, tumbuh kreativitas dan inovasi
yang merupakan seni pemerintahan. Mengamong adalah (belajar untuk) mengetahui
semakin banyak tentang semakin sedikit hal (to know more and more about less
and less, berpengetahuan mendalam) guna mengidentifikasi perbedaan dan
kekhususan (uniqueness, kebhinekaan) senyaris apapun antar masyarakat. Dengan keahlian yang dalam, tumbuh
ketelitian, kemahiran, dan presisi sebagai prasyarat untuk membangun Teknologi
Pemerintahan.
- Responsibility (menjawab dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut etika otonom)
Nilai
sembilan, Responsibility. Mengamong adalah mempertanggungjawabkan kepada
pelanggan (bukan atasan) :
a.
Pelaksanaan tugas (perintah,
amanat, mandate).
b.
Sumpah dan janji jabatan
atau profesi (kontraktual)
c.
Self-commitment (janji
kepada diri sendiri, nazar, pengakuan, dan sumpah sebagai bukti, yang agar
mengikat perlu disaksikan).
d.
Tindakan yang ditempuh berdasarkan Freies
Ermessen, kepada para pelanggan produk-produk Negara.
Mempertanggungjawabkan
artinya menjawab (menerangkan) secara terbuka segala sesuatu yang menimbulkan
pertanyaan pelanggan, dan jika jawaban tidak dipercaya, yang bersangkutan
menanggung sendiri segala resikonya.
- Magnanimous-thinking (-mind, berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman membuat sejarah)
Nilai sepuluh, magnanimous
thinking. Mengamong adalah mengonstruksi pikiran besar, pikiran yang
memiliki kekuatan menerobos zaman, yang terbentuk berdasarkan kemerdekaan
berpikir dan kemerdekaan mengeluarkan buah pikiran. Berpikir besar identik
dengan berfilsafat. Berpikir menurut hokum logika, rerambu nalar sehat. Nilai
ini berkaitan dengan nilai satu di atas.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tentang kecerdasan
merupakan landasan konstitusional nilai ini. Bhinneka Tunggal Ika merupakan
sebuah pikiran besar, tetapi sejak diundangkan menjadi PP 66/51, tidak pernah
diajarkan dan tidak dibudayakan menjadi pola perilaku bangsa. Temuan-temuan
akademik (invensi) harus dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik guna
melahirkan inovasi. Tanpa pengajaran dan pembudayaan, buah pikiran sebesar
apapun tidak akan berguna.
- Omnipresence (terasa hadir dimana-mana)
Nilai
sebelas, Omnipresence. Mengamong berarti tidak memposisikan diri sebagai
pangreh, tidak hanya membangun citra (image building) pemerintahan tetapi merendahkan
hati sedemikian rupa sehingga pemerintah itu tidak terlihat sebagai sesuatu
yang jauh dan asing, tetapi terasa hadir dimana-mana dan kapan saja sebagai bagian
dari dan sama dengan kita. Ia melihat apa yang kita
lihat, dan merasakan apa yang kita rasakan. Semakin tinggi dan asing pemerintah
memosisikan dirinya, semakin samar, seragam, kotor, dan sampah kita terlihat
olehnya, semakin mendarat ia bersama kita, barulah semakin terasa olehnya
betapa satu dengan yang lain berbeda-beda, ada yang terbuang dan terinjak, ada
yang mandi uang dan bergelimang dosa, di sini nestapa dan melarat, di sana papa
dan hina. Satu-satunya jembatan antar budaya, antara pemerintah dengan yang
diperintah adalah saling pengeritan.
Pengertian
dan saling mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui
pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam
metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling mengerti melalui
empati (empathy bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan dengan konsep
pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic
understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen.
- Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masa jabatan public, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial).
Nilai
duabelas, Distinguished statesmanship. Mengamong berarti “ exhibits
great wisdom and bability in dialing with important public issues”.
Mengamong juga berarti memosisikan diri di atas semua golongan atau kepentingan
partial. Berbeda dengan perang, pemilu bukan menang kalah tetapi terpilih atau
tidak terpilih, bagi rezim terpilih limatahunan, pihak yang tidak terpilih
kembali menjadi controlling reference jangka panjang. Merayakan saat
pengembalian (penyerahan) jabatan (mandat) ketimbang saat memangju jabatan
(pelantikan), menyatakan secara terbuka pengunduran diri dari “kendaraan yang
mengusungnya” begitu terpilih menjadi pejabat public, memaknai uang bukan
solusi tetapi beban (karena harus dipertanggungjawabkan).
Seorang statesman tidak pernah merasa berjasa,
karena tindakan apapun yang dilakukannya telah mendapat imbalan dari Negara dan
masyarakat. Tetapi sebaliknya ia selalu merasa berhutang, karena ia telah
berjanji kepada dirinya sendiri dan kepada masyarakat, dan ia berusaha menepati
dan memikul tanggung jawabnya .Wawasan Kepamongprajaan sebagai kenegarawanan
mengemuka di massa
STPDN
Walaupun di masa itu belum didefinisikan
dan belum diprogramkan. Kini saatnya untuk mencerahkan dan membangkitkannya.
Pada sesi ini, kepamongprajaan dilihat sebagai fungsi yang dibutuhkan pada
tingkat regional dan global, baik antara utara dengan selatan, maupun antara
barat dan timur. Kepamongprajaan di sini terlihat kualitas yang mampu
melahirkan buah pikiran besar, roh zaman. Dengan kualitas waktu itu,
kenegarawanan kepamongprajaan berarti kemampuan membuat sejarah. Sehingga buah
pikiran besar pamong praja Indonesia-
yaitu mereka yang memiliki kualitas kepamongprajaan-2009 mempengaruhi
perjalanan sejarah Indonesia
di tengah-tengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan
berikut ini.
1) Jelaskan
Nilai Kepamongprajaan satu Voorruitzien!
2) Jelaskan
bahwa Nilai dua Conducting, bisa
membangun kinerja bersama!
3) Apa
yang dimaksud dengan Residue Caring? Jelaskan!
4) Bagaimana
cara mengatasi jika terjadi Turbulence
dalam pemerintahan? Jelaskan!
5) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan Generalist and Spesialist Function!
6) Jelaskan
apa yang dimaksud dengan Magnanimous Thinking dan berikan contohnya!

Baca kembali materi kegiatan
belajar II yang menyangkut
tentang 12
Nilai Kepamongprajaan. Untuk menjawab semua soal di atas
jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi
dengan teman kuliah.

Menurut Ndraha ada 12 Nilai dalam sistem
Kepamongprajaan yaitu :
— Vooruit
zien/visioner (memandang sejauh mungkin ke depan)
— Conducting (membangun kinerja bersama
melalui perilaku actor yang berbeda-beda)
— Coordinating (membangun kinerja masing-masing melalui kesepakatan bersama yang
berbeda)
— Peace Making (membangun kerukunan dan
kebersamaan)
— Residue-caring (mengelola
sampah, sisa, yang beda, yang salah, dan yang terbuag)
— Turbulence-serving (mengelola
ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan/force majeure)
— Fries Ermessen (keberanian
bertindak untuk kemudian mempertanggungjawabkannya)
— Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more
and more about less and less)
— Omnipresence (terasa hadir dimana-mana)
— Responsibility (menjawab
dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut etika
otonom)
— Magnanimous-thinking (-mind,
berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman membuat sejarah)
— Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masa jabatan
public, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial).
POKOK
BAHASAN III
SISTEM
PENDIDIKAN TINGGI KEPAMONGPRAJAAN

Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di
lingkungan Departemen Dalam Negeri terbentuk melalui proses perjalanan sejarah
yang panjang. Perintisannya dimulai sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda
pada tahun 1920, dengan terbentuknya sekolah pendidikan Pamong Praja yang
bernama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren (OSVIA) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren
(MOSVIA). Para lulusannya
sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan
pemerintahan Hindia Belanda. Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda,
penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda dibedakan atas pemerintahan yang
langsung dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi yaitu Binnenlands
Bestuur Corps ( BBC ) dan
pemerintahan yang tidak langsung dipimpin oleh kaum atau golongan dari
keturunan Inlands Bestuur Corps ( IBC ).
Pada masa awal kemerdekaan RI, sejalan dengan penataan
sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945, kebutuhan
akan tenaga kader Pamong Praja untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan baik
pada pemerintah pusat maupun daerah semakin meningkat sejalan dengan tuntutan
perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan
kekurangan tenaga kader Pamong Praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah lembaga
pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah
Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah
Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas ( SMPAA ) di Jakarta dan
Makassar:
Pada Tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan
Kursus Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan
keterampilan pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan tugasnya.
Seiring dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan di Aceh, Bandung,
Bukittinggi, Pontianak, Makasar, Palangkaraya dan Mataram. Sejalan dengan
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks, luas dan
dinamis, maka pendidikan aparatur di
lingkungan Kementrian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai sudah tidak
memadai. Berangkat dari kenyataaan tersebut, mendorong Pemerintah mendirikan
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang
Jawa Timur. APDN di Malang
bersifat APDN Nasional berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1120156 tanggal 24
September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di Malang, dengan
Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa APDN Nasional Pertama
ini adalah lulusan KDC yang direkrut secara selektif dengan tetap mempertimbangkan
keterwakilan asal provinsi selaku kader
pemerintahan Pamong Praja yang
lulusannya dengan gelar Sarjana Muda (BA).
Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN dinilai masih
perlu ditingkatkan dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kaderkader
pemerintahan yang " qualified leadership and manager administrative ", terutama dalam menyelenggarakan tugas-tugas urusan
pemerintahan umum. Kebutuhan ini mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan aparatur di lingkungan Departemen Dalam Negeri setingkat Sarjana,
maka dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP ) yang berkedudukan di
Kota Malang Jawa Timur berdasarkan Keputusan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8 Tahun
1967 selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1967.
Peresmian berdirinya IIP di Malang ditandai cengan peresmian oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 25 Mei 1957.
Pada tahun 1972 Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP) yang
berkedudukan di Malang Jawa Timur dipindahkan ke Jakarta melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972. Pada tanggal 9 Maret 1972, kampus IIP
yang terletak di Jakarta di resmikan oleh Presiden Soeharto yang dinyatakan :
" Dengan peresmian kampus Institut llmu Pemerintahan,
mudah-mudahan akan merupakan kawah candradimukanya Departemen Dalam Negeri
untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia "
Seiring dengan pembentukan IIP yang merupakan peningkatan
dari APDN Nasional di Malang, maka untuk penyelenggaraan pendidikan kader pada
tingkat akademi, Kementrian Dalam Negeri secara bertahap sampai dengan dekade
tahun 1970-an membentuk APDN di 20 Provinsi selain yang berkedudukan di Malang,
juga di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung,
Bandung, Semarang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram,
Kupang, Makassar, Menado, Ambon dan Jayapura.
Pada tahun 1988, dengan pertimbangan untuk menjamin
terbentuknya wawasan nasional dan pengendalian kualitas pendidikan Menteri
Dalam Negeri Rudini melalui Keputusan No,
38 Tahun 1988 Tentang Pembentukan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Nasional.
APDN Nasional kedua dengan program D III berkedudukan di Jatinangor, Sumedang,
Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Mendagri tanggal 18 Agustus 1990.
APDN Nasional ditingkatkan statusnya berdasarkan Kepres No. 42 Tahun 1992
tentang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, maka status APDN menjadi STDPN
dengan program studi D III yang diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 18
Agustus 1992. Sejak tahun 1995, bertitik tolak dari keinginan dan kebutuhan
untuk lebih mendorong perkembangan karier sejalan dengan peningkatan
eselonering jabatan dalam sistem kepegawaian Republik Indonesia, maka program
studi ditingkatkan menjadi program D IV. Keberadaan STPDN dengan pendidikan
profesi ( program D IV) dan IIP yang menyelenggarakan pendidikan akademik
program sarjana ( Strata I ), menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua
(2) Pendidikan Pinggi Kedinasan dengan lulusan yang sama dengan golongan I I
I/a.
Kebijakan Nasional mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999
antara lain yang mengatur bahwa suatu Departemen tidak bolen memiliki dua atau
lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, maka
mendorong Departemen Dalam Negeri untuk mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP.
Usaha pengintegrasian STPDN ke dalam IIP secara intensif dan terprogram sejak
tahun 2003 sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pengintegrasian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan
Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan
sekaligus merubah nama IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN ).
Tujuan penggabungan STPDN ke dalam IIP tersebut, selain untuk memenuhi
kebijakan pendidikan nasional juga untuk meningkatkan efektivitas
penyeienggaraan pendidikan
Kader Pamong Praja di lingkungan Departemen
Dalam Negeri. Kemudian Kepres No. 87 Tahun 2004 ditindak lanjuti dengan
Keputusan Mendagri No. 892.22-421 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Penggabungan
dan Operasional Institut Pemerintahan Da1am Negeri, disertai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja lPDN dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 Tentang Statuta IPDN serta
peraturan pelaksanaan lainnya.
Pada Tahun 2007 ini, IPDN dipecah menjadi beberapa Regional, diantaranya
Regional Jawa-Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Penetapan
kelembagaannya melalui Peraturan Presiden No..... Tahun 2007.
POKOK BAHASAN IV
KEDUDUKAN, TUGAS,
FUNGSI DAN PERANAN PAMONG PRAJA
A.
Dari
konsep Pangreh
Praja ke
konsep
Pamong Praja.
Pemerintahan pangreh praja ada pada
masa penjajahan belanda di Indonesia. Untuk memahani perbedaan makna semangat
dan filosofinya dapat bertolak dari pemerintahan paska penjajahan, karena
perubahan dari konsep pangreh ke konsep pamong sekaligus menjelaskan adanya
perubahan paradikma dari penindasan ke pembudayaan. Baik pangreh ataupun pamong
praja tidak ditemukan perbedaan yang berarti sama-sama sebagai pelaksana tugas
dekonsentrasi.

Pada tahun 1942 Hindia-Belanda di bagi
dalam 8 Gewest yaitu jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta,
Surakarta, Sumatera, Borneo dan The Grote Oost (Timur Besar). Mula-mula tiap
Gewest di pimpin oleh seorang resident sebagai Hoofd Van Gewestelijk Bestuur
kecuali Aceh, Sulawesi dan Sumatera Timur yang di pimpin oleh Gubernur,
sedangkan Belitung di pimpin oleh asisten resident sampai tahun1913 resident
Bangka tidak mempunyai Pangreh Praja Belanda di bawahnya.
Sesudah bestuurshervorning Gewest di
pimpin oleh masing-masing gubernur yang menjadi penguasa tertinggi di daerahnya
memimpin kepolisian dan mengawasi pengelolaan keuangan.
Pangreh praja Indonesia di luar jawa dan
Madura selalu di bawah onderafdelingshoofd yang bertindak adalah kontroleur BB.
Di antara resident dan onderafdelingshoofd biasanya disisipkan seorang asisten
resident yang diberi tugas pengawasan dan pimpinan interen.

Regent atau bupati merupakan jabatan
puncak dari pangreh praja Indonesia. Sesudah diadakannya Bestuurserforning maka
selain menjalankan pemerintahan langsung pada rakyat Indonesia dalam wilayahnya
juga menjadi ketua regentschapsraad (DPRD Kabupaten) dan menjadi alat
pemerintahan kabupaten sebagai daerah otonom.
Buitengewesten (Luar
Jawa dan Madura)
Pangreh paraja merupakan istilah
yang dipergunakan untuk menunjuk pejabat pemerintahan Hindia-belanda yang
berasal dari orang-orang pribumi untuk melaksanakan algement bretneer di
daerah. Hal ini dapat dipahami bahwa pemerintah Hindia-Belanda bersifat
koopreatif terhadap struktur kekuasaan tradisional (para bupati dan punggawa
kerajaan) yang dapat diajak bekerjasama untuk menekan pemberontakan.
Menurut Bayu Surya Ningrat : (1990:
7-11) pamong praja dipergunakan untuk menyebut mereka, pejabat pemerintah pusat
yang ada di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Pada umumnya
yang disebut pamong praja adalah pejabat-pejabat pemerintah (pusat) yang
bernaung dalam Depdagri yang ada di daerah. Pamong praja mempunyai arti luas
dan sempit. Dalam arti luas pamong praja mencakup segenap pegawai dalam
lingkungan Depdagri yang ada dan bekerja di daerah yang melaksanankan urusan
pemerintahan pusat atau pemerintahan umum. Dalam arti sempit pamong praja hanya
mencakup mereka yang memegang pimpinan dan menjadi kepala dari suatu wilayah administratif.
Menurut undang-undang nomor 5
tahun1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pasal 1f yang dimaksud
dengan dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala
wilayah atau kepala instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya
di daerah. Selama di daerah masih ada urusan pemerintahan umum maka selama itu
pula masih ada pamong praja.
B.
Perkembangan
Kepamongprajaan.
Sejarah perkembangan kepamongprajaan di
Indonesia tidak lepas dari tugas-tugas atau urusan pemerintahan umum, karena
secara fungsional keberadaan pamong praja adalah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan tersebut. Kepamongprajaan dari perspektif kesejarahan yang
dikemukakan oleh John Locke yang membedakan kekuasaan Negara dalam eksekutif,
legislatif, dan federatif. Sedangkan Montes Quieu yang membedakan kekuasana
Negara dalam eksekutif, legislatif, dan judikatif. Pemerintah dewasa ini telah
berkembang tetapi dua dari kekuasaan negara tersebut masih nampak secara utuh
yaitu yudikatif dan eksekutif.
Pejajahan Belanda berlangsung hampir 250
tahun dan baru berakhir pada tahun 1942. Kemudian langsung disambung dengan
pendudukan Jepang yang kenyataannya merupakan penjajahan sejenak, pemerintahan
di Indonesia ketika itu adalah pemerintahan militer, yang selalu sibuk dengan
perang. Jaman Jepang tidak berlangsung lama, kekalahan Jepang oleh tentara
sekutu langsung disambung oleh lahirnya Negara Republik Indonesia yang
masyarakatnya memproklamirkan sendiri kemerdekaannya. Susunan pemerintahan yang
sudah lengkap adalah yang ada di deaerah. Perangkat yang ada pada waktu
penjajahan Belanda disebut Inlands B.B dan pada Jepang disebut Syuu-Coo kebawah
yang mula-mula disebut pangreh praja. Kemudian dirubah lagi menjadi pamong
praja, mengingat nama yang pertama secara psikologis dan politis kurang tepat
dan mengandung unsure menguasai (mengereh-pangreh).
Negara, pemerintahan maupun masyarakat
bertambah maju, perubahan dan penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah jelas nampak dalam setiap peraturan perundang-undangan. Di dalam
peraturan perundang-undangan tertentu kadang-kadang dimuat juga pada
konsideransnya siap yang di maksud pamong praja, misalnya dalam PP Nomor 27
Tahun 1959 disebutkan : bahwa yang dimaksud dengan pamong praja adalah
gubernur, residen, bupati, walikota, wedana dan asisten wedana (camat). Dari PP
di atas didapat perumusan pamongpraja adalah perangkat atau pejabat yang ada di
daerah yang tugasnya adalah melaksanakan urusan pemerintahan umum atau
pemerintahan pusat.
C. Fungsi Umum Pamong
Praja.
Fungsi umum
kepamongprajaan dalam perspektif waktu terus mangalami pengurangan sering
dengan semakin bergeser paradikma sentralisasi pemerintahan ke arah
desentralisasi pemerintahan. Sementara pergeseran itu tidak terlepas dari
perkembangan demokratisasi, yang semakin mendesak dan mengikis kekuasaan yang
bersifat otokratis.
Fungsi pamong praja
tidak mungkin diperinci karena sifatnya sangat luas dan menyeleruh. Kecuali
melaksanakan perintah dari atasan atau peraturan-peraturan, pamong praja
memberikan pula public service sebaik-baiknya. Pada umumnya pamong praja
memimpin tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum. Agar pamong praja dapat
menyelenggarakan kesejahteraan umum dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat maka pamong praja memerlukan kekuasaan tertentu untuk
bertindak menurut inisiatif dan kebijaksanaan sendiri, terutama dalam keadaan
yang mendesak dan di mana tidak ada peraturan yang bersangkutan. Tugas pamong
praja tidak diatur dalam suatu peraturan hokum dan tidak pula disusun dalam suatu
kitab undang-undang hukum tetapi terserak di sana sini.
D.
Tugas
pamong Praja
Sebagaimana telah diuraikan di muka
bahwa keberadaan pamong praja tidak lepas dengan tugas-tugas pemerintahan umum.
Jika dahulu tugas-tugas umum itu dilaksanakan oleh seorang pejabat yang dikenal
sebagai pamong praja maka dewasa ini tugas-tugas itu dilaksanakan oleh para
kepala wilayah yang merupakan pejabat pemerintah pusat di daerah untuk
melaksanakan tugas-tugas berdasarkan azas dekonsentrasi. Dalam UU No. 22 Tahun
1999 yang lebih memberikan desentralisasi, pemberdayaan masyarakat, dan
transparansi itu tugas-tugas atau fungsi pemerintahan umum hanya sampai wilayah
provinsi saja. Sedang untuk wilayah kabupaten/kota secara murni melaksanakan
tugas-tugas desentralisasi atau otonom.
Dalam UU No. 18/1965 ditentukan
tugas-tugas yang tidak diserahkan kepada daerah dan dijadikan tugas pokok dari
pamong praja yaitu :
1.
Memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya, dengan mengindahkan
wewenang-wewenang yang ada pada pejabat-pejabat yang bersangkutan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Menyelenggarakan
koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah dan antara jawatan
tersebut dengan pemerintah daerah.
3.
Melakukan pengawasan
atas jalannya pemerintah daerah.
4.
Menjalankan tugas-tugas
lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
Untuk mengetahui urusan
apa yang tercakup dalam pemerintahan umum dapat dipelajari dari segi urusan
pemerintahan daerah, karena urusan daerah dalam kenyataannya lebih terperinci
daripada pemerintahan umum.
Pasal 18 UUD 1945
mengatakan pembagian daerah Indonesia. Atas daerah besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan
mengimgat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak
asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dari pasal tersebut
jelaslah bahwa ada 2 macam daerah yang pertama adalah daerah otonom yang
mempunyai hak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang kedua adalah daerah
administratif.
Pasal 4 UU No. 11/1950
mengatakan urusan daerah adalah sebagai berikut :
1. Urusan
rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan
24 UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah Bagi Provinsi Jawa Barat
adalah sebagai berikut :
I.
Urusan Umum;
II.
Urusan Pemerintahan
Umum;
III.
Urusan Agraria;
IV.
Urusan Perairan,
Jalan-Jalan dan Gedung-Gedung;
V.
Urusan Pertanian,
Perikanan dan Koperasi;
VI.
Urusan Kehewanan;
VII.
Urusan Kerajinan,
Perdagangan Dalam Negeri dan perindustrian;
VIII.
Urusan Perburuhan;
IX.
Urusan Sosial;
X.
Urusan
Pembagian/distribusi;
XI.
Urusan Penerangan;
XII.
Urusan Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan;
XIII.
Urusan Kesehatan;
XIV.
Urusan Perusahaan.
2. Urusan
tersebut dalam ayat 1 di atas dijelaskan dalam daftar terlampir ini dan dalam
peratuan-peraturan pelaksanaan pada waktu penyerahan.
3. Tiap-tiap
waktu dengan mengingat keadaan, urusan rumah tangga kabupaten dan kewajiban
pemerintah yang diserahkan pada kabupaten-kabupaten tersebut dalam pasal 1
dengan UU dapat ditambah.
Kewajiban-kewajiban
yang lain daripada yang tersebut dalam ayat 1 di atas, yang dikerjakan oleh
kabupaten-kabupaten tersebut dalam pasal 1, sebelum dibentuk menurut
undang-undang ini, dilanjutkan sehingga ada pencabutannya dengan undang-undang.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
perubahan nomenklatur dari konsep Pangreh Praja ke konsep Pamong Praja!
2. Jelaskan
perkembangan Kepamongprajaan!
3. Apa
fungsi Umum Pamong Praja? Jelaskan!
4. Bagaimana
hubungan Pangreh
Praja dengan Demokrasi?
5. Jelaskan
fungsi Pamong Praja menurut Bayu Surianingrat!

Baca kembali materi kegiatan
belajar III yang menyangkut
tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Pamong Praja.
Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja
lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Menurut Bayu Suryaningrat : (1990:
7-11) pamong praja dipergunakan untuk menyebut mereka, pejabat pemerintah pusat
yang ada di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Pada umumnya
yang disebut pamong praja adalah pejabat-pejabat pemerintah (pusat) yang
bernaung dalam Depdagri yang ada di daerah. Pamong praja mempunyai arti luas
dan sempit. Dalam arti luas pamong praja mencakup segenap pegawai dalam
lingkungan Depdagri yang ada dan bekerja di daerah yang melaksanankan urusan
pemerintahan pusat atau pemerintahan umum. Dalam arti sempit pamong praja hanya
mencakup mereka yang memegang pimpinan dan menjadi kepala dari suatu wilayah
administratif.
PP Nomor 27 Tahun 1959 disebutkan :
bahwa yang dimaksud dengan pamong praja adalah gubernur, residen, bupati,
walikota, wedana dan asisten wedana (camat). Dari PP di atas didapat perumusan
pamongpraja adalah perangkat atau pejabat yang ada di daerah yang tugasnya
adalah melaksanakan urusan pemerintahan umum atau pemerintahan pusat.
POKOK BAHASAN IV
KEPAMONGPRAJAAN
DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH


Pada tahun 1602-1799, Indonesia mulai
di kuasai oleh Pemerintah Belanda (VOC), namun penjajahan di Indonesia ini di
lakukan secara demokratis, otokratis, dan sentralistis, tapi kurang
memperhatikan struktur pemerintah asli yang ada.
Pedoman dari penjajahan pada waktu
itu adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari jajahannya dan untuk
mau mencapai semua itu, maka dengan melalui susunan pangkat pangreh praja,
bumiputera dan pangreh praja.
Sesuai dengan politik jajahan dan
pedoman untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang
sehemat-hematnya, disamping menggunakan sistem dekonsentrasi, maka pemerintah
Belanda membiarkan bentuk-bentuk asli dalam persektuan-persekutuan hukum dalam
adat, seperti;
·
Daerah-daerah swapraja
dengan kontrak panjang, seperti; Surakarta, Yogyakarta, dan dengan
korte-verklaring seperti Goa, Majene, dan daerah-daerah yang di kuasai oleh
raja-raja.
·
Persekutuan-persekutuan
hukum adat, seperti desa di jawa dan madura yang juga di perkenankan mengurus
rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat setempat.
·
Persekutuan-persekutuan
hukum adat yang tidak terikat kepada daerah yang telah di sebutkandi atas, yang
hanya menyelenggarakan suatu kepentingan tertentu.
Gerakan ini menyebabkan diambilnya
politik kolonial baru oleh perinyah belanda
yang dinamakan Poliitk Etika, yang bertujuan untuk meningkatkan teraf
hidup dan kecerdasan rakyat bumiputera. Akibat dari Poliitk Etika Belanda ini,
yang tidak di sadari oleh Belanda sendiri adalah timbulnya suara-suara dari
gerakan-gerakan kebangsaan yang menuntut hak lebih bantak untuk turut serta
didalam menentukan politik kenegaraa.
Ciri-ciri pokok desentralisasi
Hindia Belanda berdasarkan Undang-undang desentralsasi 1903, dapat disebutkan
sebagai berikut;
Ø Kemungkinan
pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai
kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Ø Bagi
daerah-daerah yang di anggap telah memenuhi syarat, maka tiap kali dengan
pembentukan di pisahkan sejumlah uang tiap tahun.
Ø Untuk
jabatan ketuanya di pegang oleh pejabat pusat, sedangkan daerah-daerah lainnya
di tunjuk dalam pembentukannya.
Ø Para
enggota locare raad untuk sebagian di angkat, sebagian lainnya di duduki karena
jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi di pilih.
Ø Licare-raad
berwewenag menetapkan locare verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut
kepentingan daerahnya sepanjang belum di atur.
Ø Pengawasan
terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta pengesahan terlebih
dahulu bagi keputusannya maupun hak pemuda.
Demikian perkembangan
ketata-negaraan di Hindia Belanda yang di ciptakan oleh pemerintah Hindia
Belanda secara singkat.

Selama
zaman pendudukan Jepang, indonesia di bagi kedalam 3 wilah besar, yaitu;
v Jawa,
di bawah kekuasaan komandan tentara Jepang ke-16 di Jakarta
v Sumatera,
di bawah kekuasaan komandan tentara Jepang ke-25 di Bukittinggi.
v Lain-lain
kepulauan, di bawah kekuasaan komandan Marine Jepang di Makasar.
Pada mulanya, pemerintah pendudukan
Jepang melanjutkan sebagian besar struktur pemerintahan daerah seperti pada
zaman Belanda di dalam bidang dekonsentrasi, hanya diganti nama-namanya menjadi
dalam bahasa Jepang.
Jabatan gubernur dan jabatan
asisten residen di Jawa dihapuskan. Kotapraja-kotapraja di lepaskan dari
lingkungan administrasi para Bupati, sedangkan para walikota menjadi petugas-petugas
pengreh praja yang tunduk kepada residen.

Sejak di proklamasikannya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka bersarkan undang-undang
dasar 1945 pasal 18 berkut pasal I dan II aturan-aturan peralihan Jo. Peraturan
Pemerintah No.2 tahun 1945, maka di tetapkan antara lain adalah;
·
Wilayah Negara
Indonesia di bagi dalam propinsi-propinsi, masing-masing di kepalai oleh
seorang Gubernur (yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Berneo,
Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil)
·
Wilayah Propinsi dibagi
dalam keresidenan-keresidenan, di kepelai oleh Residen
Gubernur dan residen dibantu oleh
Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah, sedangkan kedudukan kotapraja
diteruskan.
Berhubungan dengan keadaan perjuangan
membertahankan kemerdekaan sedang memuncak sekali, bahkan sebagian besar dari
wilah Indonesia itu sedang di duduki oleh tentara Belanda, maka Undang-undang
sebagai dasar Negara sampai tanggal 27
desember 1949 (saat pengakuan kedaulatan Negara Indonesia), belum juga dapat
dilaksanakan.

Sejak proklamasi
kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 samapi pengakuan kedaulatan oleh negara
belanda kapada republik indonesia tanggal 27 desember 1945 maka pemerintah
belanda terus menerus berupaya dengan berbagai jalan untuk mengembalikan lagi
kekuasaanya di indonesia dengan berpegangn kepada naskah perjanjian postdam yang mengakui kedaulatan atas indonesia.
Selama pendudukan oleh
pasukan sekutu, petugas tersebut memakai nama Commanding Officer Netherlands
Indies Civil Administration dan Commanding Officer Allied Military
Administration Civil Affairs Branch ,kemudian stelah pasukan sekutu
meninggalkan hindia belanda, maka timbul nama seperti Hoofd Tijdelijke
Bestuurdienst dan Regerings
Commissaris voor Bestuurs-aangelegenheden.
Sebagai usaha ke arah
konsolidasi pemerintahan daerah-daerah yang diduduki dan untuk memikat hati
bangsa indonesia, maka pihak belanda menempuh 2 jalan yakni :
1) Meletakkan
dasar-dasar dari nieuwe rechtsorde sesuai dengan janji yang diucapkan oleh ratu
belanda dalam pidato radio tanggal 7 desember 1942, yaitu menuju ke arah
pembentukkan negara yang disusun secara federatif antara lain dengan mengadakan
konferensi-konferensi di Malino, Denpasar dan Pangkalpinang tang kemudian
menghasilkan terbentuknya 15 negara bagian secara berangsur-angsur.
2) Memulihkan
kembali secara berangsur-angsur badan-badan otonomi kabupaten dan haminte di
daerah-daerah yang dianggap sudah aman, misalbnya di daerah kabupaten yang
sudah aman.
Usaha-usaha belanda tersebut di
atas dilakukan khusus di daerah-daerah yang diduduki belanda. Untuk
daerah-daerah yang dikuasai oleh RI yang
beribu kota di jogjakarta, ketentuan tersebut tidak berlaku.

Komperensi Meja Bundar telah melahirkan
Republik Indonsia Serikat yang berdarakan sistem federalisme, di dalam mana
republik indonesia proklamasi dengan daerahnya menurut status quo sejak
penandatanganan perjanjian konperensi meja bundar pada tanggal 27 desember 1949
menjadi negara bagian, walaupun sifat negara RI tersebut telah dianggap sebagai
modal dan pelopor perjuangan kebangsaan untuk menuju kemerdekaan.
Untuk memungkinkan peleburan ini
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU Darurat No.1 tahun 1950 tentang
cara-cara merubah sususnan kenegaraan dari wilayah RIS.
Berdasarkan UU darurat
tersebut, maka berngsur-angsur, satu demi satu, negara-negara dan daerah bagian
menggabungkan diri dengan Negara Bagian RI, sehingga dalam tempo beberapa bulan
saja, Republik Indonesia Serikat bentukkan belanda hanya tinggal 3 negara
bagian saja yaitu :
ü
Negara-negara bagian
Republik Indonesia yang meliputi wilayah-wilayah kepulauan Jawa, Madura,
Sumatera dan kalimantan, minus negara sumatera timur dan kalimantan bagian
timur dan selatan;
ü
Negara Sumatera Timur;
ü
Negara Indonesia Timur.
Pergolakan-pergolakkan politik di
seluruh wilayah indonesia yang menentag bentuk negara serikat itu, akhirnya
menyebabkan diadakannya perundingan antara Republik Indonesia dan Republik
Indonesia Serikat, tentang bagaimana cara melaksanakan perubahan bentuk negara
serikat menjadi negara kesatuan.
Sementara itu negara-negara bagian
RI terus-menerus mendirikan daerah otonom berdasarkan undang-undang No.22 tahun
1948, sehingga pada waktu Negara RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan, di pulau
Jawa, Madura, dan Sumatera telah di bentuk propinsi-propinsi otonom, sedang di
Jawa sendiri selain propinsi-propinsi, telah di bentuk pula daerah istimewa
setingkat propinsi, kabupaten, kota besar, kota kecil otonom.
Mengenai keadaan di Kalimantan,
pada saat mulainya Negara Kesatuan RI, masih tetap berlaku peraturan lama dari
pemerintah Belanda, yaitu Zelfbestuursregelen 1938 mengenai swapraja S. 1946-17
mengenai Neo-swapraja, SGOB mengenai staadgemeente dan S. 1946-47 mengenai staadsgemeente
pembentukan daerah swapraja.
Dengan demikian dapat di katakan
bahwa pada saat Negara kesatuan RI kenbali berdiri pada tanggal 17 agustus
1950, maka di wilayahnya berlaku bermacam-macam peraturan perundang-undangan
tentang otonomi daerah.

Berdasarkan pasal 142 UUD sementara
republik Indonesia dan pasal 4 sub II-A dari piagam persetujuan RIS-RI, maka
sebelum di adakan perundang-undangan kesatuan, undang-undang dan
peraturan-peraturan yang sudah ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku,
namun selalu di upayakan agar perundang-undangan RI yang tetap berlaku,
meskipun berdasarkan pasal 145 UUDS RI maka NKRI itu seharusnya mengiktiarkan
agar semua perundang-undangan yang berlaku di sesuaikan dengan UUDS tersebut.
Pada saat berdirinya NKRI di
wilayah Indonesia itu belaku dua macam undang-undang pokok pemerintahan daerah,
yaitu;
o Undang-undang
No. 22/1948, yang berasal dari Negara RI proklamasi 17 agustus 1945 dan berlaku
di Jawa dan Madura, Sumatera dan Kalimantan.
o Undang-undang
No. 44/1950, yang berasal dari NIT dan berlaku di Sulawesi, Maluku dan
Nusatenggara.
Kedua undang-undang ini menghendaki
hilangnya pamong praja dan di serahkannya pemerintahan setempat pada daerah
otonom. Selain kedua undang-undang pokok tersebut di atas, bagi kota Jakarta
Raya berlaku pula UU darurat RIS No. 20/1950, yang kemudian di tetapkan dengan
UU No. 1/1956, yang masih menunjuk staadgemeente ordonantie dan ordonantie
tijdelijke voorzieningen stadsgemeenten op java dan bagi kota-kota lain di Jawa
dan Madura, berlaku staadgemeente ordonantie, sedangkan di luar Jawa dan Madura
berlaku staadgemente ordonantie buitengewesten peraturan perundang-undangan
lainnya.
Semula pemerintah NKRI itu di
warisi oleh RIS dua macam peraturan perundang-undangan tentang pemilihan
dewan-dewan daerah yang berasal dari negara bagian RI proklamasi yaitu;
·
Undang-undang Republik Indonesia No. 7/1950
·
Peraturan pemerintah No. 39/1950
Dengan berlakunya kembali UUD 1945,
maka sebagai pelaksanaan dari pasal 18 UUD 1945, pada tanggal 1 september 1965
telah di keluarkan UU tentang pokok-pokok pemerintahan daerah baru yaitu UU No.
18 tahun 1965 yang sekaligus mencabut;
Ø UU
No. 1/1957
Ø Penetapan
Presiden No. 6/1959
Ø Penetapan
Presiden No. 2/1960, dan Penetapan Presiden No. 5/1960 (disempurnakan)
Selanjutnya, prinsip-prinsip dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut;
1. Pelaksanaan
pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat
Indonesia seluruhnya
2. Pemberian
otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,
3. Azas
desentralisasi di laksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan
memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan
4. Pemberian
otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping
aspek pendemokrasian
5. Tujuan
pemberian otonomi pada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Prinsip dasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5/1979 adalah sebagai berikut;
a. Untuk
menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan dan sesuai pula dengan sifat
NKRI, maka pengaturan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di seragamkan.
b. UU
No.5/1979 tentang pemerintahan desa, hanya mengatur desa dan kelurahan dari
segi pemerintahannya, dengan demikian UU tersebut tetap mengakui adanya
kesatuan masyarakat hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang
masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pemerintahan , pembangunan dan
ketahanan Nasional.
c. UU
5/1979 tidak mengarah kepada pembentukkan daerah otonom tingkat III.
Ada pun prinsip-prinsip
pemberian otonomi daerah, seperti tercantum dalam penjelasan UU No. 22 tahun
1999 angka 1 huruf i, sebagai berikut;
1. penyelenggaraan
otonomi daerah di laksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. pelaksanaan
otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3. pelaksanaan
otonomi daerah yang luas dan utuh di letakan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4. pelaksanaan
otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. pelaksanaan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan
karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilah
administrasi.
6. pelaksanaan
otonomi harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah,
baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. pelaksanaan
asas dekonsentrasi di latakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
di limpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. pelaksanaan
asas tugas pembantuan di mungkinkan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah,
tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang di sertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Prinsip-prinsip penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa, antara lain;
a. desa
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 adalah desa atau yang di sebut nama lain
sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan
hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagia mana di maksud dalam penjelasan
pasala 18 UUD 1945
b. pemerintahan
desa adalah pemerintah desa dan badan perwakilan desa.
c. Pemerintah
desa terdiri atas kepala desa atau yang di sebut dengan mana lain dan perangkat
desa.
d. Badan
perwakilan desa atau yang di sebut dengan nama lain berungsi mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarkat,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemarintahan desa,
disamping berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal
pelaksanaan Perdes, APBDes dan Keputusan Kepala Desa.
e. Penyalenggaraan
pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan sehingga desa
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Berdasarkan pasal 132 ayat 2 UU No.
2 tahun 1999, maka UU tentang pemerintahan daerah ini dilaksanakan secara
efektif selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun sejak penetapanya.
B.
Sejarah Fungsi Pamong Praja Dalam System Ketatanegaraan di Indonesia

Pada zaman kerajaan-kerajaan,
sebelum bangsa Asing berkuasa di Indonesia, kepulauan Indonesia pada umumnya,
pulau jawa pada khususnya mempunyai struktur masyarakat yang sangat feodal.
Masyarakat jawa terdiri dari raja-raja, kaum bangsawan dan kaum tani, jadi
merupakan suatu masyarakat bertingkat yang tersusun secara hierarchis. Berbeda
dengan struktur feudal masyarakat di Eropa pada abad menengah, maka feudal
masyarakat di Jawa tidak berhubungan dengan suatu leenstelsel dan
gootgrondbezit, juga tidak mengenal golongan handwerkers en handelaren met een
zelfstandige, politieke macht.
Perkembangan masyarakat Jawa dalam
abad ke-17 berlainan dengan masyarakat Eropa. Perkembangan masyarakat di Eropa
pada waktu itu, disamping kaum bangsawan timbul warga kota yang akhirnya berkat
kerja sama dengan raja dapat mengalahkan kaum bangsawan dan seterusnya memegang
posisi penting dalam perdagangan baik dalam negeri maupun internasional
sebaliknya diJawa, walaupun berabad-abad terdapat kaum pengusaha, yang telah
mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, akan tetapi mereka buta politik,
sedangkan kepentingan dagangnya sering bertentangan dengan kepentingan
kerajaan, yang ingin memegang monopoli perdagangan luar negeri sendiri akhirnya
perdagangan swasta dengan luar negeri mati sama sekali.
Daerah-daerah bagian utara dari
jawa barat, seperti Cirebon, Indramayu, karawang, Jakarta, banten, yang
semenjak abad ke -15 mudah didatangi dan dikuasai dari laut, dengan sendirinya
lebih banyak menerima peradaban kraton jawa Barat bagian seatan dari pada
daerah priangan ( Jawa Barat bagian selatan) yang sukar didatangi karena
merupakan tanah pegunungan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas
, maka pada zaman kerajaan-kerajaan sebelum bangsa asing berkuasa di Indonesia,
para Bupati dengan ponggawanya, yaitu patih, para demang, para petinggi, para
cutak, para camat. Diatas camat ada pegawai pengurus pajak lagi yang dinamakan
kepala cutak, memegang kekuasaan sehari-hari, yang hamper tidaka terbatas.
Akibat dari keadaan yang demikian
itu, menjadikan rakyat dianggap sebagai benda yang tidak bersuara dan sangat
pasif terhadap baik buruknya Negara, sebaliknya para ratu atau sultan bahkan
para bupati yang merasa dirinya sudah kuat, tidak ada hentinya berlomba-lomba
untuk menambah kekayaan dan kekuasaan dengan jalan merebutnya dari sultan dan
bupati.

Ketika bangsa Belanda pada tahun 1596
untuk pertama kali mendarat dikepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu
dijawa telah berubah menjadi kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya yang paling
kuat adalah Mataram dibawah Sultan agung, yang bercita-cita mempersatukan pulau
Jawa dan Madura, yang ketika itu terpecah-pecah.
Perserikatan dagang tersebut
mendapat bantuan politik dan militer dari pemerintah negeri belanda, dan
menerima beberapa hak istimewa, antara lain:
1. Hak
monopoli untuk berdagang di kepulauan Indonesia.
2. Hak
untuk memelihara angkatan perang, mendirikan benteng-benteng, membuat
perjanjian dengan raja-raja.
3. Hak
untuk mengangkat officieren van justitie untuk menjaga ketertiban umum,
kepolisian serta keadilan.
4. Hak
mencetak dan mengedarkan uang.
Orang Belanda pertama yang diangkat
sebagai Gubernur Ambon oleh Admirael ende zijnen raet(laksama dan dewannya)
adalah Frederick de Houtman, yang mulai menjalankan fungsinya mulai tanggal 1
MAret 1605.
Pada zaman VOC ada 2 macam jalan untuk
memperoleh hasil bumi dari bangsa Indonesia, yaitu:
1. Contingenten,
ialah pemungutan hasil bumi dan daerah,
dengan tidak memberikan ganti rugi
sedikitpun, karena pemungutan itu diangap sebagai pajak dalam bentuk natura.
2. Verplichte
leveranthies, ialah kewajiban dari rakyat berdasarkan perjanjian dengan VOC
untuk menanam sebagian dari tanahnya dengan macam tanaman,yang hasilnya
diperlukan oleh VOC untuk perdagangan.
Kedua macam pemungutan tersebut
pada zaman Raffles diganti dengan pajak tanah. Berdasarkan anggapan bahwa
rakyat itu adalah penyewa tanah milik.
Sementara itu para bupati makin
terlibat dalam utang kepada VOC, terutama disebabkan system uang muka tersebut
diatas. Untuk meringankan beban utangnya, satu-satunya jalan bagi mereka adalah
memperkeras pungutan dari rakyat,
sedangkan uang yang diterimakan untuk rakyat yang menanamnya semakin menciut.

Politik utama dari prancis dan
kerajaan belanda pada waktu itu adalah to build in asia counterweight against
british influence) yang telah menunjukan keunggulannya dan telah mengambil posisi
disebagian besar kepulauan luar jawa dan Madura.
Contoh kekejaman dari daendels,
ialah ketika Sunan banten tidak sanggup memberikan sejumlah besar pekerja di
Banten selatan. Ia karenanya mencari jalan untuk menundukkan sultan banten.
Ketika ada seorang Belanda terbunuh dibanten, kerajaan ini diserbu dan sultan
banten diasingkan ke ambon, sedangkan mangkubumi(perdana mentri) Banten, yang
dianggap oleh Daendels sebagai yang bertanggung jawab, dibunuh dan kemudian
mayatnya dibuang kelaut.Sultan baru yang diangkat oleh Daendels dipaksa untuk
menerima daerah Banten yang telah diperkecil lagi.
Raja-raja di jawa yang merasa
berjasa telah membantu orang-orang inggris dalam mengalahkan orang-orang
belanda sangat kecewa ketika ternyata sikap Raffles tidak berbeda dengan
penjajah Belanda. Karenanya pada tahun 1812 Sultan Yogyakarta menentang
pemerintahan Inggris.
Termasuk pula daerah Surakarta
dibawah pak kubowono IV, diserbu dan dipaksa menerima perjanjian baru yang
memperkecil daerah Surakarta, sedangkan nasib Sultan Banten lebih celaka lagi,
karena tuduhan yang sama pada tahun 1813 ia dipaksa turun tahta kemudian daerah
Banten dimasukkan kedalam daerah jajahan Inggris, dengan demikian habislah
riwayat kerajaan Banten tersebut.
Dari sejumlah peperangan melawan kekuasaan
Belanda diseluruh Indonesia selama abad ke-19, antara lain:
1. Perang
diponegoro dijawa Tengah dari tahun 1825 sampai tahun 1830.
2. Perang
Padri disumatera barat dari tahun 1821 sampai tahun 1837 dan
3. Perang
Aceh dari tahun 1837 sampai tahun 1904.
Sesuai dengan ajaran liberalism
yang dianut oleh Negara-negara eropa, yang merupakan pengaruh cita-cita
Revolusi prancis yaitu menganjurkan diterapkannya prinsip-prinsip
perikemanusiaan atau the new philosophy of philanthropy, maka pemerintah
belanda menginginkan pula pembaharuan dalam pemerintahan colonial di Indonesia.
Semboyan pada waktu itu adalah mengadakan
hubungan langsung dengan rakyat sendiri untuk melindungi mereka terhadap
pemerasan dari para bupati dan
bawahanya.
Akan tetapi sejak tahun 1830, pemimpin-pemimpin
yang beraliran liberalism diNEgeri Belanda terdesak oleh orang-orang yang
beraliran Conservatisme dan pemerintah belanda mengirimkan Van den Bosch ke
Indonesia sebagai Gubernur jenderal, yang diberi intruksi untuk menjalankan
tanam paksa. SEbagian dari tanahnya dengan tanaman yang laku dijual di Eropa,
misalnya kopi, gula, kapas, dsb.
Dengan lahirnya agrarische wet 1870
tersebut, maka kaum swasta Eropa dapat memperoleh tanah dengan hak erfpacht
yang mempunyai jangka waktu 75 tahun dan bila perlu dapat diperpanjang lagi,
dengan demikian batig slot ( transfer sisa uang dari anggaran Belanda hindia
belanda pada akhir tahun) yang selam kultur dinikmati oleh pemerintah Belanda
untuk sementara dipertahankan dan baru beberapa sebelum meletusnya perang Dunia
I, keuangan Hindia Belanda dilepaskan dari keuangan negeri belanda.

Pada akhir abad ke-19 setelah
Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris ke Belanda, terutama sesudah
dihapuskannya komisi jenderal, maka kedudukan pangreh praja di Indonesia (yang telah ada) diperkuat dan
gesubordineerd pada pemerintah pusat Hindia Belanda.
Kepatuhan rakyat kepada pimpinannya
disadari betul oleh pemerintah belanda dan itulah sebabnya ketika banyak
suara-suara terutama dari pada residen, yang menghendaki dihapuskanny para
bupati, karena dianggap sebagai pemeras rakyat.
Untuk memperkokoh kedudukan pangreh
praja Indonesia, sudah barang tentu untuk kepentingan pemerintah hindia belanda
untuk meningkatkan pengawasan serta pengaruh para bupati dalam menyelenggarakan
pemerintahannya, pemerintah pusat Hindia Belanda mempertinngi kedudukan pangreh
praja Indonesia yang kemudian dinamakan inlandsbestuur.
Para Bupati diberi kedudukan
istimewa, seperti:
1. Mereka
mempunyai hak forum privilegiatum, yaitu tidak boleh dijadikan saksi, apalagi
ditangkap oleh siapapun juga, kecuali dengan ijin gubernur Jenderal.
2. Jika
berhenti dari jabatannya atau meninggal dunia, GUbernur Jenderal harus berusaha
supaya yang mengantikannya ialah ahli warisnya yang terdekat.
3. Tidak
dipindah-pindahkan (dimutasikan).
4. Bupati
adalah pemimpin polisi pangreh praja dan polisi kota, kecuali dikota-kota besar
yang berada dibawah pimpinan asisten residen.

Setelah pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada balatentara jepang pada tanggal 9 maret 1942, maka pemerintah
pendudukan jepang melanjutkan sebagian besar struktur pemerintahan daerah
seperti pada Jaman Belanda di bidang dekonsentrasi, hanya namanya saja diganti
dengan bahasa jepang.
Jabatan gubernur dan jabatan
asisten-asisten residen dijawa dihapuskan, kotapraja-kotapraja dilepaskan dari
lingkungan administratip para bupati, sedangkan walikota menjadi
petugas-petugas pangreh praja yang tunduk kepada residen.

Sejak dahulu sampai sekarang,
korps pamong praja selalu memegang peranan penting dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia. Banyak pendapat mengenai keberadaan korps ini, sebagian menghendaki
agar dalam jaman modern (kemerdakaan) korps pamong praja dihapuskan saja,
karena korps ini merupakan alat colonial dan mengandung unsure feudal.
Sebaliknya banyak pula yang berpendapat perlu tetap mempertahankan korps pamong
praja, hanya perlu dibina, disempurnakan dan disesuaikan dengan tuntutan jaman
serta keadaan Indonesia yang sudah merdeka, sehingga unsure-unsur feodalnya
harus dibuang.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
sejarah pertumbuhan Pemerintah Daerah!
2. Jelaskan
fungsi Pamong Praja dalam system Ketatanegaraan Indonesia!
3. Apa
yang dimaksud dengan Pengreh Praja? Jelaskan!
4. Bagaimana
hubungan Kepamongprajaan dengan ilmu-ilmu lainnya? Jelaskan!
5. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan verstehen!

Baca kembali materi kegiatan
belajar IV yang menyangkut
tentang sejarah perkembangan Kepamongprajaan
atau Kepamongprajaan dalam perspektif sejarah.
Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja
lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Pedoman dari penjajahan pada waktu
itu adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari jajahannya dan untuk
mau mencapai semua itu, maka dengan melalui susunan pangkat pangreh praja,
bumiputera dan pangreh praja.
Sesuai denga politik jajahan dan
pedoman untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang
sehemat-hematnya, disamping menggunakan sistem dekonsentrasi, maka pemerintah
Belanda membiarkan bentuk-bentuk asli dalam persektuan-persekutuan hukum dalam adat,
seperti;
·
Daerah-daerah swapraja
dengan kontrak panjang, seperti; Surakarta, Yogyakarta, dan dengan
korte-verklaring seperti Goa, Majene, dan daerah-daerah yang di kuasai oleh
raja-raja.
·
Persekutuan-persekutuan
hukum adat, seperti desa di jawa dan madura yang juga di perkenankan mengurus
rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat setempat.
·
Persekutuan-persekutuan
hukum adat yang tidak terikat kepada daerah yang telah di sebutkandi atas, yang
hanya menyelenggarakan suatu kepentingan tertentu.
Gerakan ini menyebabkan diambilnya
politik kolonial baru oleh perinyah belanda
yang dinamakan Poliitk Etika, yang bertujuan untuk meningkatkan teraf
hidup dan kecerdasan rakyat bumiputera. Akibat dari Poliitk Etika Belanda ini,
yang tidak di sadari oleh Belanda sendiri adalah timbulnya suara-suara dari
gerakan-gerakan kebangsaan yang menuntut hak lebih bantak untuk turut serta
didalam menentukan politik kenegaraa.
POKOK
BAHASAN V
KEPEMIMPINAN
PAMONG PRAJA

1. Pengertian Pamong Praja
Asal kata "pamong" berasal dari bahasa Jawa "among",
atau emong"
yang artinya adalah mengasuh
atau membimbing atau mendidik. Dari kata among atau emong kemudian
menjadi pangamong atau
pangemong artinya orang
yang mengasuh atau orang yang membimbing atau orang yang mendidik. Adapun
istilah “praja" berasai dari bahasa Jawa kuno yang
diartikan kerajaan atau negara, misalnya Praja Ngamarto artinya Kerajaan Ngamarto atau Pendovvo_ Jadi
secara asal kata pamong praja diartikan sebagai :
a. pembimbing kerajaan,
b. pengasuh negara,
c. pendidik negara.
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among
merupakan metode terkenal
sebagai pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro
di Yogyakarta tanggal 3 Juli 1992.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja
berarti pegawai - Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Dalam Kamus
Indonesia-Inggris diterjemahkan Pamong
Praja sebagai Civil Service.
Jadi Pamong Praia dapat diartikan
sebagai pengasuh pemerintahan, atau abdi mayarakat_
Menurut Wajong (1972.-13), bahwa dinas
pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya merupakan organisasi tua, dimulai dari
kedatangan Belanda pada lahun 1596. Adapun sejarah penggunaan istilah pamong
antara lain :
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among
merupakan metode terkenal
sebagai pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro
di Yogyakarta tanggai 3 Juli 1992.
Dari peristilahan dan makna pamong praja di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian pamong praja meliputi :
a. Pembimbing kerajaan artinya pembimbing masyarakat kerajaan;
b. Pengasuh negara artinya pengasuh masyarakat negara;
c. Pendidik negara artinya pendidik masyarakat negara.
2. Definisi Parnong Praia
Pada masa kini Pamong Praia menurut Sadu Wasistiono dalam
makalahnya yang disampaikan pada Temu Akbar Alumni Pendidikan Pamong Praja
Propinsi Jawa Barat pada tanggal 29 Maret 1999 dengan judul Redefinisi,
Reposisi dan Refungsianalisasi Korps Pamong Praia (Wasistiono, 1999). Ditawarkannya
definisi Pamong Praja dengan paradigma baru, yaitu sebagai berikut :
Pamong
Praja adalah Aparatur (pusat maupun Daerah) yang dididik secara khusus untuk
menjalankan tugas-lugas pemerintahan dengan kompetensi dasar Koordinasi, Kolaborasi
dan Konsensus (3K) dalarn rangka memberikan i pelayanan umum serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Menurut beliau definisi ini masih terbuka untuk diperdebatkan,
terutama mengenai tiga kompetensi dasar
yang perlu diimiliki oleh anggota Korps Parnong Praja. Selain melakukan
redifinisi, bagi Sadu Wasistiono, Korps Pamong Praja juga harus melakukan
reposisi, dalam arti menata ulang kedudukan dan hubungannya dengan pemerintah serta
partai yang berkuasa, sejalan dengan kebijakan pemerintah nasional sebagaimana
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 yang diperbaiki
dengan Peraturan Pemerintah Nornor 12 Tahun1999 Tentang Netralitas Pegawai
Negeri Sipil. Selain itu, Korps Pamong Praja harus melakukan refungsionalisasi,
yaitu menata lagi fungsi-fungsi yang selama ini dijalankan oleh pamong praja.
Selanjutnya dijelaskan :
Perlu diakui secara jujur hahwa selama ini fungsi-fungsi
yang dijalankan oleh Korps Pamong Praja belum tampak secara jelas, bercampur
aduk karena adanya pengembangan karier secara lintas keahlian. Pada akhimya
pengetahuan dan kemahiran yang dimiliki Korps Pamong Praja menjadi tidak jelas
juga, sehingga sulit untuk dikategorikan sebagai sebuah profesi yang utuh dan
mandiri. Syarat untuk menjadi sebuah profesi yang utuh dan mandiri adalah (Sadu
Wasistiono, 1999) :
1.
Disiapkan
melalui pendidikan
khusus;
2.
Mengembangkan
pekerjaan dan kariernya melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat khusus berkaitan dengan pendidikannya;
3.
Tergabung
dalam sebuah organisasi profesi;
4.
Terikat
pada kode etik.
Perdebatan mengenai profesi pamong praja sudah berjalan
sejak lama. Pada akhimya telah diperoleh sebuah pengertian bahwa Pamong Praja
merupakan sebuah profesi umum (general profession). Konsekuensi logisnya profesi umum tersebut dapat masuk ke
mana-mana (fidak spesifik) dan dapat dimasuki oieh siapapun yang berminat dan
memenuhi syarat yang bersifat sangat longgar. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka kurikulum di IPDN mengikuti acuan outputnya sebagai generalist.

Menurut Wajong (1972:13), bahwa dinas pemerintahan umum
dengan Pamong Prajanya merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan
Belanda pada tahun 1596. Adapun sejaran pentggunaan istiiah pamong antara lain
:
1. lnstitusi dan korps Pangreh Praja - istilah pada zaman
penjajahan Belanda - disebut dengan Binnenfanas Besfuvr (BB), terdiri dari para pejabat departemen dalam negeri yang
ditempatkan di daerah yang bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban serta
menyelenggarakan kesejahteraan umum. Tugas korps Pangreh Praja mencakup bidang
yang sangat luas. Pada masa itu, korps Pangreh Praja merupakan alat
pemerintahan asing (Koesoemahatrnadja, 1979-44)1
2. Pada masa sesudah
kemerdekaan, istilah Pangreh Praja diganti menjadi Pamong Praja dengan alasan
bahwa kedudukan dan tugas Pangreh Praja dalam Negara yang merdeka berbeda
dengan pada masa penjajahan. Presiden R1 pada tahun 1953 mengatakan bahwa
pengertian pamong lebih dalam artinya dari pada pengertian pemimpin ataupun
pengasuh. Prinsip pokok dalam mengemong adaJah TUT WURI HANDAYANI, mengikuti di
belakang tetapi tetap mempengaruhi (dalam The Liang Gie, 1988:170);
3. Dalam statuta 1PDN ditetapkan bahwa IPDN merupakan
komponen Kementrian Dalam Negeri yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan Kader
Pamong Praja. istilah "Pamong Praja":
4. Menurut Samadikoen (dalam The Liang Gie, 1988:171),
tugas Pamong Praja dalam rangka dekosentrasi pada awal kemerdekaan dapat
diringkas menjadi tiga macam, yaitu ;
(1) Sebagai instansi penengah (arbiter), di antara
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan bermusuhan;
(2) Sebagai
instansi penghubung di antara lingkungan hukum tata Negara yang berlain-lainan;
(3) Sebagai pemelihara dari penegak ketentraman dan
keamanan umum dan dalam hubungan ini memiliki hubungan yang erat sekali dengan
jawatan kepolisian. Konsep kepamong-prajaan sebagai kualitas berkembang
sepanjang sejarah dan oleh sebab
itu mengandung arti :
a. Sebagai nomina (nama)
beberapa institusi di lingkungan Departemen Dalam Negeri, yaitu sebutan bagi
pejabat pusat di daerah pada zaman dahulu sampai sekitar tahun enam-puluhan
(korps Pangreh, kemudian Pamong
Praja), sesudah itu dijadikan sebutan sebagai unit kerja penegak hukum di
lingkungan pemerintah daerah, yaitu Polisi Pamong Praja.
b. Sebagai fungsi objektif di lingkungan Pemerintahan
Dalam Negeri, yang menjembatani tiap komponen dengan komponen lain, dan hadir
antara komponen sebuah system. Pemerintahan terdiri dari beberapa kualitas ini sekaligus fungsi utama
yang harus dipenuhi agar kinerja pemerintahan berkualitas yaitu conducting,
coordinating, dan "all weather
serving."
c. Sebagai lembaga di lingkungan Departemen Dalam Negeri.
Kualitas lembaga diharapkan profesional agar kinerjanya dapat lebih baik dan
berkualitas tinggi.
d. Sebagai kekuatan visioner yang mengatasi waktu dan
tempat, yaitu membaca tanda-tanda zaman, bersikap dalam ketidak-pastian, dan
mengantisipasi sejauh mungkin masa depan, sehingga proses kesebangsaan dari
kebhinekaan menuju ketunggal-ikaan terus-menerus berjalan. Berdasarkan kekuatan
itu, kepamong-prajaan mengemban misi suci (mission sacre) bangsa dan negara, yaitu mengelola keunikan tiap
masyarakat menjadi kekuatan mata-rantai nusantara, mengurangi kesenjangan vertikal
dan horizontal antar masyarakat secepatnya dan memproses kesebangsaan guna
mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Misi itu diselenggarakan melalui strategi
pemerintahan yaitu redistribusi nilai-nilai yang dihasilkan oleh subkultur
ekonomi melalui pelayanan kepada subkultur pelanggan, baik pelayanan civil sebagai
kewajiban Negara maupun
pelayanan publik sebagai kewenangan pemerintah.
e. Sebagai pioner pertama, buah pemikiran besar, roh
zaman, yang berkualitas sebagai kenegerawanan, maka kepamongprajaan berarti
kemampuan membuat sejarah (history making), sehingga buah pemikiran besar pamong praja Indonesia -
yaitu mereka yang memiliki kualitas kepamongprajaan yang dapat mempengaruhi perjalanan
sejarah Indonesia di tengah-tengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.
Kepamong-prajaan pada puncak kualitasnya yaitu kenegarawanan, bukanlah
hanya milik Kementrian Dalam Negeri akan tetapi milik dunia.

1. Makna Strategis Pamong Praja
Kosoemahatmadja, Guru Besar llmu Pemerintahan di
Universitas Padjadjaran Bandung dalam Pidato
Pengukuhannya yang berjudul “ Peranan llmu
Pemerintahan dalam Negara Hukum Modern “,
tanggal 17 Januari 1981 antara lain menyatakan, bahwa oleh karena Negara Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila bercita-cita
juga untuk mewujudkan suatu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hemat saya Negara Indonesia pun dapat menamakan diri sebagai
Negara Hukum Modern. Sedangkan dalam
disertasinya ditegaskan lagi, bahwa dalam suasana demokrasi Pancasila, maka
pada hemat Penulis fungsi Pamong Praja di daerah jangan dianggap remeh sebab
korps inilah yang harus mendukung kepentingan Pemerintah Pusat.
Pamong Praja tidak boleh diombang-ambingkan oleh
pergolakan politik di daerah, karena instansi ini ialah membina atau mendukung
dari ideologi Negara, alat dari Pancasila.
Berhubung dengan itu maka alat Pemerintah Pusat di daerah harus diperkuat, Kepala
Daerah, yang dipilih perlu dibantu oleh staf pegawai yang permanen dan ahli
dalam bidangnya. Pemilihan Kepala Daerah dan pengangkatan pegawai-pegawai
Pamong Praja sedikit banyaknya harus ditekankan pada faktor pendidikan karena
semakin kompleks masyarakat semakin banyak kebutuhan akan tenaga ahli, yang
mempunyai leadership, itu tenaga-tenaga yang technisch
dan practisch.
Dalam hal ini Penulis menyokong sepenuhnya usaha memupuk
kader-kader Pamong Praja melalui pendidikan Akademi Pemerintahan Da1am Negeri (
APDN), ~ sekarang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di
Jatinangor dan Institut llmu Pemerintahan (11P) di Jakarta, Koesoemahatmadja
(1981;1978).
2. Standar Pamong Praja
Pamudji datam Pidato Ilmiah pada Hari Wisuda APDN Malang
dan Peresmian IIP Tanggal 25 Mei 1967 di Malang Berjudul “ Membina Dinas Pamong
Praja Ke Arah Dinas Karier Datam Administrasi Negara “, menyatakan bahwa
kepamongprajaan itu adalah "kualitas kinerja yang secara objektif
dibutuhkan," :profesi berkualitas generalist, dan pertu dilembagakan menjadi dinas karier.
Pamong praja adalah aparatur pemerintah harus mempunyai
standar yang dapat diandalkan, guna menunjang pelaksanaan pemerintahan, baik di
pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, kualitas pamong praja selalu dikembangkan
melalui pendidikan dan pelatihan agar mampu menangani masalah-masalah
pemerintahan di masa kini dan. masa yang akan datang. Adapun standar Kepamongprajaan
Dalam Statuta IPDN dijelaskan bahwa standar pamong praja adalah :
- Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil di lingkungan Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
- Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil diperlukan pada setiap jenjang administratif pemerintahan. Strukturya mengerucut. Di tingkat Desa/Kelurahan diperlukan ribuan orang Pamong Desa/Pamong Kelurahan, dan dipuncaknya Pamong Bangsa/Negara, yaitu Presiden.
- Pamong praja generalis yang mengetahui dan mengenal sedikit demi sedikit tentang semakin banyak hal. Dalam hubungan ini, kepamongprajaan lebih sebagai seni (art) dan kreativitas ketimbang tekhnik dan spesialisasi. Kualitas ini tidak dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum yang cenderung spesialistik.
- Pamong praja adalah dinas karier. Kesinambungan, konsistensi, keselarasan, keseimbangan dan keserasian program memberikan tenaga yang bebas dari pengaruh rezim politik lima tahunan seperti yang terjadi selama ini. Hubungan antara pamong praja dengan politisi harus bersifat transformasional, bukan transaksional. Selama ini masing-masing unsur struktur supra (trias politika) asik bertransaksi antara mereka, sehingga stuktur infra terlupakan. Pamong praja sendiri harus selektif, bukan elektif.
- Pamong praja memerlukan kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat terbentuk melalui diklat jangka pendek, doktrin, instruksional, dan rekrutmen berdasarkan spoil system, bersifat insidental, tetapi melalui pendidikan formal berijazah dan pengalaman yang luas.
- Pamong praja adalah tenaga pemikir dan perancang pemerintahan. Kemampuan berpikir teoritik dan konseptual tidak dapat terbentuk rnelalui pendidikan profesional berprogram diploma atau spesialis. Pendidikan seperti itu ditujukan pada profesi dan job tertentu yang ditawarkan pasar. Sebaliknya profesi dan job pamong praja bersifat publik, sudah tersedia. Oleh sebab itu, kualitas pamong praja dibentuk melalui program pendidikan akademik.
- Pamong praja perlu dibekali dengan llmu Pemerintahan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya.
- Pamong praja adalah profesional. Seorang profesional mengabdi pada profesi (pekerjaan), bukan pada orang. Pengabdian tersebut bersumber pada pertimbangan- pertimbangan ilmiah (teoritik), dan karena ilmu yang menjadi andalan adalah Kybernologi, maka pertimbangan-pertimbangan itu demi perlindungan kemanusiaan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
- Pamong praja adalah kepala, manajer, pemirnpin, koordinator, conductor (dirigen), penyelamat, dan pengelola sisa. Pemerintahan dapat dipandang sebagai organisasi, usaha, dan komunitas, yang terdiri dari komponen yang berbeda-beda dengan kondisi yang berlain-lainan. Gerakan komponen-komponen itu harus harmoni satu dengan yang lain agar bersama-sama menghasilkan kinerja optimal. Oleh sebab itu, pamong praja harus memiliki kekepalaan, manajemen, dan kepemimpinan.
- Pamomg praja sebagai kenegarawanan. Kualitas tertinggi kepamongprajaan adalah kenegarawanan. Seorang negarawan menghasilkan pikiran-pikiran besar (magnanimous), memandang sejauh mungkin ke depan, berwatak impartial, dan non partisan. Berperan menjalankan misi pemerintahan Indonesia yaitu mengelola keunikan tiap mayarakat menjadi keuatan mata rantai nusantara, rnengurangi kesenjangan vertical antar lapisan masyarakat dan mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah secepatnya, sehingga " the people who get the pain are the
people who share the gain," dan memproses kesebangsaan guna mewujudkan Bhinneka
Tunggat lka, adalah Departemen Da1am Negeri.
- Kepamong-prajaan dibentuk melalui pendidikan kedinasan di bawah Kementrian ` Datam Negeri yaitu lnstitut Pemerintahan Dalam Negeri (1PDN) rnelalui jenjang pendidikan D4, S1, S2 dan S3.
- Kepamongprajaan adalah jiwa kerja korps yang berwawasan nusantara dan bersemangat kesebangsaan.
.

1. Pemimpin Transfromasional
Pada masa yang akan datang aktivitas kepamongprajaan di
Indonesia sudah dipastikan akan mengalami perubahan-perubahan yang cepat
sebagai konsekuensi logis dari adanya pembaruan pemerintahan dan reformasi
Pamong Praja. Berdasarkan modeling system dynamics, maka visi dan misi Pamong Praja abad 21 dapat dipetakan.
Beberapa karakteristik penting dari pemimpin
transformasional diperlukan dalam dinamika perbaikan manajemen kualitas
(Gaspersz, 1997:197), yaitu :
1. Memiliki visi yang kuat
2. Memiliki peta tindakan (map for action)
3. Memitiki kerangka untuk visi (frame for the vision)
4. Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
5. Berani mengambil
resiko
6. Memiliki gaya pribadi inspirasional
7. Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
8. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat
2. Pemimpin Visioner
Kepemimpinan Visioner. Seperti yang sudah disebutkan
dimuka bahwa, Pamong Praja merupakan Leader (Pemimpin)
maupun Headship (Kepala).
Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang
harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112).
Pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah,
akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih pergaulan sosial. Syarat ini yang harus
pertama dan utama untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam
birokrasi pemerintah termasuk Pamong Praja. Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa ke
mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala
nasional maupun global. Ia menanamkan "Kepemimpinan Visioner" atau
dengan kata lain seorang pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan secara
"Glokal (bervisi global-action lokal).
Visi pada hakekatnya adalah untuk menjelaskan arah pencapaian
tujuan, diikuti peningkatan kualitas kerja peningkatan kinerja organisasi. Menurut Suradinata (Abdi Praja 1997:11), ada lima fenomena kualitas
Pamong Praja, yaitu:
1.
Memberikan
pelayanan pada masyarakat baik dalam iingkup aparatur maupun masyarakat umum.
2.
Pengembangan
diri, tuntunan terhadap kemampuan setiap Pamong Praja. Untuk itu, mereka harus
terus belajar dan meningkatkan pendidikan dan pelatihan baik melalui
penjenjangan maupun diklat tekhnis fungsional.
3.
Pelaksanaan
tugas, yaitu melaksanakan tugas tanggung jawabnya selaku aparatur pemerintah
dalam negeri yang lebih mengutarnakan tugas pokok.
4.
Keteladanan.
Sebagai seorang Pamong Praja, keteladanan merupakan aspek yang menentukan.
Dalam Kepemimpinan Pancasila, keteladanan merupakan sikap konsisten dan
konsekuen dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
5.
Lingkungan,
mencakup faktor alam dan sosial yang antara lain terdiri dari etika, moral,
budaya, serta jati diri bangsa Indonesia.
Di samping itu, organisasi birokrasi pemerintah (Pamong
Praja) harus berkualitas. Kualitas Pamong
Praja yang diharapkan pemerintah menurut
Taufik (1999:86-87) adalah :
- Birokrasi pemerintah (Aparatur Pemerintah/Pamong Praja) yang bersih dan berwibawa, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
- Profesionalisme aparatur pemerintah yang memadai dan secara tepat tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi.
3.
Reformasi
birokrasi pemerintah agar dapat difokuskan pada kuaiitas dan kesempatan
pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan slogan "Abdi Negara dan Abdi Masyarakat'.
- Kerjasama tim (team work) yang efektif dan efesien.
- Kemampuan manajemen dalam unit birokrasi pernerintah yang dapat menangani setiap permasalahan pembangunan yang dihadapi.
6.
Birokrasi
yang memihak pada kepentingan rakyat banyak sesuai dengan visi dan misi yang
telah disetujui bersama.
Oleh karena itu, Pamong Praja harus mempunyai strategic vision seperti yang diajukan
oleh UNDP sebagai karakterisitik good
governance (Lembaga
Administrasi 'Negara, 2007:7) di mana diharapkan Pamong Praja mempunyai
perspektit luas dan 4 yang jauh ke depan.
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan
(globafisasi) yang ~ melekat pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu
disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat dinamis, berorientasi pada
wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi asing serta
membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan
nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan
sistem kerja terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan
kemampuan tekhnis administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata,
1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz,
Sarundajang, Thoha, Suradinata dan Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong
Praja Abad Ke-21,sebagai berikut ;
1.
Profesionalisme
Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama berupa pemberian pelayanan
kepada masyarakat
2.
Koordinasi
menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi
pelayanan kepada masyarakat
3.
Selain
mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.
Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna
meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat
5.
Memiliki
kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja yang
dapat ditonjolkan
6.
Menjalankan
Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa berakhlak
yang baik tanpa ada cacat moral
7.
Mengutamakan
kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat
8.
Mempunyai
Strategic Vision dalam mengantisipasi
perubahan pemerintahan maupun perubahan masyarakat yang semakin cepat dan
mengalami pasang-surut.
Dwight Wardo dengan bukunya yang berjudul "The Enterprese of
Administration", 1980 dalam The Liang Gie (1993:7.2), menjelaskan :
Petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations) yang lebih banyak
dalam kaitan dengan kelakuannya ketimbang orang swasta. Demikian pula para
petugas dengan jabatan tinggi dalam badan-badan pemerintah mempunyai lebih banyak kewajiban-kewjliban etis dari pada seorang siapa saja. Implikasi lebih lanjut dari
pendapat itu ialah setiap petugas dalam adminitrasi pemerintahan wajib memiliki
sikap-mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi,
dan berbagai etis yang bersumber pada kebajikan moral khususnya keadilan. Tanpa
asas-asas etis itu seorang petugas negara tidak mungkin membina suatu kehidupan
bangsa dan keadaan masyarakat yang tentram dan sejahtera. Bahkan kebalikannya,
kehidupan rakyat mungkin dijerumuskan pada kegelisahan dan kesengsaraan.
3, Kode Etik Petugas
Administrasi
The Lang Gie (1993:7.11), menjelaskan sebagai berikut :
Perhimpunan-perhimpunan para petugas administrasi di Amerika dalam tahun 1984
menyetujui sebuah kode etik yang
memuat asas-asas dan ukuran-ukuran baku moral yang menjadi petunjuk bagi para
anggotanya sebagai petugas administrasi pemerintahan, sebagai berikut :
1.
Menunjukkan
ukuran-ukuran baku yang tertinggi mengenai keutuhan watak perseorangan, kebenaran, kejujuran, dan
ketabahan dalam semua kegiatan publik kita agar supaya membangkitkan keyakinan
dan kepercayaan rakyat pada pranata-pranata
bangsa : (demonstrate the higest standards of personal integrity, truthfulness,
honesty and tortitude in all our public activities in order to inspire public
confidence and trust in public institutions) :
2.
Melayani
rakyat secara hormat, perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan
kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri : (service
the public with respect, concern, courtesy, and responsiveness, recognizing
that service to the public is beyond service to oneself) :
3.
Berjuang
kearah keunggulan professional perseorangan dan menganjurkan pengembangan
profesional dari rekan-rekan kita dan mereka yang berusaha memasuki bidang
administrasi Negara : (strive for personal professional excellence and encourage
the professional development of our associates and those seeking to enter the field
of public administration)
4.
Menghampiri
kewajiban-kewajiban operasional dan organisasi kita dengan suatu sikap positif
dan secara konstruktif mendukung komunikasi yang terbuka, kreativitas,
pengabdian, dan welas asih : (approach our organization and operational duties with a
positive attitude and constructively support open communication, creativity,
dedication, and compassion) :
5.
Melayani
dalam suatu cara sedemikian hingga kita tidak mewujudkan keuntungan pribadi
yang tidak semestinya dari pelaksanaan kewajibankewajiban resmi kita : (serve
in such a way that we do not realize undue personal gain from the performance
of our official duties) :
6.
Menghindari
suatu kepentingan berdasarkan hak-hak istimewa, pertentangan dengan penunaian
dari kewajiban-kewajiban resmi kita : (avoid any interest or activity
which is in conflict with the conduct of our official duties) :
7.
Menghormati
dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang kita dapat memperolehnya
dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi : (respect an protect the
privileged information to which we have acces in the course of official duties)
:
8.
Menjalankan
wewenang kebijaksanaan apapun yang kita miliki menurut hukum untuk memajukan
kepentingan umum : (exercise whatever
discreationary authority we have under law to promote the public interest) :
9.
Menerima
sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan
baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan rakyat
dengan kecakapan profesional : (accept as a personal duty the responsibility to keep up
to date on emerging issues and to administer the public's business with
professional competences, fairbess,
impartiafy, efficiency and effectiveness) :
10. Mendukung, menjalankan, dan memajukan penempatan tenaga
kerja menurut penilaian, kecakapan serta program-program tindakan afirmatif
guna menjamin kesempatan yang
sama pada penerimaan, pemeliharaan, dan peningkatan kita terhadap orang-orang
yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat : (support, implement, and promote merit employment and programs of affirmative action to assure equal opportunity by our
recruitmens selection, and advancement of qualified persons from all elements
of society) :
11. Melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tak sah, kecurangan,
salah urus keuangan Negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada
dalam kesulitan karena usaha yang bertanggung jawab untuk memperbaiki
pembedaan, kecurangan, salah urus atau salah pakai yang demikian itu : (eliminate
all forms of illegal discrimination, fraud, and mismanagement of public funds
and support collegagues if they
are in difficulty because of responsible
efford to correct such discrimination, fraud, mismanagement or abuse) :
12. Menghormati, mendukung, meneiaah, dan bilamana periu berusaha
untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi Negara federal dan Negara bagian
serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan di antara instansi-instansi
pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga-warga : (respect,
support, study, and when necessary, work to improve federal and state
constitutions, and other laws which define relationship among public agencies,
employees, clients, and all citizens).

1.
Jelaskan
asal kata Pamong
Praja sehingga jelas pengertiannya!
2.
Jelaskan
definisi Pamong Praja menurut
pakar pemerintahan !
3.
Beranjak
dari definisi pamong praja yang telah ada, Sdr diminta merumuskan kembali
definisi pamong praja sehingga menjadi jelas !
4.
Jelaskan
apa yang dimaksud dengan pemimpin visioner
?
5.
Jelaskan
karakteristik penting dari pemimpin transformasional berikut ini :
a. Memiliki visi
yang kuat
b.
Memiliki peta
tindakan (map for action)
c.
Memiliki kerangka
untuk visi (frame for the vision)
6. Berilah contoh karakteristik kepemimpinan transformasional
berikut :
- Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
- Berani mengambil resiko
- Memiliki gaya pribadi inspirasional
- Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
e. Memiliki kemampuan
mengidentifikasikan manfaat-manfaat
7. Jelaskan Visi Pamong Praja yang sangat mendesak pada
Abad Ke-21!

Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik adalah
kepemimpinan yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cacat moral
(Thoha, 1997:112). Pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan
kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih pergaulan sosial.
Syarat ini yang harus pertama dan utama
untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk
Pamong Praja. Selain itu, pemimpin harus
memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan
kepadanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat
jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Ia menanamkan
"Kepemimpinan Visioner" atau dengan kata lain seorang pemimpin yang
mampu melihat jangkauan ke depan secara "Glokal (bervisi global-action lokal).
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan
(globafisasi) yang ~ melekat pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu
disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat dinamis, berorientasi pada
wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi asing serta
membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan
nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan
sistem kerja terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan
kemampuan tekhnis administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata,
1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz,
Sarundajang, Thoha, Suradinata dan Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong
Praja Abad Ke-21,sebagai berikut ;
1.
Profesionalisme
Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan karakteristik utama berupa pemberian pelayanan
kepada masyarakat
2.
Koordinasi
menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi
pelayanan kepada masyarakat
3.
Selain
mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong
Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.
Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna
meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat
5.
Memiliki
kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja yang
dapat ditonjolkan
6.
Menjalankan
Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa berakhlak
yang baik tanpa ada cacat moral
7.
Mengutamakan
kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun
pelayanan prima kepada masyarakat
8.
Mempunyai
Strategic Vision dalam mengantisipasi
perubahan pemerintahan maupun perubahan masyarakat yang semakin cepat dan
mengalami pasang-surut.
POKOK BAHASAN VI
SISTIM POLITIK DAN
SISTIM KEPARTAIAN DI INDONESIA

Salah
satu penyebab utama dari kurangnya pembangunan di Indonesia adalah tidak adanya kestabilan
di bidang politik serta pemerintahan
baik di pusat maupun daerah.
Hal tersebut disebabkan karena dianutnya sistim banyak partai
sehingga di kursi parlemen ada yang berkuasa dan ada yang menjadi oposisi. Pihak
oposisi ini yang biasanya menjadi pihak yang berusaha menggagalkan pelaksanaan pembangunan yang digagas oleh
pihak yang berkuasa.
Berikut akan disajikan tentang apa
yang dimaksud dengan sistim politik dan sistim kepartaian.

Dalam
setiap Negara ada satu
kelembagaan hidup yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan norma-norma atau
kaidah hukum. Kelembagaan hidup
yang demikian disebut sistim politik, istilah politik disini digunakan dalam
arti: ” Government in more comprenhensive
sense”
Aparatur oleh input dari masyarakat
terdiri dari :
1.
Demands,
yaitu keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat dapat digerakkan baik
dari sistim politik maupun dari the non
political environtment
2.
Supports,
yaitu dukungan termasuk sikap dan kelakuan attitudes
and behavior yang mendorong sistem politik di tiap tingkat pemerintahan
dengan lebih terarah didalam menjalankan kebijaksanaan pemerintahan
3.
Apathy,
yaitu kemasabodohan masyarakat yang memberikan pengaruh pula, walaupun secara
tidak langsung kepada aparatur pemerintahan,
yang harus berusaha untuk merubah apathy rakyat
itu menjadi demand and supports input.
Kegiatan
aparatur Negara memberikan output berupa :
1.
Rewards,
yang memenuhi keinginan-keinginan dan harapan rakyat
2.
Deprivations,
yang merampas, membatasi, melarang kebebasan dan keinginan rakyat.
Output ini menggambarkan hasil
pengolahan demands,supports dan apathy oleh aparatur Negara menjadi peratuan
atau kebijaksanaan dalam berbagai bidang perekonomia, perindustrian,
keamanan,kebudayaan dan sebagainya.
Fungsi-fungsi
aparatur Negara untuk menghasilkan output tersebut adalah:
1.
Rule-Making,
yang bersifat mengatur atau lazim
disebut fungsi legislative
2.
Aplication
Of rules, atau fungsi eksekutif
3.
Settlement
of Disputes atau fungsi judikatif
Seperti telah dikemukakan terdahulu
bahwa dalam rangka sistem politik diperlukan suatu mekanisme untuk menyelenggarakan
fungsi input, interest identification,
leadership selection, disamping bahwa di dalam Negara demokrasi fungsi
tersebut dilakukan oleh partai-partai politik, golongan-golongan kepentingan
dan organisasi-organisasi massa, mass media dan lain sebagainya.
Sektor kehidupan politik rakyat ini
lazim disebut infrastruktur politik, sedangkan sektor kehidupan politik lainnya
dinamakan suprastruktur politik, yang menjalankan fungsi-fungsi output, yaitu
keputusan-keputusan politik.

Para ahli politik mengadakan pembagian
terhadap sistim kepartaian yang berbeda-beda, diantaranya.
a.
Sistim
otoriter
b.
Sistim
non otoriter
c.
Sistim
dua partai
d.
Sistim
multipartai
Sistim kepartaian ini yang menjadi
titik
rancu kemajuan pembangunan. Karena semakin banyak partai, semakin banyak
pula yang ingin mengusahakan agar partainya dapat berkuasa, sehingga
menomorduakan kemajuan pembangunan dan kemakmuran masyarakat
- Hubungan Antara Sistim Kepartaian Dengan Sistim Pemerintahan
Sistim
pemerintahan parlementer, adalah suatu sistim pemerintahan dimana pemerintah sebagai
badan eksekutif bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (legislative)
Sistim
pemerintahan presidential, adalah sistim pemerintahan dimana presiden selaku
kepala eksekutif bertanggung
jawab kepada para pemillihnya dan dibantu oleh para menteri yang ditunjuk oleh
dan bertanggung jawa kepada presiden yang melakukan tugasnya dalam waktu
tertentu.
Sistim
pemerintahan campuran, adalah suatu sistim pemerintahan yang mengandung baik
segi-segi presidential, maupun segi parlementer
Di
Indonesia yang menganut system banyak partai,
partai tidak akan mempunyai suara mayoritas di legislatif. Maka dari itu
pemilihan presiden di Indonesia harus melalui jalan koalisi, yang berarti
partai-partai di parlemen harus bergabung untuk mencapai syarat pengajuan calon
presiden minimal sebanyak 20% kursi di parlemen. Hal ini berarti presiden yang
telah terpilih dari koalisi, harus memilih pembantunya (menteri) mayoritas
berdasarkan suara koalisi yang mengangkatnya.dan dalam mengambil keputusan atau
kebijakan, presiden harus mendengarkan pendapat dari koalisi-koalisinya yang
akan berpengaruh terhadap kebijakaan yang akan diambilnya.
Jadi jelaslah, bahwa
sistim pemerintahan campuran apabila disertai sistim banyak partai tidak
mungkin menimbulkan stabilitas di bidang politik.
Pengaruh sistim satu partai terhadap sistim
pemerintahan campuran.
Sistim satu partai yang digunakan
sebagai dasar bagi pemerintahan Negara dapat mewujudkan satu pemerintahan yang
stabil bagi sistim pemerintahan campuran Karena segala kegiatan yang dilakukan
pemerintah merupakan pelaksanaan program dari satu partai politik semata-mata.
Pengaruh sistim dua partai
terhadap sistim pemereintahan campuran dengan berlangsungnya sistim dua partai
seperti di Indonesia maka yang akan terpilih sebagai presiden adalah calon dari
partai politik yang mempunyai suara mayoritas dalam MPR.
- Stabilitas Politik
Sejak
diprokalamasikannya Indonesia sampai sekarang pasang surut kehidupan politik
dapat dilihat dari para pemimpin partai
politik yang kurang menunjukan kematangn politik dan kematangan bernegara, hal
ini mungkin disebabkan oleh stabilitas politik yang tak kunjung stabil. Seperti
yang telah dikupas pada metro file di metro tv dan Koran media Indonesia pada
waktu lalu.
Namun selaras dengan
perkembangan jaman, sistim otonomi yang dianut ternyata tidak menunjukan
perkembangan yang menggembirakan bahkan sistim otonomi daerah ternyata tidak
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakannya.
Stabilitas politik
diperlukan apabila bangsa Indonesia ingin terus membangun namun stabilitas itu pula
yang tak kunjung datang.
Peranan partai politik dalam
kehidupan bernegara adalah:
1.
Pengembangan suatu indigenous political ideology (ideologi
politik ), atau ideologi politik, yang digali dari kepribadian bangsa itu
sendiri yang dipergunakan sebagai suatu prinsip penuntun, yang berlaku
universal bagi bangsa yang bersangkutan.
2.
Pembelaan hak-hak
demokrasi, yang merupakan suatu hak yang paling hakiki/bernilai yang dimiliki
manusia merdeka yang tidak boleh dibiarkan diinjak-injak atau kurang diindahkan
oleh siapapun juga.
3.
Pembinaan lembaga-lembaga
demokrasi, yang telah diakui adanya oleh bangsa dan Negara yang bersangkutan.
Sebagai alasan untuk membina lembaga-lembaga itu, sebaiknya ialah karena
pemilihan umum sering dipergunakan sebagai suatu barometer untuk mengukur
tingkat kedewasaan berpolitik secara demokratis bagi suatubangsa dan Negara.
4.
Pendidikan politik bagi
para anggotanya, untuk lebih matang berpolitik dan berlaku sebagai warga Negara
yang baik, dengan tujuan utamanya agar partai yang bersangkutan memperoleh
suara dalam pemilihan umum, bahkan akhir-akhir ini cenderung disalahgunakan
sebagai ajang untuk menghasut atau memprovokasi untuk menjatuhkan partai
linnya.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
maksud dari sistem satu partai di sebuah negara!
2. Jelaskan
system
pemerintahan campuran !
3. Apa
yang dimaksud dengan pengembangan suatu indigenous political idiology? Jelaskan!
4. Bagaimana
hubungan pendidikan politik dengan kesadaran politik?
Jelaskan!
5. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan pembelaan hak-hak demokrasi!
6. Sebutkan peranan-peranan partai politik dalam
kehidupan bernegara!

Baca kembali materi kegiatan
belajar VI yang menyangkut
tentang sejarah perkembangan ekologi, ekologi sebagai ilmu pengetahuan dan arti
daripada ekologi. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga
paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Sistim pemerintahan parlementer,
adalah suatu sistim pemerintahan dimana pemerintah sebagai badan eksekutif
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (legislative)
Sistim pemerintahan
presidential, adalah sistim pemerintahan dimana presiden selaku kepala
eksekutif bertanggung jawab kepada para pemillihnya dan dibantu oleh para
menteri yang ditunjuk oleh dan bertanggung jawa kepada presiden yang melakukan
tugasnya dalam waktu tertentu.
Sistim pemerintahan
campuran, adalah suatu sistim pemerintahan yang mengandung baik segi-segi
presidential, maupun segi parlementer
Di Indonesia yang
menganut system banyak partai, partai
tidak akan mempunyai suara mayoritas di legislatif. Maka dari itu pemilihan
presiden di Indonesia harus melalui jalan koalisi, yang berarti partai-partai
di parlemen harus bergabung untuk mencapai syarat pengajuan calon presiden
minimal sebanyak 20% kursi di parlemen. Hal ini berarti presiden yang telah
terpilih dari koalisi, harus memilih pembantunya (menteri) mayoritas
berdasarkan suara koalisi yang mengangkatnya.dan dalam mengambil keputusan atau
kebijakan, presiden harus mendengarkan pendapat dari koalisi-koalisinya yang
akan berpengaruh terhadap kebijakaan yang akan diambilnya.
POKOK
BAHASAN VII
EFISIENSI
PEMERINTAHAN

Menghadapi
kenyataan-kenyataan yang muncul kepermukaan dalam era globalisasi, khususnya
dalam menghadapi era perdagangan bebas, yaitu WTO tahun 2020, yang diawali
untuk lingkungan Asia Tenggara (AFTA 2003) dan untuk lingkungan Asia-Afrika
yang tergabung dalam kelompok negara yang berkembang (APEC) pada tahun 2010,
maka manajemen stratejik dalam pelayanan publik oleh pemerintah suatu negara
perlu mengakomodasi kebijakan publik yang antisipatif.
Salah
seorang pemikir yang turut memberikan alternatif kebijakan publik yang menjadi
pilihan pemerintah suatu negara yakni David Osborne dan Ted Gaebler, yang
menuangkan idenya dengan lugas dalam buku yang diberinya judul “Reinventing Government”. Gagasan menata
ulang pemerintahan mungkin tampak berani bagi mereka yang melihat pemerintahan
sebagai sesuatu yang mapan, sesuatu yang tidak berubah. Tetapi dalam
kenyataannya, pemerintah secara konsisten berubah. Perubahan global yang
berlangsung begitu cepat menggiring pemerintah untuk mereposisi dirinya dalam
mengambil peran.
Buku ini
memberikan gambaran bentuk reposisi yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam
menghadapi berbagai perubahan yang cepat tersebut. Terdapat sedikitnya 10
(sepuluh) prinsip yang terstruktur menuju pemerintahan wirausaha. Gambaran ini
bukanlah merupakan sebagai kata akhir dari suatu langkah penyesuaian diri
pemerintah, tapi merupakan langkah awal menata ulang posisi pemerintahan.
Prinsip
pwmweintah wirausaha ini mengharapkan adanya peningkatan di masa mendatang
kinerja pemerintahan, ditengah ekonomi dunia yang saling mengait, dimana peran
pemerintah sangat strategis dalam mengkondisikan suasana yang menguntungkan
bagi dunia usaha.
Pada saat
ekonomi dunia saling mengait semakin terasa, maka pada saat itu peran
pemerintah bergeser pada bagaimana memberikan akses yang seluas-luasnya bagi
investor baik dari dalam negeri maupun dalam negeri untuk melakukan aktifitas
ekonominya, dan pada saat yang sama menjamin semua orang atau konsumen utuk
mendapatkan barang atau jasa yang mudah didapatkan dengan kualitas yang baik serta
dengan harga yang relatif murah.

(Isi Buku)
Dalam
buku ini membahas dan mengulas secara dalam bagaimana organisasi publik harus
menggeser paradigmanya dalam melaksanakan perannya di era yang konpetitif,
dengan harus meningkatkan daya saingnya, namun esensi yang dasar dari gagasan
Reinventing Governmen ini adalah mewirausahakan birokrasi dan memberdayakan
masyarakat atau publik.
Adapun
konsep Reinventing government tersebut adalah :
1. Catalytic
government
Artinya pemerintahan katalis
maksudnya adalah bahwa tugas pemerintah mengarahkan dan bukan mengayuh atau
steering the boat and not rowing. Caranya peran pemerintah lebih pada peran
pengaturan dan menciptakan suasana yang kondusif terhadap lembaga non
pemerintah dalam memberikan dan memenuhi kebutuhan akan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Community
Owned government
Yaitu membuat masyarakat memiliki
pemerintah. Caranya adalah melalui empowering rather serving, artinya
memberdayakan masyarakat dan bukan melayani sehingga ketergantungan kepada
pemerintah menjadi berkurang.
3. Competitive
government
Artinya pemerintah harus memiliki
daya saing. Caranya adalah injecting competiton into service delivery, yaitu
mendorong kemampuan bersaing dalam memberikan pelayanan sehingga tidak kalah oleh
sektor swasta
4. Mission
driven government
Artinya
pemerintah yang disetir oleh misi atau tujuan. Caranya dengan transforming rule
driven organization, maksudnya mengubah organisasi lembaga, badan, instansi
yang berororirntasi ketat, patuh pada peraturan sebagai policy
5. Result
oriented government.
Artinya
menjadikan pemerintah bersemangat wira
usaha. Caranya adalah earning rather than serving atau menggali pemasukan dan
bukan melulu memberikan pelayanan
6. Enterprising
government
Artinya
menjadikan pemerintah yang bersemangan
wira usaha. Caranya adalah earning rather than serving atau menggali pemasukan
dan bukan melulu memberikan pelayanan.
7. Anticipatory
government
Artinya
pemerintahan yang memiliki daya antisipatif, karena masa depan yang penuh
dengan ketidak pastian, maka diperlukan kemampuan mengantisipasi
perubahan-perubahan yang beriseka. Caranya adalah mengacu pada konsep
prevention rather than cure, mencegah ketimbang mengobati.
8. Costumer-driven
government
Yaitu
pemerintah yang mengutamakan kepentingan umum. Caranya adalah meeeting needs of
custumer, not the bbureucracy, artinya memenuhi kebutuhan pelanggan dan bukan
birokrasi. Dalam hal ini birokrasi harus berperan sebagai abdi masyarakat dan
abdi negara, bukan sebaliknya.
9.
Decentraliced government
Yaitu pemeritah yang terdesentralisasi.
Caranya adalah from hierarchy to partisiption and team work artinya dari
hirarki ke partisipasi dan tim kerja, ini dimaksudkan melonggarkan ketatnya
hubungan hirarkis lewat pelimpahan wewenang sehingga tumbuh peran serta dan tim
kerja yang kuat dan kondusif terhadap pencapaian hasil.
10. Market oriented government
Artinya pemerintah yang berorientasi pasar.
Kedudukan pasar adalah pelanggan atau interaksi masyarakat dimana demand
memerlukan supply sehingga tidak terjadi gap. Caranya adalah leveraging change
throught the market, maksudnya mendongkrak perubahan lewat pasar artinya
perubahan-perubahan yang terjadi bukan dibuat-buat, melainkn sepenuhnya karena
interaksi yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri.

(Analisis / Komparasi)
Buku ini
ditulis dalam rangka menata ulang pemerintahan dalam rangka antisipasi terhadap
munculnya suatu ekonomi industri yang berkembang dahsyat dimana pada saat itu
kompetisi begitu sangat ketat antar pelaku bisnis, lembaga non pemerintah dan
birokrasi pemerintah itu sendiri, agar tidak menjadi pecundang, agar
pemerintahan tidak ditinggalkan oleh rakyatya.
Osborne
dan Gaebler menawarkan gagasannya, yang ditujukan kepada pemerintahan di bumi
manapun mempraktekkan birokrasi, bahwa beberapa peran pemerintah yang
diselenggarakan dan dengan patuh tetap dipertahankan hingga saat ini, maka
seiring dengan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan
transportasi, menjadikan dunia semakin sempit dijelajahi, interaksi sesama warga
bangsa dunia semakin mudah untuk dilakukan, yang pada akhirnya membawa
perubahan-perubahan besar dalam praktek perekonomian dan pelayanan dan
pemenuhan kebutuhan publik.
Saatnya
pemerintah harus menggeser paradigmanya dari yang mengambil peran dominan dalam
pelayanan publik dan menjadi organisasi yang kaku dalam bentuknya yang
birokratis menjadi pemerintah yang mengambil peran mengarahkan, memberdayakan,
orientasi pelayanan, orientasi wira usaha, memiliki visi untuk mengantisipasi
perubahan masa depan, serta pendelegasian kewenangan melalui penyelenggaraan
pemerintahan desentralisasi.
Sejalan
dengan itu Keniche Ohma dalam bukunya “The Boardless Word” atau Dunia tanpa
batas, akibat globalisasi dimana informasi begitu cepat, transportasi yang
dapat menghubungan belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya dalam
waktu yang relatif seingkat, maka perekonomian pada saat itu juga sudah menjadi
milik dunia, artinya semua orang atau pelaku bisnis apakah ia sebagai produsen
atau ia sebagai konsumer, mereka punya hak dan kesempatan yang sama untuk
menjual dan membelu produk yang dibutuhkannya dengan kualitas yang lebih serta
harga yang tentunya lebih murah.
Oleh
karena pelaku bisnis harus mempu menangkap peluang dan memanfaatkan peluang
tersebut untuk kebesaran bisnisnya, betupula konsumen harus mampu memanfaatkan
keadaan tersebut untuk mendapatkan produk yang lebih baik. Konsumen pada
belahan dunia manapun dapat menentukan pilihan dan menggunakan hak tersebut.
Pada saat
sistem perekonomian berlangsung seperti ini maka peran pemerintah pun mau tidak
mau harus bergeser kalau mengingkan produk dari dalam negerinya dapat hidup dan
menghasilkan profit. Peran pemerintah yang trdisional seperti memberikan
proteksi terhadap produk dalam negerinya, tidak menjadi populer lagi,
memberikan proteksi tidak mendidik bahkan menjerumuskan, karena dengan proteksi
produsen yang diberikan proteksi tersebut tidak terbiasa dengan persaingan, dan
ketika persaingan pada saatnya tiba produsen tersebut akan tergusur kalah
bersaing.
Peran
pemerintah lebih banyak pada peran bagaimana menjaga kelestarian lingkungan
agar keseimbangan dan daya dukung lingkungan dapat dipertahankan. Pada era
persaingan bebas satu hal yang dapat menjadi masalah adalah pada saat produsen
melakukan eksploitasi dan eksplorasi secara tidak wajar, yang dapat merusak
lingkungan. Karena bisa jadi produsen atau kalangan bisnis karena berupaya
untuk mengejar keuntungan yang sebsar-besarnya tidak jarang mereka mengabaikan
ekses yang terjadi seperti misalnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh
pencemaran.
Peran
pemerintah yang lain adalah bagimana menyiapkan sumberdaya manusia yang handal,
karena hanya dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan kuantitas yang
baiklah yang akan mendukung industrialisasi, dengan sumber daya yang
berkualitas menghasilkan tenaga kerja yang mampu mencipta dan melakukan
penemuan-penemuan baru. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan
terdidik membuat tenaga kerja menjadi lebih arif, sehingga walaupun dituntu
untuk produktif tapi tidak meninggalkan nilai-nilai sosial dan lingkungan alam
yang juga menjadi perhatiannya.
Uraian
dari penulis kedua buku tersebut, kalau dicermati lebih jauh, pesan yang
digagasnya memang relevan untuk diadopsi oleh pemerintah dan lembaga non
pemerintah yang ingin tetap eksis di tengah
ketatnya persaingan. Terutama kalangan negara-negara yang sudah
terlanjur maju dan ingin tetap berada pada posisi unggul.
Menghadapi
era globalisasi mempersyaratkan warga dunia, pemerintah lebagaga organsasi
publik untuk menyiapkan diri dengan bekal, yakni teknologi dan kemampuan
manajemen, bagi negara-negara yang sudah dulua maju bekal tersebut dengan
sendirinya sudah melekat dan dimilikinya, sehingga mereka tinggal menyesuaikan
diri dan memperbaharui dengan teknologi dan kemampuan manajemen yang lebih
handal.
Pada
negara-negara yang masih terkebelakang bahkan padan negara-negara berkembang
sekalipun, mereka rata-rata masih minim kalau tidak mau dikatakan miskin akan
teknologi dan kemampuan manajemen, tentunya keterbatasan ini menjadikan mereka
tidak siap. Makanya pada saat mereka masuk dalam persaingan di era globalisasi
bisa dipastikan bahwa mereka akan keteteran dan akan tertinggal, produk mereka
akan ditinggalkan oleh pasar dunia, bahwa bisa jadi juga ditinggalkan oleh pasar
domestiknya sendiri, sebagai akibat dari kalah bersaing dengan produk yang sama
tapi dari negara lain dengan kualitas dan harga yang relatif lebih murah. Pada
saat yang sama mereka akan menjadi pasar yang potensial bagi negara maju, yang
pada akhirnya menjadikan produsen negara maju bertambah besar.
Globalisasi
yang gemerlap dan menjanjikan harapan, akan menjadikan peluang dan kesempatan
bagi negara-negara bangsa untuk lebih maju, tentunya mereka yang siap. Tapi
bagi negara-negara yang tidak siap seperti negara-negara terkebelakang termasuk
juga negara-negara berkembang seperti Indonesia, akan menjadi bulan-bulanan,
bahkan lebih buruk bisa terjadi. Oleh karena, peran pemerintah bagi
negara-negara belum siap seperti negara-negara terkebelakang dan negara
berkembang tidak bisa tiba-tiba bergeser begitu saja, seperti meninggalkan
sistem perekonomian pada mekanisme pasar. Pada beberapa hal terutama menyangkut
kebijakan penguatan ekonomi dalam negeri masih harus ditangani oleh pemerintah.
Perusahaan
dalam negeri dalam batas-batas tertentu masih perlu dilindungi dalam kerangka
pemikiran untuk kepentingan nasional bukan dalam arti untuk kepentingan
perusahaan tersebut, seperti dalam rangka untuk kestabilan harga dan persedian
atau stock barang.
Pada
negara-negara terkebelakang lembaga non pemerintah belum banyak yang dapat
diandalkan untuk mengambil sebahagian peran pemerintah seperti peran pelayanan
kepada masyarakat. Kalau peran tersebut diserahkan begitu saja kepada pihak
lain lembaga non pemerintah sementara infra struktur mereka tidak siap maka
dapat dipastikan wujud pelayan tidak akan maksimal.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan ?
2. Dalam
era globalisasi pemerintah seharusnya mengambil posisi sebagai katalis !,
Jelaskan
3. Sebutkan nilai-nilai globaslisasi ?
Jelaskan!
4. Bagaimana seharusnya suatu pemerintahan Negara
menyikapi tuntutan globalisasi ?
5. Uraikan
penjelasan mengenai pandanga Keniche Ohma dalam bukunya “The Boardless Word”
atau Dunia tanpa batas, lalu apa yang harus dilakukan oleh suatu Negara atau
pemerintah ?

Baca kembali materi kegiatan
belajar yang menyangkut tentang
Globalisasi sebagailingkungan pemerintahan. Untuk menjawab semua soal di atas
jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi
dengan teman kuliah.

Gagasan
untuk menggeser peran pemerintah dari peran yang dominan menjadi peran pada
katalis, perlu melihat kultur negara dan pemerintahan itu sendiri. Pada kultur
masyarakat yang lebih maju dan pemeritahan yang lebih modern dan demokratis
maka pergeseran peran tersebut akan menjadi pemicu untuk kemajuan bangsa atau
negara bersangkutan.
Pergesaran
peran permerintah tersebut di atas kalau dilakukan pada negara dan kultur yang
belum mendukung dan kondusif. Globalisasi yang menjanjikan harapan, maka bisa
jadi harapan itu akan menjadi buyar dan sebaliknya akan menuai keterpurukan
karena akan tertindas dan terlindas oleh negara yang sudah maju.
Sebagai
tindakan yang arif dari pengelola pemerintahan adalah mengaodapsi nilai-nilai
gobalisasi yang dapat memacu pertumbuhan dan laju perkembangan ekonominya.
Namun secara selektif menentukan yang mana nilai-nilai tersesebut sesuai dengan
kultur negaranya.
Karena
globalisasi dan pasar bebas merupakan peluang dan kesempatan lebih luas bagi
negara dan pemerintah serta pelaku bisnis untuk menjadi lebih besar dan
ssemakin menguasai perekonomian. Tapi bagi negar-negara, pemerintah sserta
pelaku bisnis yang tidak siap, maka globalisasi dan pasar bebas merupakan
ancaman yang siap menerkam yang pada akhirnya membuat keterpurukan dengan
berbagai eksesnya bagi negara yang tidak siap tersebut.
POKOK BAHASAN VIII
FUNGSI PEMERINTAH DALAM PELAYAN PUBLIK
Di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, pelayanan
publik menjadi salah satu indikator penilaian kualitas administrasi
pemerintahan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Baik tidaknya admnistrasi
publik atau pemerintahan dilihat dari seberapa jauh pelayanan publiknya sesuai
dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan masyarakat (Thoha, 1997:2).
Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan
birokrasi di Indonesia, terjadi di semua organisasi atau birokrasi pemerintahan
(Rasyid, 1997), sebagaimana juga yang sering kali dimuat dan diliput dalam
berbagai media massa. Kecenderungan tersebut terjadi baik di tingkat pemerintah
pusat maupun daerah, termasuk pada
organisasi birokrasi pemerintahan daerah, pemerintah kota maupun pemerintah
kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa.
Hal ini menjadi krusial ketika UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan dengan salah satu tujuannya
adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan bisa memberikan pelayanan
yang lebih prima kepada masyarakat.
Timbul pertanyaan apakah birokrasi sudah membawakan
fungsi pelayanan dan perlindungan kebutuhan dan kepentingan masyarakat/publik
?. Realitas empirik saat ini menunjukan bahwa sikap dan tindakan birokrasi
dalam pelayanan kepada masyarakat cenderung belum sesuai dengan yang diharapkan
. Hal ini dapat dilihat dari sinyalemen, keluhan, kritik dan sorotan tajam
berbagai kalangan terhadap birokrasi.
Masalah yang terjadi dalam proses hubungan atau pelayanan
antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, berdasarkan beberapa sinyalemen
atau kritikan di atas, memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara
eksplisit dan implisit menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya
kualitas dalam pelayanan. Realitas empirik menunjukkan bahwa keberadaan
birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi
ingin dilayani masyarakat (Rasyid, 1996).
Dalam penyelanggaraan pelayanan masyarakat sebagai salah
fungsi pemerintahan oleh pemerintah kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota
Jambi, menarik untuk dibahas apalagi ketika menjadi sorotan bagi masyarakat akibat dari munculnya berbagai permasalahan
dalam pelayanan mulai dari pembuatan KTP dan akta Capil, perijinan, sertifikat
tanah hingga penyediaan sarana dan prasarana umum dan sosial, hal ini bisa
ditemukan dari ungkapan masyarakat melalui media massa.
Dari studi berbagai studi disimpulkan bahwa
masyarakat yang pernah berurusan dengan
pemerintah kecamatan menyangkut berbagai kebutuhan layanan publik, perilaku
birokrat dalam memberikan pelayanan cenderung memperlihatkan kurang ramah, kaku,
kurang transparan, tidak tepat waktu, minta dilayani, biaya yang relatif mahal,
diskriminatif antara yang kaya dan miskin, antara yang punya orang dalam dengan
yang tidak punya.

Pelayanan publik menjadi salah satu indikator penilaian
kualitas administrasi pemerintahan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Baik
tidaknya admnistrasi publik atau pemerintahan dilihat dari seberapa jauh
pelayanan publiknya sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan masyarakat
(Thoha, 1997:2).
Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan
birokrasi di Indonesia, terjadi di semua organisasi atau birokrasi pemerintahan
(Kumorotomo, 1996, Rasyid, 1997), sebagaimana juga yang sering kali dimuat dan
diliput dalam berbagai media massa. Kecenderungan tersebut terjadi baik di
tingkat pemerintah pusat maupun daerah,
termasuk pada organisasi birokrasi pemerintahan daerah, pemerintah kota maupun
pemerintah kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa.
Hal ini menjadi krusial ketika UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan dengan salah satu
tujuannya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan bisa memberikan
pelayanan yang lebih prima kepada masyarakat.
Timbul pertanyaan apakah birokrasi sudah membawakan
fungsi pelayanan dan perlindungan kebutuhan dan kepentingan masyarakat/publik
?. Realitas empirik saat ini menunjukan bahwa sikap dan tindakan birokrasi
dalam pelayanan kepada masyarakat cenderung belum sesuai dengan yang diharapkan
. Hal ini dapat dilihat dari sinyalemen, keluhan, kritik dan sorotan tajam
berbagai kalangan terhadap birokrasi.
Untuk itu birokrasi pemerintaha terutama Pemerintah
Daerah dan perangkatnya, untuk saatnya berusaha meningkatkan kualitas
pelayanannya, hal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi “siapa pelanggan
atau yang memerlukan produk pelayanan” dan pada saat yang sama juga
mengidentifikasi apa “kebutuhan pelanggan atau yang memerlukan pelayanan”,
setelah itu diidentifikasi jenis-jenis pelayanan pada suatu organisasi/unit
organisasi.
Oleh karenannya tujuan instruksional umum dari
orientasi/proses pembelajaran ini agar
peserta dapat memahami konsep pelayanan umum/prima sehingga mampu memberikan pelayanan
umum/prima kepada masyarakat/pelanggan
Adapapun tujuan instruksional khusus dari orientasi/
pembelajaran ini adalah agar peserta mampu :
a. Menjelaskan
pengertian dan konsep pelayanan umum
b. Menelaskan
filosofi pelayanan umum
c. Menjelaskan
dimensi kualitas pelayanan umum
d. Menjelaskan
standar pelayanan yang baik
e. Menjelaskan
perilaku yang mencerminkan pelayanan yang baik
f. Melakukan
pemecahan masalah-masalah dalam memberikan pelayanan.


Menurut
Munir (1995 : 16-17) “proses perubahan melalui aktivitas orang yang langsung
dinamakan pelayanan”, arti pelayanan dapat digambarkan menurut contoh berikut :
A memerlukan surat keterangan tentang jati diri sebagai pegawai di perusahaan
X. B dalam ha ini petugas yang berwenang di perusahaan X tersebut membuat
(memproses) surat dimaksud oleh A. Apa yang dilakukan oleh B inilah disebut
pelayanan. Cotoh lain misalnya, ketika berada dalam bank seorang petugas akan
melayani pelanggannya sesuai dengan kebutuhan, menabung, mengambil uang,
mengtransfer uang dan lain, semua kegiatan yang dilakukan oleh petugas bank
tersebut disebut melayani.
Dengan
demikian ada dua istilah yang perlu diketahui, dan keduanya saling terkait,
yakni “melayani” dan “pelayan”. Pengertian melayani adalah adalah “membantu
menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. Sedangkan pelayanan
adalah “ Usaha melayani kebutuhan ornag lain (kamus Bahasa Indonesia, 1995).
Dari dua pengertia tersebut disimpulkan
bahwa “Pleyanan adalah suatu usaha
untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain,
baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono, 1996 : 51)
mendefiniskan kualitas secara lebih luas cakupannya : “Kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Selanjutnya Triguno (1997 : 76) mengartikan kualitas
sebagai :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/
organisasi mengenai kualitas sumber daya mansuia, kualitas cara kerja, proses
dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai
arti memuaskan kepada yang dilayani atas tuntutan/persyaratan
pelanggan/masyarakat.
Kata “kualitas” mengandung pengertian antara lain :
1) Kesesuaian
dengan persyaratan
2) Kecocokan
dengan pemakaian
3) Perbaikan
berkelanjutan
4) Bebasa
dari kerusakan
5) Pemenuhan
kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat;
6) Melakukan
segala sesuatu secara benar;
Sesuatu yang bisa menyenangkan dan membahagiakan
pelanggan (Tjiptono & Diana, TQM, 1996)
Menurut Wycof (dalam Tjiptono, 1996 : 59) “kualitas
jasa/layanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Ini berarti
bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang
diharapkan maka kualitas layanan/jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika
jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa/layanan
dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal, sebaliknya bila jasa/layanan yang
diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan
akan dipersepsikan buruk.
Dengan
demikian baik tidaknya kualitas jasa/layanan tergantung pada kemampuan
penyediaan jasa/layanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan
berakhir pada persepsi pelangan.
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas
dari karakteristik suatu produk (barang/jasa yang m,enunjang kemampuannya untuk
memenuhi kebutuhan. Kualitas sering juga diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan
pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.

Kegiatan
pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, ia melekat pada setiap
orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi) dan dilakukan secara
universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995 : 41) bahwa: “hak
atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang
berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya
menyelenggarakan pelayanan”.
Dilihat
dari sisi pemerintahan maka pelayanan adalah proses kegiatan pemenuhan
kebutuhan masyarakat berkenaan dengan hak-hak dasar dan hak pemberian, yang
wujudnya dapat berupa jasa dan layanan. Bagi pemerintah, masalah pelayanan
menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah satu dari
tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan
(Rasyid, 1997 : 48).
Masalah yang terjadi dalam proses hubungan atau pelayanan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, berdasarkan beberapa sinyalemen atau kritikan di atas, memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit dan implisit menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya kualitas dalam pelayanan. Realitas empirik menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi ingin dilayani masyarakat (Kumorotomo, 1996, Rasyid, 1996).
Dalam konteks hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
dimana ada masyarakat di sana ada (diperlukan) governance (Ndraha, 1997b:68).
Pemerintahan adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi, atau menjual
alat pemenuh kebutuhan rakyat berbentuk jasa-publik dan layanan civil (Ndraha,
1997b:73).
Dalam kaitan itu, kegiatan pelayanan publik dalam
prosesnya menunjukkan hubungan dan interaksi antara pemberi pelayanan (pemerintah) dan penerima
pelayanan (rakyat/masyarakat). Oleh karena itu Hubungan tersebut, menurut
Ndraha (1997b:86) adalah hubungan yang sejajar dengan hubungan antara
produser/penjual/distributor dengan konsumen/pembeli/ distributee. Dengan bertolak pada
konsep putting people first, maka dalam
hubungan tersebut tolok ukur atau standar pelayanan. Lebih lanjut
Ndraha (1997b:88) mengatakan “ibarat
orang yang makan di mana yang menilai enak tidaknya suatu hidangan pada
akhirnya bukan juru masak tetapi orang yang makan (konsumer) masakan
yang bersangkutan secara pribadi, sadar dan individual”.
Baik buruknya pelayanan, menurut Kotler (dalam Tjiptono,
1996:61) dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Dengan demikian, kualitas pelayanan ditentukan sejauh mana persepsi masyarakat
sebagai pelanggan atau konsumen terhadap pelayanan yang diterimanya. Dengan
kata lain, kualitas selalu berfokus pada pelanggan atau masyarakat.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas, maka
organisasi publik atau pemerintah harus mengetahui dan memahami segala
tuntutan, keinginan, harapan atau tingkat kepuasan pelanggan. Secara praktis,
kualitas pelayanan antara lain berkaitan dengan pelayanan yang lebih cepat,
hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif dan produktif, marketable
(memuaskan) dan profesional (Pamungkas, 1996:207; Rasyid,1997:100; Supriatna,1997:
56).
Setelah mengetahui standar kualitas pelayanan publik,
selanjutnya adalah bagimana mewujudkan kualitas pelayanan publik tersebut.
Untuk menuju pada kualitas pelayanan yang baik, maka hal penting yang perlu
dikaji adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terwujudnya pelayanan
publik yang berkualitas ? Telah dikemukakan bahwa kualitas pelayanan publik
adalah pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintahan yang sesuai atau
melebihi persepsi, tuntutan, keinginan, kebutuhan, harapan, situasi dan kondisi
masyarakat yang menciptakan kepuasan masyarakat. Dari batasan itu menunjukkan
bahwa keberadaan birokrasi sebagai pemberi pelayanan merupakan aspek yang
penting dan menentukan dalam perwujudan pelayanan publik yang berkualitas.
Penyelenggaraan pelayanan publik sangat terkait dengan
birokrasi pemerintahan. Kualitas pelayanan sebagai ekspresi dari pelaksanaan
tugas dan fungsi birokrasi menurut Thoha (1987:185) adalah bagaimana sikap dan
aktivitas birokrasi, yang secara eksplisit berdasarkan pendekatan psikologi dan
perilaku organisasi.

Aparatur
pemerintah dalam memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat,
memiliki ciri-ciri tata laksana yang dapat memuaskan masyarakat. Untuk hal ini
kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) melalui surat keputusan
nomor 81/1993, memberikan pedoman yang menjadi acuan umum bagi instansi
pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk BUMN/BUMD.
Dalam pedoman tersebut dijelaskan
bahwa pelayanan umum harus diatur dalam tata laksana yang mengandung
unsur-unsur (sendi-sendi), antara lain sebagai berikut :
1. Kesederhanaan,
dalam arti prosedur/tata cara pelayanan umum diselenggarakan secara mudah,
lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan
dan Kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
- Prosedur/tata
cara pelayanan
- Persyaratan
pelayanan, baik teknis maupun administratif
- Unit
kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
- Hak
dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan
bukti-bukti penerimaan permohonan/kelengakapannya sebagai alat untuk memastikan
pemrosesan pelayanan umum
- Pejabat
yang menerima keluhan masyarakat.
3. Keamanan,
dalam arti proses dan hasil pelayanan umum dapat m,emberikan keamanan dan
kenyamanan serta memberikan kepastian hukum.
4. Keterbukaan,
dlam arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung
jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta.
5. Efesiensi,
dalam arti :
- Persyaratan
pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayaann dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan;
- Dicegah
adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan, dalam proses
pelayananannya mempersyaratakan kelengkapan dari satuan kerja/instansi
pemerintah lain yang terkait.
6. Ekonomis,
dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan
memperhatikan :
- Nilai
barang/jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya tinggi diluar kewajaran;
- Kondisi
dan kemampuan masyarakatuntuk membayar secara umum;
- Ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
7.
Keadilan yang merata,
dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin
dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
8.
Ketepatan waktu, dalam
arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
ditentukan.


Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono, 1996 : 51)
mendefiniskan kualitas secara lebih luas cakupannya : “Kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Selanjutnya Triguno (1997 : 76) mengartikan kualitas
sebagai :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/
organisasi mengenai kualitas sumber daya mansuia, kualitas cara kerja, proses
dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai
arti memuaskan kepada yang dilayani atas tuntutan/persyaratan
pelanggan/masyarakat.
Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang
terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau
masyarakat secara memuaskan. Menurut Triguno (1997 : 78) pelayanan /
penyampaian terbaik, yaitu “melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan,
berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu”.
Menurut Wycof (dalam Tjiptono, 1996 : 59) “kualitas
jasa/layanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Ini berarti
bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang
diharapkan maka kualitas layanan/jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika
jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa/layanan
dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal, sebaliknya bila jasa/layanan yang
diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan
akan dipersepsikan buruk.
Dengan
demikian baik tidaknya kualitas jasa/layanan tergantung pada kemampuan
penyediaan jasa/layanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan
berakhir pada persepsi pelangan.

Salah
satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering disebut
sebagai “Pelayan Masyarakat” (public service). Dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat, belum sepenuhnya dapat diselenggarakan dengan baik, masih
banyak aparat pelaksanan pemberi pelayanan kurang mem ahami betapa
pentingnya pelayanan yang baik kepada
masyarakat atau mungkin tahu tapi tidak mau dan mampu untuk memberikan
pelayanan yang baik.
Dalam
pemberian pelayanan oleh aparatur ini, bahkan sering muncul ungkapan “kalau
dapat dipersulit, mengapa dipermudah ?”, dan ini banyak yang dianut oleh
aparat, gejala ini menunjukkan bahwa betapa aparat pemerintah yang bertugas
memberikan pelayanan belum sadar mengenai posisinya sebagai pelayan masyarakat
Apa yang
dimaksud dengan pelayanan ?. Menurut Munir (1995 : 16-17) pelayanan adalah “proses perubahan melalui aktivitas orang
yang langsung dinamakan pelayanan”, arti pelayanan dapat digambarkan menurut
contoh berikut : A memerlukan surat keterangan tentang jati diri sebagai
pegawai di perusahaan X. B dalam ha ini petugas yang berwenang di perusahaan X
tersebut membuat (memproses) surat dimaksud oleh A. Apa yang dilakukan oleh B
inilah disebut pelayanan.
Kegiatan
pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, ia melekat pada setiap
orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi) dan dilakukan secara
universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995 : 41) bahwa: “hak
atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang
berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya
menyelenggarakan pelayanan”.
Dilihat
dari sisi pemerintahan maka pelayanan adalah proses kegiatan pemenuhan
kebutuhan masyarakat berkenaan dengan hak-hak dasar dan hak pemberian, yang
wujudnya dapat berupa jasa dan layanan. Bagi pemerintah, masalah pelayanan
menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah satu dari
tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan
(Rasyid, 1997 : 48).
Pengelompokkan
jenis pelayanan umum pada dasarnya dilakukan dengan melihat jenis jasa yang
dihasilkan oleh suatu institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler (194) adalah
“setiap tindakan ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak
kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik (intagible)
dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa dapat berhubungan
dengan produk fisik maupun tidak”
Berdasarkan definisi jasa sebagaimana dikemukakan
di atas, Tjiptono (1996:8-13) menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai
jenis-jenis jasa sebagai berikut :
1)
Dilihat
dari pangsa pasarnya, dibedakan antara :
a.
Jasa
kepada konsumen akhir
b.
Jasa
kepada konsumen organisasional
2)
Dilihat
dari tingkat keberwujudannya (tangibility), dibedakan antara :
a.
Jasa
barang sewaan (rented goods service)
b.
Jasa
barang milik konsumen (owned goods service)
c.
Jasa
untuk bukan barang (nongoods service)
3)
Dilihat
dari keterampilan penyedia jasa, dibedakan antara :
a.
Pelayanan
profesional (profesional service)
b.
Pelayanan
non profesional (nonprofesional service)
4)
Dilihat
dari tujuan organisasi, dibedakan menjadi :
a.
Pelayanan
komersional (commercial of profit service)
b.
Pelayanan
nirlaba (nonprofit service)
5)
Dilihat
dari pengaturannya, dibedakan menjadi :
a.
Pelayanan
yang diatur (regulated service)
b.
Pelayanan
yang tidak diatur (nonregualted service)
6)
Dilihat
dari intensitas karyawan dibedakan menjadi :
a.
Pelayanan
yang berbasis pada alat (equipment based service)
b.
Pelayanan
yang berbasis pada orang (people based service)
7)
Dilihat
dari kontak penyedia jasa dan pelanggan, dibedakan menjadi antara :
a.
Pelayanan
dengan kontrak tinggi (high contact service)
b.
Pelayanan
dengan kontrak rendah (low contact service)
Berkaitan
dengan pengertian dan jenis pelayanan umum tersebut di atas, dan dikaitkan
dengan tugas dan fungsi pemerintahan, secara derivatif tugas-tugas pelayanan
pemerintah kepada masyarakat dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut : (1)
pelayanan yang berkaitan dengan kependudukan; (2) pelayanan yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan ketertiban dan keamanan, (3) pelayanan yang
berkaitan dengan perijinan; (4) pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan;
(5) pelayanan yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan masyarakat; (6)
pelayanan yang berkiatan dengan pengembangan perekonomian masyarakat; (7)
pelayanan yang berkaitan pembinaan pemuda, wanita dan persatuan dan kesatuan
bangsa; (8) pelayanan yang berkaitan dengan pembinaan sosial budaya; (9)
pelayanan yang berkaitan dengan tugas pembantuan seperti pembayaran PBB; (10) pelayanan admnistrasi surat menyurat
bagi kepentingan masyarakat; dan pelayanan lainnya.

Menurut
Pararusman dan kawan-kawan (dalam Tjiptnono, 1996 : 70), ada lima dimensi dalam
menilai kualitas jasa atau pelayanan, yaitu :
1.
Tangibles; tercermin pada fasilitas fisik, peralatan,
personil dan bahan komunikasi.
2.
Realibility; kemampuan memenuhi pelayanan yang
dijanjikan secara terpercaya, tepat
3.
Responsiveness; kemamuan untuk membantu pelanggan dan
menyediakan pelayanan yang tepat
4.
Assurance; pengetahuan dari para pegawai dan kemampuan
mereka untuk menerima kepercayaan dan kerahasiaan
5.
Emphathy; perhatian individual diberikan oleh
perusahaan kepada para pelanggan.
Lebih
lanjut menurut Kotler (dalam Supranto,1994 : 561) terdapat lima determinan
kualitas pelayanan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.
Keterandalan
(realibility); kemauan untuk
melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya
2.
Keresponsifan
(responsiveness); kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat atau ketanggapan
3.
Keyakinan
(confidence); pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka
untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau assurance
4.
Empati
(empathy); syarat untuk peduli, memberikan perhatian, pribadi bagi
pelanggan
5.
Berwujud
(tangible); penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media
komunikasi.
6.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Pararusman,
dan Kotler, terdapat 5 dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan. Dalam
penelitian ini dimensi tersebut dirumuskan dengan menggabungkan kedua pendapat
tersebut.
Dari
pendapat yang dikemukakan oleh Parausman dan Kotler terdapat 5 dimensi untuk
mengukur kualitas pelayanan. Dalam penelitian ini dirumuskan dengan
menggabungkan kedua pendapat tersebut, yakni : (1) sarana pelayanan dalam
menunjang pemberian pelayanan, (2) keandalan terhadap metode sistem pelayanan
yang efektif dan efisien, (3) jaminan akan keamanan dan privacy terhadap produk
pelayanan, (4) harga produk layanan yang terjangkau dan proporsi serta adil,
(5) ampati atau tingkat hubungan yang intens dan saling menghargai serta
menghormati antara pemberi pelayanan dengan publik yang dilayani.
Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
praktek pelayanan yang buruk dalam pelayanan public oleh organisasi
pemerintahan yang saudara ketahui ?
2. Jelaskan
pengertian pelayanan umum pemerintahan ?
3. Sebutkan dan jelaskan dimensi-dimensi kualitas pelayanan
public ?
4. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pelayanan ?
5. Berikan
penjelasan saudara tentang strategi peningkatan pelayanan public ?, au?
6. Uraikan
penjelasan saudara tentang berbagai implementasi e-governmen dalam pemberian
pelayanan pemerintahan ?

Baca kembali materi
kegiatan belajar yang menyangkut tentang
peran dan fungsi pelayanan public oleh pemerintah. Untuk menjawab semua soal di
atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi
dengan teman kuliah.

Salah
satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum
kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering disebut
sebagai “Pelayan Masyarakat” (public service). Dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat, belum sepenuhnya dapat diselenggarakan dengan baik, masih banyak aparat
pelaksanan pemberi pelayanan kurang mem ahami betapa pentingnya pelayanan yang baik kepada masyarakat atau
mungkin tahu tapi tidak mau dan mampu untuk memberikan pelayanan yang baik.
Berkaitan
dengan pengertian dan jenis pelayanan umum tersebut di atas, dan dikaitkan
dengan tugas dan fungsi pemerintahan, secara derivatif tugas-tugas pelayanan
pemerintah kepada masyarakat dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut : (1)
pelayanan yang berkaitan dengan kependudukan; (2) pelayanan yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan ketertiban dan keamanan, (3) pelayanan yang
berkaitan dengan perijinan; (4) pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan;
(5) pelayanan yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan masyarakat; (6)
pelayanan yang berkiatan dengan pengembangan perekonomian masyarakat; (7)
pelayanan yang berkaitan pembinaan pemuda, wanita dan persatuan dan kesatuan
bangsa; (8) pelayanan yang berkaitan dengan pembinaan sosial budaya; (9)
pelayanan yang berkaitan dengan tugas pembantuan seperti pembayaran PBB; (10) pelayanan admnistrasi surat menyurat
bagi kepentingan masyarakat; dan pelayanan lainnya.
POKOK BAHASAN IX
KODE ETIK
PROFESIONALSME KEPAMONGPRAJAAN

Etika -- bahasa Yunani: ethos
= kebiasaan, watak atau adat
bahasa Perancis: etiquette= etiket berarti kebiasaan atau cara bergaul, berprilaku yang baik.
Dalam Ensiklopedi Indonesia, “etika”
disebut sebagai ”Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya
manusia hidup dal\m masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk”. Dari
definisi atau pengertian tersebut ini dapatlah disimpulkan bahwa etika
selalu dihubungkan dengan adat istiadat atau kebiasaan manusia, baik itu
merupakan kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang menyimpang atau kebiasaan
buruk, bagaimana manusia seharusnya bersikap tindak di dalam berinteraksi
dengan manusia lainnya.
Aristolteles (dalam Nondi & Romli, 2003),
memberikan istilah Ethica dalam 2 pengertian, yaitu ; “kesusilaan” dan
“kumpulan peraturan”. Maka dapat diartikan bahwa Ethica adalah setiap
kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa menjadi seperangkat peraturan
kesusilaan. Etika lebih merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan
dapat diterima oleh lingkungan, pergaulan seseorang atau sesuatu organisasi
tertentu, pandangannya, seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan
atau diterapkan itu bersifat baik atau buruk.
Dalam kenyataan kehidupan sosial, semua masyarakat
mempunyai aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata
kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan hukuman
bagi pelanggarnya. Namun sebaliknya yang terjadi apabila perilaku tersebut
dianggap ideal, akan mendapat imbalan (reward) yang sepadan.
Dengan demikian fungsi etika adalah untuk
membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu.
Kehidupan manusia bersifat multi deimensi meliputi bidang sosial, ekonomi,
politik, kebudayaan, yang kesemuanya memerlukan etika termasuk di
dalamnya kehidupan birokrasi.
Lebih lanjut dapat disampaikan beberapa unsur yang
menjadi landasan atau hal-hal yang membentuk etika sebagai berikut :
Ø
Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip- prinsip moral tentang baik
dan buruk dari tindakan atau perilaku
manusia dalam kehidupan sosial;
Ø
Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan), tata sopan santun
( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat,
pemerintahan, bangsa dan negara.
Ø
Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan.
Ø Etika berupa : etika umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ).
Ø Dalam kelompok tertentu dikenal
dengan etika bidang profesional yaitu
code etik PNS, code etik kedokteran, code
etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara,
dan lainnya.
Menurut Max Weber, ciri-ciri
legitimasi etis adalah,
1)
Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara
etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat;
2)
Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan
dengan ajaran atau ideologi;
3)
Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak
hanya kepentingan tertentu (vested interest).
Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau
salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan
buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis
tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai.
Setidak-tidaknya dalam organisasi dikenal 3 (tiga) macam etika, yaitu etika
individu, etika organisasi, dan etika profesi. Etika
perorangan menentukan baik atau buruk perilaku orang per orang (individu),
dalam hubungannya dengan individu lain. Sementara etika organisasi itu sendiri
menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika persorangan yang justru
harus dimiliki oleh orang yang menjadi abdi masyarakat (public servant).
Etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua
yang secara kaku atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang
bersangkutan. Etika profesional yang dikembangkan dan dilembagakan dalam bentuk
"kode etik". Kode etik ini memperkuat dengan sistem hukum atau
mengikat secara moral dalam menjalankan tugas profesinya.
1.Tugas
Pemerintahan
Menurut Ryaas Rasyid (2000)
secara hakiki Tugas Pemerintahan terdiri dari tiga domain: pelayanan (service),
pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).
Dari segi etik, maka
keberhasilan Pemerintah, birokrasi atau Pamong Praja di dalam memimpin
pemerintahan harus diukur dari kemampuannya mengemban tiga fungsi
tersebut. Etika birokrasi atau etika pemerintahan
sebaiknya dikembangkan dalam upaya mencapai misi itu. Sehingga setiap
tindakan yang tidak sesuai, tidak mendukung apalagi yang menghambat
pencapaian misi itu - sebaiknya sudah termasuk melanggar etika.
Pamong praja yang juga termasuk kelompok
penyelenggara (aparat) pemerintah sipil kewilayahan bertugas melayani,
melindungi dan mengayomi masyarakat.
Sehingga masyarakat memperoleh hak-haknya secara
aman. Hak sebagai warga negara diatur dalam konstitusi atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang melekat sebagai hak asasi manusia. Hak tersebut
adalah, hak hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk menerima upah
yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk ber-domisili di mana
pun dalam wilayah Republik ini, hak untuk mendapatkan pelayanan, dan lain-lain.
Untuk dapat melaksanakan tugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat
maka Pamong Praja memerlukan segenap persyaratan formal, etika, pengetahuan dan
keterampilan tertentu sesuai dengan bidang tugas dihadapi (Syafri:2008).
Lebih
lanjut, masih dalam Syafri (2008:86) tujuan akhir dari pelaksanaan tugas Pamong
Praja adalah terciptanya rasa aman bagi masyarakat yang dilayani. Aman di sini
sekurang-kurangnya mengandung atau meliputi 4 (empat) hal yaitu:
1. Security : Perasaan
bebas dari gangguan fisik dan psikis;
2.Surety : Kemantapan hati atau perasaan bebas
dari keragu-raguan;
3.Safety : Perasaan bebas dari kemungkinan
adanya risiko;
4.Peace : Perasaan damai lahiriah clan
batiniah (tanpa beban).
Dengan terciptanya rasa aman tersebut, maka masyarakat
merasa terlindungi clan terayomi yang pada gilirannya menumbuhkan keci.ntaan
masyarakat terhadap korps Pamong Praja. Agar tujuan tersebut dapat dicapai,
maka diperlukan seperangkat acuan dalam bentuk Kode Etik/Etika Profesi PamongPraja.
2 Azas Penyelenggaraan
Pemerintahan
Setiap pamong praja memiliki wewenang clan tanggung jawab
dalam tugas melayani, melindungi clan mengayomi masyarakat, batas wewenang dan
tanggung jawab tersebut di
samping termuat dalam tugas pokok dan fungsi
masing-masing juga terikat dengan azas-azas/prinsip umum penyelenggaraan
pemerintahan. Beberapa azas umum penyelenggaraan pemerintahan menurut Crince Le
Roy (dalam Hoesen Koesoemaatmadja, 1990 : 107-148) antara lain adalah sebagai
berikut.
a.
Azas
kepastian hukum (rechtxzeker~nse4-principle of legal Setiap keputusan atau ketetapan yang diambil harus berdasar hukum
clan akibat yang ditimbulkan menjamin kepastian hukum, sehingga aparat
penyelenggara layanan maupun masyarakat yang dilayani mendapatkan ketenangan.
b.
Azas
kesamaan dalam mengambil keputusan (gelijkheidsbThw4Pincole
~fquality) Azas ini
menghendaki untuk mengambil tindakan yang sama dalam memecahkan kasus yang
faktanya sama (must
act in case the fartsarealike on the same zexry)
c. Azas bertindak cermat (zorgvsddigheidsbeginsel;
principle of carefi+lnez) Setiap
tindakan atau keputusan yang akan diambil harus dipikirkan secara cermat untuk
tidak merugikan orang lain maupun dm sendiri.
d.
Azas
motivasi untuk setiap keputusan (motiveringsbeginsel;
Pri.-x* ofmo6vation)Setiap
tindakan atau keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan-alasan yang
jelas clan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hu.kum.
e.
Azas
tidak menyalahgunakan wewenang (verbod
van detournementdepouznir,
pri„cipleof„o,t_mis~ ofcompetence)
Tidak menggunakan wewenang
untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lain di luar kepentingan
umum yang dimaksud peraturan perundangan yang menjadi dasar wewenang itu.
f.
Azas
keadilan dan laranagn bertindak sewenang-wenang (mr~d#kbe~ ofwrbod uzn wdkkeur) Setiap tindakan clan keputusan yang diambil harus dapat
memenuhi rasa keadilan, dan melarang aparat bertindak sewenang-wenang karena
tindakan semacam itu menghapus keadilan.
g.
Azas
pemenuhan harapan (opgewekte
verwachtingen) Setiap tindakan dan keputusan yang diambil harus dapat
memenuhi harapan atau paling tidak memberi harapan kepada warga negara
(masyarakat).
h.
Azas
perlindungan privasi (bescherming van de
persoonlijke Kebebasan berekspresi dan hak-hak pribadi harus dapat
terlindungi sejauh tidak melanggar ketertiban umum dan tidak bertentangan
dengan azas kesusilaan dan moral Pancasila.
Dalam perkembangan selanjutnya azas atau prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintah menuju kepemerintahan yang baik (goodgm)errlance menurut UNDP adalah:
- Participation. Setiap warga negara mempunyai hak suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakdi kepenungannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif;
- Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk menegakkan hak azazi manusia;
- Transparancy. Transpar.insi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secaxa langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor,
- Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus melayani setiap stakeholders;
- Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk mernperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan lebih luas dalam hal kebi jakan maupun prosedur;
- Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan dan menjaga kesejahteraan mereka;
- Effectiveness and Efficiency. Proses-proses dan lembagalembaga menghasilkan sesuai apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik
- Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders;
- Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam itu.
3
Etika Profesi
Berbicara etika berarti berbicara tentang baik dan tidak
baik atau kepantasan dan ketidakpantasan dari suatu tingkah laku, yang sifatnya
sangat relative. Apa yang baik dan pantas dilakukan di satu tempat pada suatu
waktu mungkin tidak baik dan tidak pantas untuk dilakukan pada tempat lain.
Saat ini memegang atau mengusap-usap kepala atau janggut orang lain di
Indonesia dianggap tidak etis, tidak baik dan tidak pantas karena budaya kita
menganggap kepala sebagai lambang kehormatan dan sekaligus kesakralan. Akan tetapi di sebagian dunia Arab
dan Eropa memegang kepala atau janggut dianggap sebagai pertanda kedekatan
hubungan emosional, karena itu memegang kepala orang Eropa atau memegang
janggut orang Arab tidaklah bertentangan dengan nilai etika, akan tetapi
memegang pantat orang Arab atau antara pusar sampai lutut dianggap sangat tidak
etis bahkan kurang ajar.
Bagi mayoritas etnis di Indonesia, memiliki istri lebih
dari satu dianggap tidak baik, akan tetapi bagi salah satu suku di Papua
memiliki istri banyak dianggap sebagai hal yang lumrah karena terkait dengan
fungsi istri sebagai tenaga kerja dalam rumah tangga. Semakin banyak istri
berarti semakin banyak tenaga kerja dan ha1 disebut terakhir memungkinkan
keluarga itu untuk mendapatkan lebih banyak harta atau sumber-sumber pendapatan
yang lain bagi kehidupan keluarga bersangkutan.
4.
Ukuran etika
Meskipun etika bersifat relatif, akan tetapi ada beberapa
indikator yang dapat dipergunakan untuk menilai apakah suatu perbuatan itu baik
atau etis dan tidak baik atau tidak etis yaitu:
1.
Nilai-nilai
atau norma yang hidup di tengah rrtasyarakat
Setiap masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang
mengatur pola interaksi antar sesama warganya. Pola interaksi tersebut menjadi
pedoman atau standard baku dalam pergaulan hidup sehari-hari. Apa yang baik dan
tidak balk terbentuk atas kesepakatan bersama yang harus dijalankan dan ditaati
bersama. Penyimpangan terhadap kesepakatan bersama yang telah menjadi -way
of
life"tersebut dianggap sebagai tidak
baik dan dapat mengganggu harmonisasi dalam komunitas, sebaliknya sepanjang
pola interaksi masih dalam jalurkesepakatan bersama, maka dianggap sebagai
sesuatu yang baik, karena mendukung keberlanjutan kesepakatan komunitas. Sistem
nilai tidak tertulis ini kemudian terakumulasi menjadi adat istiadat.
2.
Sistem kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat
Setiap agama terutama agama samawi mengajarkan tentang pola interaksi yang baik antar sesama
makhluk Tuhan (manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan) dan
manusia dengan penciptanya yaitu Tuhan YME. Kepatuhan dalam menjalankan ajaran
agama akan menjadi.kan seseorang dinilai baik di mata manusia maupun di hadapan
Tuhan YME. Kepatuhan atau ketaatan beragama tidaklah muncul dengan sendirinya.
Pada tahapan awal memerlukan pengenalan dan pembelajaran sehingga timbul
pemahaman secara benar yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan (biasanya
dilakukan oleh seorang muslim yang sebelumnya beragama non muslim), atau
sebaliknya dimulai dari meyakini dulu baru mempelajari lebih mendalam (biasa
dilakukan oleh muslim ketiu-unan, terlahir dari orang tua muslim).
Akan tetapi agama tidak sebatas meyakini, memerlukan implementasi sejumlah
kewajiban yang disyariatkan, kinerja dari pemahaman, keyakinan, dan
implementasi kewajiban ini termanifestasi dalam tingkah laku yang baik dalam
pergaulan hidup bermasyarakat.
3.Peraturan
penumdang-undazgan
Pada dasarnya setiap aktivitas tingkah laku dan perbuatan
manusia tidak pernah lepas dari aturan baik dalam kesendirian terlebih lagi dalam interaksi
antar sesama manusia. Di kannar mandi pada saat akan mandi terdapat aturan,
misalnya buka baju dulu lalu menyiram badan dengan air kemudian menyabun badan,
menyiram badan kembali dengan air, dan terakhir mengeringkan badan dEngan
handuk Main layang-layang ada aturan, misalnya untuk mengadu layangan
memerlukan kesepakatan kedua pihak (pada daerah tertentu) atau memberi ekor
pada layangan sebagai pertanda tidak bisa diadu. Aturan-aturan tersebut tidak
temilis dan hal tersebut sering tidak disadari oleh banyak orang.
Orang biasanya merasakan adanya aturan ketika terdapat
peraturan tertulis yang mengatur dan melandasi suatu perbuatan balk dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan dan
lain-lain. Bagi seorang pegawai, pimpinan atau bawahan, aturan tertulis ini
sangat peaing artmya sebagai sumber kewenangan dan tanggung jawab atas bidang
tugasnya dan menjadi pedoman dasar dalam bekerja dan berperilaku atau
berinteraksi dengan pihak lain.
Penyimpangan perilaku atas ketiga hal tersebut secara bersama-sama
atau salah satu di antaranya dianggap tidak baik atau tidak etis. Melanggar
sisteni nilai atau adat yang berlaku sering dikatakan orang sebagai tidak
beradat/tidak beradab. Misal ketika kita datang ke tempat orang yang tertimpa
musibah, salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia. Adat mengajarkan
agar kita menunjuk.kan rasa simpati dan ikut berduka cita dengan berbicara
secara lembut, akan tetapi kalau kita berbicara keras dan tertawa
terbahak-bahak, maka kita dianggap orang tidak beradat karena telah melakukan
ketidakpantasan atau melakukan sesuatu yang tidak etis.
Agama mengajarkan kepada kita untuk menghormati orang tua,
apakah orang tua kandung atau orang lain yang lebih tua dari kita. Agama juga
mengajarkan untuk menghormati guru, kyai, ulama yang telah memberi kita ilmu,
tidak peduli lebih muda atau lebih tua usianya dari kita. Akan tetapi ketika kita
tidak melakukan ajaran itu karena kita merasa lebih pintar, lebih kaya, lebih
tinggi jabatannya, maka saat itu pula kita dikatakan orang yang tidak
berperilaku balk atau tidak beretika.
Demikian juga pelanggaran terhadap aturan-aturan tertulis,
di kantor misalnya, telah ada aturan bahwa yang berhak mengirim surat keluar,
menandatangani kerja sama atau perjanjian dengan pihak lain adalah pimpinan
instansi tempat kit~ bekerja. Terdapat aturan yang jelas tentang hierarki
organisasi yang mengatur pola hubungan kerja internal dan alur surat menyurat.
Ketika seorang pegawai melanggar aturan tersebut dengan berkirim surat keluar
dan melakukan kerja sama melalui penandatanganan piagam kerjasama dengan pihak
lain tanpa sepengetahuan pimpinan organisasi, maka pegawai bersangkutan dapat
dikatakan tidak tahu aturan dan tidak etis.
5.
Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai suatu bidang pekerjaan
yang memerlukan keahlian/keterampilan dan aturan tertentu dengan mendapat
imbalan berupa uang. Pegawai negeri, konsultan, pengacara, pilot, penyanyi,
atau pelawak misalnya adalah suatu profesi, karena pegawai negeri, konsultan,
pengacara, pilot, penyanyi, atau pelawak adalah satu bidang pekerjaan yang
memerlukan keahlian/keterampilan dan dengan suatu aturan tertentu serta menghasilkan
uang sebagai gaji, imbalan, upah atau honorarium. ,
Dengan demikian unsur-unsur dari suatu profesi adalah:
1.Adanya bidang pekerjaan tertentu
Bidang pekerjaan ini merupakan arena untuk menerapkan
suatu keahlian/ keterampilan. Pamong praja yang tergabung dalam pegawai negeri
sipil memiliki bidang pekerjaan sesuai tugas yang dibebankan kepadanya (camat,
lurah, satpol PP, kepegawaian, atau lainnya).
2.Memiliki
keahlian atau keterampilan tertentu
Setiap pekerjaan memerlukan persyaratan keahlian atau keterampilan
tertentu sesuai dipersyaratkan oleh pekerjaan itu. Tanpa keahlian atau
keterampilan tertentu pamong praja tidak mungkin dapat melaksanakan tugas
sesuai diharapkan.
3.Memiliki
aturan tertentu
Bidang pekerjaan tertentu dengan persyaratan keahlian atau
keterampilan tertentu harus dikerjakan berdasarkan aturan tertentu sebagai
pedoman dalam bekerja dan bertingkah laku serta sebagai dasar dalam pemberian
upah.
4.Memiliki
organisasi
Sebuah profesi memerlukan sebuah organisasi sebagai wadah
komunikasi dalam menunjang profesi yang digeluti, dan dengan organisasi itu
etika profesi dapat dibuat dan diterapkan.
6.
Persyaratan Pamong Praja
Agar pamong praja dapat melayani, melindungi, dan
mengayomi masyarakat diperlukan suatu persyaratan. Persyaratan dimaksud adalah:
(1) Persyaratan formal seperti:
- Berpendidikan (memiliki ijazah) tertentu;
- Memiliki kemampuan ketrampilan tertentu yang di prasyaratkan bidang pekerjaan yang dihadapi.
(2) Persyaratan psikologis yaitu kreteria persyaratan
mental/ kejiwaan (emosional) yang menunjang pelaksanaan tugas melayani yang
meliputi: '
- Kestabilan emosional
Kemampuan mengendalikan emosi, mampu mengendalikan
perasaan, sabar, tidak mudah tersinggung dan cepat marah atau meledak-ledak;
- Menghormati dan menghargai orang lain. Memperlakukan orang lain secara bermartabat, tidak melecehkan kehormatan orang lain, menghargai kepentingan orang lain dan tidak merendahkan (under-estimccte) terhadap kemampuan orang lain;
- Mampu bergaul secara luas
Tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial
dengan pihak lain dari berbagai lapisan masyarakat dalam kehidupan sehari-hart
maupun dalam memasuki situasi sosial baru;
- Ulet dan tekun
Mampu mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan, teliti dan
tidak gampang menyerah atau putus asa;
- Mampu ber-empati
Dapat memberi perhatian dan ikut merasakan kebutuhan dan
kesulitan orang lain, sehingga timbul keinginan untuk melayani sebaik-baiknya;
- Memiliki sikap tegas
Tegas dalam menerapkan aturan, namun fleksibel atau luwes
dalam memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat yang mendesak;
- Inisiatif dan tanggung jawabDapat melaksanakan pekerjaan yang merupakan bidang ttigasnya tanpa menunggu dorongan atau perintah orang lain secara bertanggung jawab;
- Mampu bertindak adil
Memberikan
pelayanan kepada semua orang yang membutuhkan pelayanan dengan tidak membedabedakan
status, pangkat, suku, dan agama.
(3)
Menguasai keterampilan teknis tertentu. Keterampilan teknis yang perlu dikuasai
antara lain:
a. Dapat
mengoperasionalkan teknologi yang ada sepprti; mesin ketik, komputer, note
book/lap top, mesin penghitung, kalkulator, dan lain-lain;
b. Memahami
segenap peraturan, petunjuk pelaksana Ouklak), petunjuk teknis (juknis), dan
peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan bidang tugas yang
dihadapi;
c. Menguasai
cara pengisian secara benar segala macam bentuk formulir, format, blanko, dan
mampu membuat dan menjelaskan tabel, grafik, atau gambar yang terdapat pada
bidang pekerjaan yang digeluti.
7. Etika Profesi Pamong
Praja
Pada
dasarnya kebutuhan akan pelayanan pemerintah dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat yang berbeda latar belakang pendidikan, golongan, suku, agama, dan
wdat istiadat. Agar pelayanan pamong praja dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat, maka pelayanan harus dilakukan berdasarkan rumusan etika profesi
pamong praja yaitu: sopan, melayani, melindungi, dan mengayomi atau disingkat "Sopyan
linomi" dengan uraian sebagai berikut.
(1)
Sopan
Sopan
menunjuk pada suatu perbuatan atau tingkah laku yang selaras dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama, susila, maupun norma-norma yang terkandung
dalam adat istiadat. Sopan dalam tindakan atau perilaku bersumber dari rasa
sopan dalam sanubari, oleh karena itu sopan dapat dibagi:
a.Sopan
dalam sikap batin
Perasaan
menghargai dan menghormati orang lain, tidak mengang;ap diri lebih segalanya
dari orang lain, tidak congkak, tidak sombong. Bahwa dirinya memiliki kelebihan
kareua berpendidikan tinggi, memiliki jabatan dan berpangkat bukanlah alasan
untuk tidak menghormati orang lain karena orang lain pun memiliki kelebihan
yang tidak kita miliki
b.Sopan dalam sikap lahir
Sikap
lahir menunjuk pada penampilan fisik petugas pemberi pelayanan. Tidak semua
orang mendapat anugerah kecantikan atau ketampanan, tetapi semua orang dapat
tampil menarik dengan berpakaian bersih, rapi, dan serasi. Raut muka
mencerminkan keterbukaan dan persahabatan, kumis dan janggut tercukur rapi,
rambut tersisir rapi, make up tidak berlebihan, menarik, berwibawa, dan jauh
dari kesan angker, galak dan tidak bersahabat.
c.Sopan
dalam tindakan
Tindak
tanduk petugas pelayan baik sedang tidak bertugas dan terlebih pada saat sedang
bertugas harus selalu "correct" sehingga dihormati dan disegani oleh
lingkungan maupun masyarakat penerima pelayanan. Membanting berkas, merokok,
atau sambil makan pada saat melayani adalah perbuatan yang perlu dihindarkan karena sangat tidak sopan, atau
mengobrol seenaknya dengan teman sejawat dengan membiarkan orang yang
membutuhkan pelayanan menunggu terlalu lama.
d.Sopan dalam bertutur kata
Bertutur kata secara balk, tidak dibenarkan mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung perasaan apalagi merendahkan martabat seseorang,
tetapi juga tidak perlu basa basi yang berlebihan selungga mengganggu
masyarakat lain yang juga membutuhkan pelayanan.
(2) Melayani
Melayani dapat dimaknai sebagai upaya membantu memenuhi
kebutuhan orang lain melalui suatu produk berbentuk barang atau jasa.
Meningkatnya jumlah penduduk tidak saja diikuti dengan peningkatan kebutuhan
tetapi juga semakin bervariasi dan kompleksnya persoalan yang dihadapi.
Kompleksitas persoalan dalam masyarakat berimbas pada peningkatan kebutuhan
akan pelayanan dan karena itu waktu pelayanan pun tidak terbatas pada jam
kerja. Pada saatsaat tertentu pamong praja harus siap selama 24 jam sehari
untuk melayani pihak-pihak yang memerlukan pelayanan.
Bervariasinya kebutuhan masyarakat tidak memungkinkan
untuk merinci satu per satu bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh pamong
praja, namun secara garis besar pelayanan dapat berupa:
a.
Pelayanan
surat menyurat yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai warga negara seperti
pelayanan akte kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), surat nikah, surat
kematian, dan lain-lain;
b.
Pelayanan
akan bukti kepemilikan harta benda seperti girik, akta tanah/ sertifikat, BPKB,
dan lain-lain;
c.
Pelayanan
yang berkaitan dengan kewajiban warga _negara terhadap negara seperti
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran STNK, dan lain-lain;
d.
Pelayanan
yang berkaitan dengan perizinan, seperti IIv1B, ijin usaha pertambangan, perindustriaan, tempat
hiburan atau tempat rekreasi, dan lain-lain;
e.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan,
lapangan usaha, seperti puskesmas, posyandu, rumah sakit, gedunggedung
sekolah, pasar, dan lain-lain;
f.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur seperti jalan negara, Jalan
provinsi, jalan kabu-paten, jalan desa, jalan lingkungan, jembatan, dan
lain-lain;
g.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan sosialisasi kebijakan atau
program pemerintah;
h.
Melayani
berbagai pengaduan dan keluhan warga negara berkaitan dampak kebijakan
pemerintah, atau persoalan-persoalan yang timbul dalam interaksisesama warga
masyarakat dalam kehidupan seharihari.
i.
Pelayanan
terhadap korban bencana alam, kebakaran, korban penggusuran, dan lain-lain.
(3) Melindungi
Melindungi pada dasarnya bertujuan agar masyarakat
memperoleh kapastian akan keamanan dan keselamatan lahir batin dan tidak
terganggu hak miliknya serta dapat mengupayakan kepentingannya tanpa keraguan
akan gangguan pihak lain. Oleh karena itu hal-hal yang
perlu dilindungi adalah:
- Keamanan dan keselamatan fisik dan psikis warga masyarakat
Pamong
praja wajib menciptakan keamanan dan ketertiban sehingga secara fisik warga
masyarakat terbebas dari segala macam bentuk tindak kekerasan seperti
penghadangan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain. Demikian juga masyarakat
harus terlindungi dari segala macam bentuk ancaman, teror, caci maki yang
mengganggu ketenteraman psikis.
- Kepemilikan atau harta benda warga masyarakat. Tiap warga masyarakat dipastikan memiliki harta benda meskipun dalam jumlah dan besaran yang berbeda dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak. Tidak semua barang-barang tersebut selalu berada dalam pengawasan pemiliknya, oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk menciptakan suatu sistem pengamanan yang memungkinkan barangbarang tersebut tetap menjadi milik dari pemiliknya yang sah, termasuk melindungi harta benda milik negara.
- Kepentingan warga masyarakat
Tiap
warga masyarakat memiliki kepentingan tertentu atas segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani sawah berkepentingan
terhadap pembagian air untuk mengairi sawahnya. Masyarakat perkotaan
berkepentingan terhadap penyediaan air bersih untuk kepentingan makan, minum,
dan mencuci. Oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut.
- Melindungi harga diri atau harkat dan martabat masyarakat
Harga
din tidaklah dimiliki hanya oleh pimpinan, pejabat, atau orang kaya saja tetapi
dimiliki semua orang. Petani, buruh, tukang becak, pegawai rendah, pengangguran
Juga memiliki harga diri, memiliki martabat yang harus dihormati. Jangan pernah
memarahi seorang bapak di depan anak atau istrinya karena akan menyinggung
harga diri, kehormatan dan martabat keluarga bersangkutan.
- Melindungi norma atau aturan agar dipatuhi.
Pola
interaksi dalam masyarakat dan antara masyarakat dengaan aparat terikat dengan
sejumlah nilai/norma maupun aturan-aturan tertulis lainnya. Tugas pamong praja
memanikan bahwa aturan yang ada tetap terpelihara dan dijalankan oleh semua
pihak. Dengan kata lain pamong praja berkewajiban melindungi keseluruhan aturan
agar ditaati dan tidak dilanggar baik oleh masyarakat maupun oleh pamong praja
itu sendiri.
- Melindungi citra korps pamong praja itu sendiri
Citra
Pamong Praja ditentukan oleh perilaku yang ditampilkan oleh Pamong Praja balk
pada saat menjalankan tugas maupun di luar tugas. Perilaku baik akan mendapat
respons baik sebaliknya perilaku yang tidak baik akan menuai kecaman dari masyarakat.
Melindungi citra korps hanya bisa dilakukan oleh anggota Korps Pamong Praja itu
sendiri, banyak pihak yang akan memetik keuntungan jika Korps Pamong Praja
gagal melindungi masyarakat.
(4)
Mengayomi
Mengayomi
berarti melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain atau masyarakat
merasa nyaman dan am=, bebas dari berbagai kehawatiran. Masyarakat akan merasa
terayomi apabila Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya secara sopan,
melayani, dan melindungi seperti diuraikan di atas. Di samping itu, Pamong Praja harus dapat
berperan:
- Sebagai guru
Kita
memahami bahwa tugas guru adalah mentranfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai
moral, budi pekerti, terhadap para murid-muridnya. Pamong Praja dapat berperan
sepecti halnya guru dengan mernberi pencerahan dengan berbagi pengetahuan clan
pengalaman terutama dalam hal penyelenggaraan pemerintahan sehingga masyarakat
mendapat nilai lebih (added value) dalam bergaul dengan Pamong Praja.
- Sebagai bapak atau orang yang dituakan Maknanya adalah bahwa Pamong Praja harus dapat memberi nasehat, petuah clan wejangan-wejangan yang mampu membangkitkan semangat hidup clan perlunya kerja keras. Pamong Praja harus dekat dengan masyarakat layaknya seorang bapak yang dekat dengan anaknya clan dapat menjadi contoh teladan dalam bertindak dan bertingkah laku. Pamong Praja yang muslim yang bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas muslim harus sering shalat berjamaah di masjid. Demikian juga Pamong Praja yang non muslim bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas non muslim juga harus sering tampak bersama jamaah di gereja, pure, kelenteng, atau tempat ibadah non muslim lainuya.
- Sebagai pemimpin
Tugas
seorang pemimpin pada hakekatnya adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai
suatu tujuan. Pamong Praja adalah pemimpin yang bertugas menggerakkan
masyarakat melalui penggalangan peranserta masyarakat untuk membangun daerah
tempat tugasnya sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan kualitas
kehidupan. Pada kepemimpinan ASTRABRATA dapat
dijadikan pedoman dalam kepemimpinan Pamong Praja.
Dengan
berpegang pada etika profesi di atas pamong praja diyakini akan dapat
menjalankan tugas seb4uk-baiknya dan sekaligus dicintai masyarakat.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
kode etik Pamong Praja yang saudara
ketahui ?
2. Jelaskan
tugas Pamong Praja
?
3. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur
dalam etika?
4. Apa
syarat yang harus dipenuhi Pamong Praja untuk dapat melaksanakan etika profesinya
?
5. Uraikan hal-hal yang menjadi rumusan kode etik Pamong Praja!

Baca kembali materi kegiatan
belajar yang menyangkut kode etik Pamong
Praja. Untuk menjawab semua soal di atas baca dengan seksama hingga paham, dan agar
praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Pada dasarnya kebutuhan akan pelayanan
pemerintah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang berbeda latar
belakang pendidikan, golongan, suku, agama, dan wdat istiadat. Agar pelayanan
pamong praja dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka pelayanan harus
dilakukan berdasarkan rumusan etika profesi pamong praja yaitu: sopan,
melayani, melindungi, dan mengayomi atau disingkat "Sopyan linomi" dengan
uraian sebagai berikut.
(1)
Sopan
Sopan
menunjuk pada suatu perbuatan atau tingkah laku yang selaras dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama, susila, maupun norma-norma yang terkandung
dalam adat istiadat. Sopan dalam tindakan atau perilaku bersumber dari rasa sopan
dalam sanubari, oleh karena itu sopan dapat dibagi:
a.Sopan
dalam sikap batin
Perasaan
menghargai dan menghormati orang lain, tidak mengang;ap diri lebih segalanya
dari orang lain, tidak congkak, tidak sombong. Bahwa dirinya memiliki kelebihan
kareua berpendidikan tinggi, memiliki jabatan dan berpangkat bukanlah alasan
untuk tidak menghormati orang lain karena orang lain pun memiliki kelebihan
yang tidak kita miliki
b.Sopan dalam sikap lahir
Sikap
lahir menunjuk pada penampilan fisik petugas pemberi pelayanan. Tidak semua
orang mendapat anugerah kecantikan atau ketampanan, tetapi semua orang dapat
tampil menarik dengan berpakaian bersih, rapi, dan serasi. Raut muka
mencerminkan keterbukaan dan persahabatan, kumis dan janggut tercukur rapi,
rambut tersisir rapi, make up tidak berlebihan, menarik, berwibawa, dan jauh
dari kesan angker, galak dan tidak bersahabat.
c.Sopan
dalam tindakan
Tindak
tanduk petugas pelayan baik sedang tidak bertugas dan terlebih pada saat sedang
bertugas harus selalu "correct" sehingga dihormati dan disegani oleh
lingkungan maupun masyarakat penerima pelayanan. Membanting berkas, merokok,
atau sambil makan pada saat melayani adalah perbuatan yang perlu dihindarkan karena sangat tidak sopan, atau
mengobrol seenaknya dengan teman sejawat dengan membiarkan orang yang
membutuhkan pelayanan menunggu terlalu lama.
d.Sopan dalam bertutur kata
Bertutur kata secara balk, tidak dibenarkan mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung perasaan apalagi merendahkan martabat seseorang,
tetapi juga tidak perlu basa basi yang berlebihan selungga mengganggu
masyarakat lain yang juga membutuhkan pelayanan.
(2) Melayani
Melayani dapat dimaknai sebagai upaya membantu memenuhi
kebutuhan orang lain melalui suatu produk berbentuk barang atau jasa.
Meningkatnya jumlah penduduk tidak saja diikuti dengan peningkatan kebutuhan
tetapi juga semakin bervariasi dan kompleksnya persoalan yang dihadapi.
Kompleksitas persoalan dalam masyarakat berimbas pada peningkatan kebutuhan
akan pelayanan dan karena itu waktu pelayanan pun tidak terbatas pada jam
kerja. Pada saatsaat tertentu pamong praja harus siap selama 24 jam sehari
untuk melayani pihak-pihak yang memerlukan pelayanan.
Bervariasinya kebutuhan masyarakat tidak memungkinkan
untuk merinci satu per satu bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh pamong
praja, namun secara garis besar pelayanan dapat berupa:
j.
Pelayanan
surat menyurat yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai warga negara seperti
pelayanan akte kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), surat nikah, surat kematian,
dan lain-lain;
k.
Pelayanan
akan bukti kepemilikan harta benda seperti girik, akta tanah/ sertifikat, BPKB,
dan lain-lain;
l.
Pelayanan
yang berkaitan dengan kewajiban warga _negara terhadap negara seperti
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran STNK, dan lain-lain;
m.
Pelayanan
yang berkaitan dengan perizinan, seperti IIv1B, ijin usaha pertambangan, perindustriaan, tempat
hiburan atau tempat rekreasi, dan lain-lain;
n.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan,
lapangan usaha, seperti puskesmas, posyandu, rumah sakit, gedunggedung
sekolah, pasar, dan lain-lain;
o.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur seperti jalan negara, Jalan
provinsi, jalan kabu-paten, jalan desa, jalan lingkungan, jembatan, dan
lain-lain;
p.
Pelayanan
yang berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan sosialisasi kebijakan atau
program pemerintah;
q.
Melayani
berbagai pengaduan dan keluhan warga negara berkaitan dampak kebijakan
pemerintah, atau persoalan-persoalan yang timbul dalam interaksisesama warga
masyarakat dalam kehidupan seharihari.
r.
Pelayanan
terhadap korban bencana alam, kebakaran, korban penggusuran, dan lain-lain.
(3) Melindungi
Melindungi pada dasarnya bertujuan agar masyarakat
memperoleh kapastian akan keamanan dan keselamatan lahir batin dan tidak
terganggu hak miliknya serta dapat mengupayakan kepentingannya tanpa keraguan
akan gangguan pihak lain. Oleh karena itu hal-hal yang
perlu dilindungi adalah:
- Keamanan dan keselamatan fisik dan psikis warga masyarakat
Pamong
praja wajib menciptakan keamanan dan ketertiban sehingga secara fisik warga
masyarakat terbebas dari segala macam bentuk tindak kekerasan seperti
penghadangan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain. Demikian juga masyarakat
harus terlindungi dari segala macam bentuk ancaman, teror, caci maki yang
mengganggu ketenteraman psikis.
- Kepemilikan atau harta benda warga masyarakat. Tiap warga masyarakat dipastikan memiliki harta benda meskipun dalam jumlah dan besaran yang berbeda dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak. Tidak semua barang-barang tersebut selalu berada dalam pengawasan pemiliknya, oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk menciptakan suatu sistem pengamanan yang memungkinkan barangbarang tersebut tetap menjadi milik dari pemiliknya yang sah, termasuk melindungi harta benda milik negara.
- Kepentingan warga masyarakat
Tiap
warga masyarakat memiliki kepentingan tertentu atas segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani sawah berkepentingan
terhadap pembagian air untuk mengairi sawahnya. Masyarakat perkotaan
berkepentingan terhadap penyediaan air bersih untuk kepentingan makan, minum,
dan mencuci. Oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut.
- Melindungi harga diri atau harkat dan martabat masyarakat
Harga
din tidaklah dimiliki hanya oleh pimpinan, pejabat, atau orang kaya saja tetapi
dimiliki semua orang. Petani, buruh, tukang becak, pegawai rendah, pengangguran
Juga memiliki harga diri, memiliki martabat yang harus dihormati. Jangan pernah
memarahi seorang bapak di depan anak atau istrinya karena akan menyinggung
harga diri, kehormatan dan martabat keluarga bersangkutan.
- Melindungi norma atau aturan agar dipatuhi.
Pola
interaksi dalam masyarakat dan antara masyarakat dengaan aparat terikat dengan
sejumlah nilai/norma maupun aturan-aturan tertulis lainnya. Tugas pamong praja
memanikan bahwa aturan yang ada tetap terpelihara dan dijalankan oleh semua
pihak. Dengan kata lain pamong praja berkewajiban melindungi keseluruhan aturan
agar ditaati dan tidak dilanggar baik oleh masyarakat maupun oleh pamong praja
itu sendiri.
- Melindungi citra korps pamong praja itu sendiri
Citra
Pamong Praja ditentukan oleh perilaku yang ditampilkan oleh Pamong Praja balk
pada saat menjalankan tugas maupun di luar tugas. Perilaku baik akan mendapat
respons baik sebaliknya perilaku yang tidak baik akan menuai kecaman dari
masyarakat. Melindungi citra korps hanya bisa dilakukan oleh anggota Korps Pamong
Praja itu sendiri, banyak pihak yang akan memetik keuntungan jika Korps Pamong Praja
gagal melindungi masyarakat.
(4)
Mengayomi
Mengayomi
berarti melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain atau masyarakat
merasa nyaman dan am=, bebas dari berbagai kehawatiran. Masyarakat akan merasa
terayomi apabila Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya secara sopan,
melayani, dan melindungi seperti diuraikan di atas. Di samping itu, Pamong Praja harus dapat
berperan:
- Sebagai guru
Kita
memahami bahwa tugas guru adalah mentranfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai
moral, budi pekerti, terhadap para murid-muridnya. Pamong Praja dapat berperan
sepecti halnya guru dengan mernberi pencerahan dengan berbagi pengetahuan clan
pengalaman terutama dalam hal penyelenggaraan pemerintahan sehingga masyarakat
mendapat nilai lebih (added value) dalam bergaul dengan Pamong Praja.
- Sebagai bapak atau orang yang dituakan Maknanya adalah bahwa Pamong Praja harus dapat memberi nasehat, petuah clan wejangan-wejangan yang mampu membangkitkan semangat hidup clan perlunya kerja keras. Pamong Praja harus dekat dengan masyarakat layaknya seorang bapak yang dekat dengan anaknya clan dapat menjadi contoh teladan dalam bertindak dan bertingkah laku. Pamong Praja yang muslim yang bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas muslim harus sering shalat berjamaah di masjid. Demikian juga Pamong Praja yang non muslim bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas non muslim juga harus sering tampak bersama jamaah di gereja, pure, kelenteng, atau tempat ibadah non muslim lainuya.
- Sebagai pemimpin
Tugas
seorang pemimpin pada hakekatnya adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai
suatu tujuan. Pamong Praja adalah pemimpin yang bertugas menggerakkan
masyarakat melalui penggalangan peranserta masyarakat untuk membangun daerah
tempat tugasnya sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan kualitas
kehidupan. Pada kepemimpinan ASTRABRATA dapat
dijadikan pedoman dalam kepemimpinan Pamong Praja.
Dengan
berpegang pada etika profesi di atas pamong praja diyakini akan dapat
menjalankan tugas seb4uk-baiknya dan sekaligus dicintai masyarakat.
POKOK
BAHASAN
X
PERANAN PAMONG PRAJA
DALAM ERA REFORMASI

Euforia reformasi dewasa ini seolah-olah
telah menafsirkan peran Pamong
Praja dalam tugas-tugas
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
yang telah diukir sejak proklamasi kemerdekaan sampai akhir orde baru.
Ditinjau
dari aspek manajemen pemerintahan, tugas
dan peran pembinaan lebih dekat dengan fungsi
penggerakan, sedang pengawasan sendiri merupakan fungsi penting lainnya dari
fungsi manajemen.

Secara teoritis fungsi-fungsi pembinaan
tidak berbeda, namun dalam prahanisasi dan cara melaksanakan kemudi
pemerintahan daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) perlu diketahui perbedaan dan
sifat pembinaannya, agar mebjadi jelas dan tidak simpang siur. Berkaitan dengan
hal tersebut dalam kerangka Badan Eksekutif Daerah terhadap perbedaan dan sifat
pembinaan yang perlu diketahui unsur-unsur organisasinya.
a. Unsur
pimpinan daerah,
b. Unsur
pembantu pimpinan, dan
c. Unsur
pelaksana
Dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah maka:
a. Unsur
pimpinan adalah Gubernur (Propinsi) dan Bupati/Walikota (Kabupaten/Kotamadya);
b. Unsur
pembantu pimpinan adalah Sekretaris dan Sekretariat Daerah; dan
c. Unsur
pelaksana adalah para Kepala Dinas atau Instansi
Pada setiap pembinaan pemerintahan
dibedakan adanya 2 jenis pembinaan yaitu:
a. Pembinaan
organisasi, adalah suatu pembinaan organisasi yang berkedudukan sebagai
alat/wadah dan wahana dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokok sebaik-baiknya;
b. Pembinaan
fungsi adalah suatu pembinaan kegiatan-kegiatan fungsional sesuai dengan tugas
dan kewajiban suatu organisasi.
Dilihat dari segi
tujuannya, pembinaan oleh unsure pimpinan pemerintah daerah adalah:
a. Untuk
menjamin penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara
berdayaguna dan berhasilguna
b. Untuk
meningkatkan SDM baik dari segi mutu dan keterampilan serta kegairahan kerja
sehingga menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dalam melaksanakan
pembangunan di segala bidang.
c. Untuk
menjamin terwujudnya stabilitas daerah
d. Tetap
terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Harold Koontz dan Cyril O’Donnel
( 19..:..) bahwa pengawasan adalah penilaian dan koreksi atas pelaksanaan kerja
yang dilakukan oleh bawahan dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau
menjamin tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang digunkan untuk
mencapainya dilaksanakan.
Berkenaan dengan standart pengawasan
tersebut Harold dan Cyril O’Donnel mengelompokkan dalam 3 (tiga) macam yaitu:
a. Standar
fisik (non moneter);
b. Standar
Moneter yang meliputi: standar biaya, standar modal, standar pendapatan dan
sandar upah; dan
c. Standat
abstrak (intangible)
-
Standar fisik
-
Standar biaya
-
Standar pendapatan
-
Intangible
standar
Selanjutnya
dalam aplikasi, pelaksanaan pengawasan berorientasi pada:
a. Menentukan
fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan;
b. Mencegah
timbulnya penyimpangan-penyimpangan dari rencana semula;
c. Meningkatkan
efisiensi dan mencapai efektivitas;
d. Mempermudah
tercapainya tujuan;
e. Menemukan
kesalahan; dan
f. Membimbing
agar para pelaksanaan dapat meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas
yang telah ditentukan bainya.
Dalam proses pengawasan
tersebut beberapa tehnik dapat diambil misalnya dengan:
a. Pengawasan
langsung dalam bentuk:
-
Inspeksi mendadak
(sidak)
-
Observasi di tempat (on the spot observation)
-
Laporan di tempat (on the spot report)
b. Pengawasan
tidak langsung dalam bentuk:
-
Laporan tertulis
-
Laporan lisan
Dalam kerangka (frame) pembinaan pengawasan mesti/harus dilakukan dan dalam
proses pengawasan terkandung pula unsur-unsur pebinaan. Dengan demikian
keduanya saling melengkapi dan bersinergi secara simultan untuk mencapai tujuan
organisasi pemerintah daerah serta berdayaguna dan berhasilguna.

Pemerintah daerah dalam posisi sebagai
daerah otonom perlu melakukan pembinaan dan pengawasan baik terhadap
aparat-aparat yang ada dalam jajarannya maupun terhadap masyarakat di
wilayahnya, agar berbagai kemungkinan penyimpangan dapat dihindari sekaligus
dalam waktu bersamaan dapat digalang persatuan dan kesatuan bangsa, tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan.
Intensitas pembinaan menunjukkan bahwa
intervensi/campur tangan pemerintah pusat terlalu mendalam (deep intervention) terhadap pemerintah daerah. Akibat dari campur
tangan yang terlalu jauh tentu berimplikasi pada sempitnya ruang gerak
pemerintah daerah dalam mengambil keputusan (decisition
making) apa yang terbaik menurut dirinya berdasarkan kondisi obyektif dan
aspirasi masyarakat yang berkembang. Kenyataan itu gilirnnya akan menimbulkan
ketergantungan (dependency) yang
besardan tidak mendewasakan pemerintah daerah.
Komparasi,
Aplikasi dan Implikasi Undang-undangNomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999
Komparasi, Aplikasi dan Implikasi kedua
Undang-undang di atas lenih bersifat analisis/akademis yang didasarkan pada
isi, semangat dari jiwa pasal-pasal yang mengaturnya, sekalipun demikian
terhadap Undang-undang Nomor 5 Than 1974 Aplikasi dilihat dalam perspektif
formal, sedangkan implikasinya dilihat dalam perspektif faktual. Adapun
terhadap Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Aplikasi dilihat dalam perspektif prediksi
dan implikasinya dilihat dalam perspektif proyeksi.
Dilihat dari karakteristiknya pembinaan
dan pengawasan pemerintah daerah memiliki perbedaan sebagai berikut:
a. Dilihat
dari sifat pembinaanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih bersifat operatif
(langsung) sehingga impilkasinya pembinaan enderung bersifat pada hal-hal kecil
sekalipun. Hal ini jelas memberikan ruang gerak kepada pemerintah daerah karena
semuanya serba terpusat/sentralistik.
b. Dilihat
dari isi/muatannya pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 meliputi
aspek-aspek ideology, politik, sosbud dan ekonomi serta hankam
(terpusat/sentralistik) implikasi dari isi pembinaan yang sentralistik ini maka
terjadi penteragaman dalam pembinaan yang mengakibtakan hilangnya cirri
khas/jat diri daerah. Daerah tidak dapat berkembang sesuai dengan jati diri
budayanya sendiri karena semuanya berjalan dengan monolitik.
c. Ditinjau
dari pembinaan dan pengawasannya pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 motif
pembinaan didasarkan pada suatu keinginan agar daerah dapat menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi, desentralisasi dan
bertanggungjawab dalam wadah Negara kesatuan RI, keserasian, keselarasan,
keseimbangan dan kemerataan antar daerah di bina sedemikian rupa engan harapan
terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
d. Ditinjau
dari sasaran pembinaan dan pengawasannya, pada Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974, pembinaan pemerintah diarahkan pada aparatur daerah dalam arti luas
termasuk di dalamnya DPRD (badan legislative daerah) dan instansi vertikal di
daerah dengan Kepala Wilayah/Daerah selaku koordinatornya (selaku wakil
pemerintah pusat di daerah).
e. Dilihat
dari mekanismenya, pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dilakukan
melalui Departemen Tehnis terutama berkanaan dengan tugas-tugas dekinsentrasi dan
tugas pembantuan di bawah koordinasi Kepala Wilayah. Hal ini berimplikasi pada
munculnya raja-raja kecil di daerah, karena Kepala Daerah akan lebih
menampakkan sosoknya sebagai Kepala Wilayah (Pamong Praja) atau penguasa
tunggal di wilayahnya (sentralisasi lokal). Sedangkan mekanisme pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dilakukan
melalui dinas-dinas tenis di bawah koordinasi Kepala Daerah. Impilkasi dari
aplkasi pembinaan dan pengawasan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini adalah
hilangnya sosok raja-raja kecil karena Kepala Daerah semata-mata merupakan
Kepala Eksekutif yang dikontrol secara efektif oleh DPRD, satu yang perlu
dicegah apabila sering terjadi misi tidak percaya.
f. Scope/lokus
pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 meliputi semua urusan baik yang
telah diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah sendiri maupun tugas-tugas
pemerintahan umum dan tugas-tugas pembantuan. Impilkasi dari aplikasi pembinaan
yang menyeluruh pada semua urusan ini adalah lumpuhnya antara peran DPRD dan
menguatnya peran Kepala Daerah. Keidak seimbangan antara kepala eksekutif dan
legislatif daerah, sebagian juga berpangkal dari batasan/ konsep pemerintah
daerah yang terdiri atas unsure dan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
g. Diliha
dari fokus pembinaan dan pengawasannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih
memfokuskan pada penyeragaman dan pemerataan antara daerah, guna memelihara dan
memupuk loyalitas daerah. Sentralisasi kekuasaan merupakan strategi menciptakan
ketergantungan pada pemerintah pusat dengan harapan daerah commited terhadap Negara Kesatua Ri
h. Akhirnya
dilihat dari orientasi pembinaan dari pengawasannya, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 berorientasi pada pembinaan organisasi dan fungsi secara berimbang,
serasi dan seragam. Akibatnya/implikasi dari orientasi pembinaan seperti ini
adalah organisasi dan manajemen pemerintah daerah lebih mementingkan prosedur
kerja daripada efektivitas dan efisiensi kerja, sehinngga terkesan birokratis,
berbelit tidak rasional (Biro Pathologi).

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
peranan Pamong Praja dalam era reformasi!
2. Jelaskan
fungsi pembinaan Pemerintah Daerah!
3. Apa
yang dimaksud dengan pembinaan fungsi?
Jelaskan!
4. Bagaimana
hubungan pengawasan daerah dengan
pembangunan daerah? Jelaskan!
5. Jelaskan
apa yang dimaksud :
a. Pengawasan Preventif
b. Pengawasan Represif
c. Pengawasan Umum

Baca kembali materi kegiatan
belajar X yang menyangkut
tentang Peranan Pamong Praja di era Reformasi.
Untuk menjawab semua soal di atas baca dengan seksama hingga paham, dan agar
praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Pada setiap pembinaan pemerintahan
dibedakan adanya 2 jenis pembinaan yaitu:
a. Pembinaan
organisasi, adalah suatu pembinaan organisasi yang berkedudukan sebagai
alat/wadah dan wahana dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokok sebaik-baiknya;
b. Pembinaan
fungsi adalah suatu pembinaan kegiatan-kegiatan fungsional sesuai dengan tugas
dan kewajiban suatu organisasi.
Pemerintah daerah dalam posisi
sebagai daerah otonom perlu melakukan pembinaan dan pengawasan baik terhadap
aparat-aparat yang ada dalam jajarannya maupun terhadap masyarakat di
wilayahnya, agar berbagai kemungkinan penyimpangan dapat dihindari sekaligus
dalam waktu bersamaan dapat digalang persatuan dan kesatuan bangsa, tumbuh dan
berkembangnya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan.
Intensitas pembinaan menunjukkan
bahwa intervensi/campur tangan pemerintah pusat terlalu mendalam (deep intervention) terhadap pemerintah
daerah. Akibat dari campur tangan yang terlalu jauh tentu berimplikasi pada
sempitnya ruang gerak pemerintah daerah dalam mengambil keputusan (decisition making) apa yang terbaik
menurut dirinya berdasarkan kondisi obyektif dan aspirasi masyarakat yang
berkembang. Kenyataan itu gilirnnya akan menimbulkan ketergantungan (dependency) yang besardan tidak
mendewasakan pemerintah daerah.
POKOK BAHASAN XI
PERKEMBANGAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK

Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
aparatur pemerintah – baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah - pada
umunya belum dapat memenuhi kualitas
yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai
keluhan yang datang dari masyarakat sebagai obyek penerima pelayanan, sehingga
menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat
fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat, maka pemerintah perlu terus
berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.
Bab
XI ini terdiri dari 4
(empat) sub pokok bahasan, meliputi perubahan manajemen, paradigma baru
pelayanan publik, kualitas pelayanan publik, serta teori dan model pelayanan
publik.
Setelah
mempelajari bab XI ini Anda diharapkan :
1)
Memahami secara lebih
mendalam mengenai tahapan perkembangan manajemen;
2)
Memahami paradigm baru
dalam pelayanan publik;
3)
Memahami kualitas
pelayanan publik;
4)
Memahami teori dan model
pelayanan publik.

Salah satu sebab ketertinggalan
suatu negara dibanding negara lain adalah karena ketertinggalan dari segi
manajemennya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) yang
mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini bukan
terletak pada apa yang dikerjakan, melainkan terletak pada bagaimana
mengerjakannya (Wasistiono, 2004:4). Artinya permasalahan utama yang
dihadapi oleh organisasi pemerintah terletak pada kemampuan manajerialnya. Hal
ini sejalan dengan pandangan Peter F. Drucker (1995) yang menolak menggunakan
istilah “under developed country” untuk Negara-negara yang
terbelakang. Drucker lebih cocok menggunakan istilah “undermanaged
country”, sebab keterbelakangan suatu negara lebih banyak disebabkan
oleh ketertinggalan di bidang manajemennya.
Hal tersebut di atas akan semakin
nampak apabila dikaitkan dengan perkembangan manajemen pada umumnya dan
manajemen pemerintahan pada khususnya. Berikut diuraikan 5 (lima) tahapan
perkembangan manajemen sebagaimana dikemukakan Wasistiono (2004:4).

Manajemen sebagai sebuah kemahiran (know-how)
lahir bersama dengan hadirnya peradaban manusia. Sedangkan sebagai ilmu,
kelahiran manajemen sulit ditetapkan secara pasti karena sifatnya yang evolutif
dan inkremental. Manajamen generasi pertama disebut juga sebagai Jungle
Management.
Ciri utama manajemen generasi
pertama ialah pekerjaan yang ada lebih banyak dikerjakan sendiri. Catatan
tertulis mengenai apa yang telah, sedang dan akan dikerjakan dapat dikatakan
tidak ada. Semua hanya dicatat dalam ingatan orang-orang yang menjalankan
kerjasama. Pekerjaan dijalankan secara naluriah tanpa perencanaan, mengalir
bersama-sama kehidupan orang-orang yang saling bekerjasama. Dalam menjalankan
organisasi digunakan prinsip : doing things by ourself.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, manajemen sebagai
kemahiran maupun sebagai ilmu sudah mulai menampakkan sosoknya yang utuh. Salah
satu pelopor manajemen sebagai sebuah ilmu adalah F.W Taylor (1856-1915) yang
dikenal sebagai : bapak Manajemen Ilmiah”.
Ciri utama manajemen generasi kedua adalah penggunaan kewenangan dan
kepemimpinan untuk mengarahkan anggota organisasi mencapai tujuannya. Anggota
organisasi lebih banyak diposisikan sebagai alat produksi sehingga kurang
memiliki kebebasan untuk berkreasi. Kepuasan pelanggan maupun kepuasan anggota
organisasi belum diperhitungkan dalam proses manajerial. Pada generasi ini, berkembang teori-teori
kepemimpinan, oleh karena itu manajemen generasi kedua dinamakan pula Management
by Direction. Dalam menjalankan organisasi digunakan prinsip : doing
things through by the other people.

Sebagai reaksi dari kelemahan
manajemen generasi kedua, para ahli manajemen kemudian mengembangkan
konsep-konsep yang baru. Agar anggota organisasi memiliki daya inovasi dan
kreativitas, mereka perlu diberi kebebasan. Akan tetapi kebebasan tersebut
perlu diimbangi dengan pemenuhan target-target pekerjaan secara kuantitatif.
Dalam kenyataannya target-target kuantitas yang terlampau berat justru
memebelenggu kebebasan anggota organisasi dan kemudian menimbulkan ketegangan
jiwa. Manajemen generasi ketiga
dinamakan pula sebagai : Management by Targetting atau
Management By Objectives (MBO). Nilai yang diutamakan pada manajemen
generasi ketiga adalah produktivitas yang bersifat kuantitas. Tokohnya antara
lain Peter F. Drucker.

Perubahan dan perkembangan jaman
yang berjalan sangat cepat dan seringkali sulit diperkirakan ternyata telah
membuat berbagai konsep dan teori manajemen yang telah dikembangkan pada dekade
1980-an dirasakan tidak sesuai lagi. Munculnya gelombang demokratisasi ketiga
(tesis Samuel P. Huntington) mendorong meningkatnya kesadaran konsumen akan
hak-haknya. Konsumen yang selama ini dalam posisi pasif menerima produk yang
dihasilkan oleh suatu organisasi, mulai bangkit kesadarannya dan ikut memainkan
peran penting di dalam menentukan bentuk, jenis serta kualitas suatu produk.
Berbagai ahli kemudian melakukan penelitian dan kajian yang kemudian dituangkan
dalam bentuk tulisan maupun jurnal manajemen. Salah satu diantaranya adalah
Brian L. Joiner (1994) yang menulis buku berjudul “Fourth Generation
Management – The New Business Conciousness”. Tulisan tersebut dapat
dikatakan sebagai bibit lahirnya manajemen generasi keempat.
Ciri utama manajemen generasi
keempat adalah memadukan pendekatan
ilmiah serta kerja tim untuk mencapai kualitas. Manajemen generasi keempat
memupunyai fokus pada kualitas produk yang dihasilkan dalam rangka memberikan
kepuasan pada pelanggan (customer satisfaction) disertai kepuasaan
anggota organisasinya. Kualitas di sini adalah sebagaimana yang didefinisikan
oleh para pelanggannya, bukan sepihak oleh produsennya.
Pencapaian kualitas tersebut
dilakukan melalui berbagai pendekatan ilmiah berdasarkan hasil penelitian.
Pendekatan ilmiah merupakan suatu proses pembelajaran mengelola suatu
organisasi sebagai sebuah sistem, pengembangan proses berpikir serta mengambil
keputusan dengan berdasarkan data.
Pada generasi keempat ini, manajemen
berangkat dari rasa saling percaya pada setiap orang dengan memperlakukan
manusia berdasarkan harga dirinya, kepercayaan dan rasa hormat serta bekerja
atas dasar pendekatan menang-menang (win-win approach).
Manajemen mutu total (total
quality management atau TQM) termasuk ke dalam manajemen generasi keempat
karena mempunyai fokus yang sama yaitu mengutamakan kualitas.

Manajemen gemerasi keempat yang
belum lama muncul dan baru digunakan di kalangan terbatas –khususnya dunia
bisnis – ternyata telah disusul dengan embrio lahirnya manajemen generasi
kelima. Tokohnya antara lain Charles M. Savage (1990) melalui bukunya berjudul
: “ Fifth Generation Management – Integrating Enterprises Through Human
Networking”.
Ciri utama manajemen generasi kelima
adalah bagaimana mengintegrasikan organisasi melalui jaringan manusia. Unsur
manusia di dalam organisasi dihargai sangat tinggi sebagai individu yang
memiliki keahlian tertentu. Individu anggota organisasi bukan sekedar alat
produksi.
Untuk masuk ke dalam manajemen
generasi kelima, Savage (1990) menawarkan lima macam transisi yaitu :
1) transisi
dari era industrialisasi ke era ilmu pengetahuan;
2) transisi
dari kegiatan rutin pada kegiatan yang kompleks;
3) transisi
dari kegiatan sekuensial pada kegiatan paralel;
4) transisi
pada prinsip-prinsip konseptual;
5) transisi
pada struktur baru.
Manajemen pemerintahan sebagai salah
satu derivat manajemen secara umum juga mengalami perkembangan seperti yang
dikemukakan di atas. Hanya saja, manajemen pada organisasi pemerintah umumnya
tertinggal dibandingkan kalangan bisnis, karena pada sektor pemerintah tidak
terdapat iklim kompetisi yang mampu menjadi daya dorong untuk melakukan
pembaruan. Pekerjaan di sektor pemerintah umumnya bersifat monopoli dan
berbasis kewenangan. Monopoli berarti tidak ada kompetisi, tanpa kompetisi
tidak akan tercapai efisiensi dan inovasi.
Di Indonesia, manajemen sektor pemerintah
pada umumnya baru masuk pada generasi kedua ataupun ketiga. Masih sangat jarang
yang masuk pada generasi keempat ataupun kelima. Hierarkhi dalam bentuk
eselonering, orientasi kepada atasan karena faktor budaya serta pengaruh
manajemen militer selama masa dwifungsi ABRI, menjadi kendala utama
mengembangkan manajemen pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut menghambat
penggunaan paradigma baru berpemerintahan yang mensyaratkan adanya hubungan
yang lebih egaliter dan heterarkhis.
Tanpa adanya strategi besar untuk
mengubah secara mendasar dan menyeluruh manajemen pemerintahan, maka organisasi
pemerintah akan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa. KKN di Indonesia yang
seharusnya menjadi musuh bersama bangsa (common enemy), bermula dari
kelemahan manajemen, baik mulai dari manajemen perencanaannya sampai pada
manajemen kolaborasi dan konflik.

Terminologi
pelayanan berasal dan kata service. DeVrye mengatakan ada dua pengertian yang
terkandung di dalamnya, yakni “.
.. the attendance
of an inferior upon a superior” atau “to be useful”(DeVrey, 1994:8).
Pengertian pertama mengandung
unsur ikut serta atau tunduk dan pengertian kedua mengandung suatu
kebermanfaatan atau kegunaan. Pengertian kedua dan pendapat DeVrey tersebut
sejalan dengan pendapat Davidow dan Uttal yang memberikan pengertian lebih luas
yaitu “...whatever enhances customer satisfaction”(Davidow & Uttal,
1989:19). Dengan demikian, dikatakan bahwa pelayanan merupakan suatu
usaha untuk mempertinggi kepuasan pelanggan.
Di sisi lain,
terminologi publik sering diartikan sebagai sekelompok masyarakat. Masyarakat
itu sendiri dapat dipandang dan berbagai pengertian. Frederickson (1997:21)
mengungkapkan pengertian public dan bahasa Yunani, yakni: “...The
public as a political community-the polis-in which all citizens (that is adult
males and nonslaves) participated”. Artinya, publik merupakan suatu
masyarakat-polis dan semua penduduk berpartisipasi di dalamnya. Kemudian
berkembang di Inggris modern bahwa “...the public to mean all the people in
a society, without distinguish between them”. Kedua pengertian ini saling
memperkuat pengertian publik atau masyarakat, yakni semua penduduk tanpa
kecuali dalam suatu komunitas yang ikut berpartisipasi di dalam pemerintahan.
Terminologi pelayanan dan publik di atas, memberikan dasar pengertian terhadap
pelayanan publik. Pelayanan publik didefinisikan oleh Roth (1987:1) sebagai “any
services available to the public whether provided publicly (as is a museum) or
privately (as is a restaurant meal)”. Any services yang diungkapkan oleh
Roth berkaitan dengan barang dan jasa dalam pelayanan. Pelayanan publik yang
dimaksud adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh suatu
organisasi atau individu dalam bentuk barang jasa kepada masyarakat baik secara
individu maupun kelompok atau organisasi.
Dalam
penyediaan kebutuhan secara berkelompok dipengaruhi oleh adanya perbedaan
secara filosofis barang layanan. Barang dan jasa dalam pelayanan publik oleh
Olson dan Lean (1987) dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu barang
publik (public goods) dan barang privat (private goods). Barang
yang satu degan barang yang lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Lean
(1987:11-12) mendifinisikan barang publik adalah “A pure public good is defined
as a good requiring indivisibility of production and consumption, non
rivalness, and non-excludability”. Dengan demikian, barang publik murni
dikonsumsi secara bersama dan setiap orang tidak dapat dicegah untuk
mengkonsumsinya. Di samping itu, tidak dapat dipisahkan antara konsumen dan
produsen. Akibatnya tidak ada seorang pun yang mau memproduksi, sehingga tidak
mengundang adanya persaingan.
Kedua jenis
barang dengan tiga karakteristik yang berbeda tersebut kemudian dikembangkan
oleh Savas (1987:38) menjadi empat, yaitu: “...private goods, toll goods,
common pool goods and collective goods”. Pemisah yang digunakan adalah consumptions
and exclusion, baik yang bersifat individual maupun joint. Dalam
mengkonsumsi dan memproduksi barang, terdapat empat persoalan yaitu adanya altruism,
anarchy, the market, and government (McLean, 1987:12). Barang privat
(private goods) tidak menimbulkan persoalan bagi pemerintah karena pasar
menjadi media untuk pelayanannya. Kejelasan konsumsi dan produksi menyebabkan
setiap orang mau menyedialcannya. Dampaknya adalah adanya price and quality
competition di pasar. Demikian juga dalam pelayanan pendidikan, peran
masyarakat dapat menumbuhkan kualitas pelayanan itu sendiri.
Paradigma
administrasi publik tradisional dipengaruhi secara kuat oleh 3 (tiga) aliran
utama yang berkembang pada masa gerakan administrasi modern, yaitu Weberian
dengan tokoh utamanya Max Weber (1864-1820), the Scientific Management yang
dimotori oLeh Frederick Taylor (1911) dan teori Human Relations dan Elton
Mayo (1930). Pertama, Aliran Weberian berpendapat bahwa birokrasi yang ideal
adalah yang meriekankan pada prinsip efisiensi. Prinsip tersebut meliputi:
otoritas bersumber pada hukum formal, birokrasi dibangun dengan struktur
hirarki, konsistensi dalam menerapkan peraturan dan impersonal,
profesionalisme, kerja penuh waktu, dan segala sesuatu di catat dan diatur
dalam perundang-undangan. Kedua, aliran manajemen ilmiah (the
sdentific management) mengenal dua prinsip yaitu time and motion
studies yang digunakan sebagai penentu standa kinerja dan sistem
insentif. Ketiga, aliran human relations menekankan pentingnya hubungan
informal dalam bekerja selain hubungan formal (Solomo, 2006).
Paradigma
NPM berkembang sebagai bentuk kekecewaan terhadap birokrasi yang semakin tidak
efisien, birokrasi yang sangat besar dan kaku dan kinerja yang semakin menurun.
Aliran NPM diawali dengan kemunculan teori public choice yang dimotori
oleh Buchanan dan Tullock pada tahun 1960-1970 an. Pada intinya aliran ini
menekankan pentingnya kekuatan pasar atau kompetisi dalam birokrasi yang
didasari kekhawatiran apabila alokasi sumber daya dilakukan melalui mekanisme
politik. Pada era ini ide tentang contracting out, privatisasi dan
kompetisi antar departemen gencar disuarakan. Berdasarkan aliran public
choice ini berkembang NPM pada era
1980 an yang menekankan paham managerialism yang didasarkan pada metode
dan praktik sektor swasta. Secara makro pendekatan ini berorientasi pada
struktur birokrasi negara yang ramping (slimming the state) dengan contracting-out
dan swastanisasi, sedangkan secara mikro dilakukan dengan manajemen
stratejik, manajemen dan anggaran kinerja dan sistem kompetisi dalam penyediaan
pelayanan publik. Pada prinsipnya paradigma ini menekankan pentingnya efisiensi
birokrasi dengan pendekatan manajerial.
Paradigma kepemerintahan yang baik (Good
Governance/GG) berkembang sebagai bentuk kekecewaan terhadap dominasi
negara dan pasar yang sangat kuat dalam pelayanan publik. Sementara itu
masyarakat sebagai penerima layanan jasa dianggap sebagai objek semata. Gerakan
yang muncul pada tahun 1990 an ini, menempatkan tiga pilar yaitu pemerintah,
sektor swasta dan masyarakat (civil society) yang mempunyai peran dan
posisi sama penting dalam pelayanan publik. Masyarakat perlu mengetahui
pelayanan yang transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan partisipatif dalam
mekanisme pelayanan publik.
Pada perkembangan terakhir muncul paradigma The New
Public Service Management (NPSM) sebagai penyempurnaan terhadap aliran GG.
Aliran ini memadukan prinsip-prinsip dalam NPM dan GG. Dengan mengusung prinsip
serving than steering aliran ini menegaskan bahwa pemerintah tetap harus
berperan membuat regulasi dan melakukan pelayanan publik pada masyarakat tetapi
masyarakat juga diberi peran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
tersebut. Perpaduan pergerakan pemerintahan subnasional dengan pergerakan
paradigma administrasi publik melahirkan model-model pelayanan yang beragam
pada unit-unit yang berada di dalam organisasi subnasional (Denhardt,
2008:174).

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang
telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tugas pokok
pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk
melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan
publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu
perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping
sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi
publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu
negara kesejahteraan (welfare state). Menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) :
“Pelayanan
umum diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan
oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha
Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Undang-Undang
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa “Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Dengan
demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut
Effendi dalam Widodo (2001), mengatakan bahwa :
“Pelayanan
publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya
akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah).
ciri sebagai berikut :
1. Efektif,
lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran
2. Sederhana,
mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah,
cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yang meminta pelayanan
3. Kejelasan
dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai :
a.
Prosedur/tata cara
pelayanan
b. Persyaratan
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif
c.
Unit kerja dan atau
pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
d. Rincian
biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya
e.
Jadwal waktu
penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan,
mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta
5. Efisiensi,
mengandung arti :
a. Persyaratan
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian
sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan
dengan produk pelayanan yang berkaitan
b. Dicegah
adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat
yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketepatan
waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
7. Responsif,
lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah,
kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani
8. Adaptif,
cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi
masyarakat yang dilayani yang senantiasa
mengalami tumbuh kembang.
Secara
teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama (Rasyid, 1996) yang harus dijalankan
oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat
(public service), fungsi pembangunan (development) dan fungsi
pemberdayaan (empowerment).
Buku Delivering Quality Services
karangan Zeithaml, Valarie A. (et.al),
1990, membahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat pelanggan
terhadap pelayanan yang mereka terima,
baik berupa barang maupun jasa. Tujuan pelayanan publik pada umumnya adalah
bagaimana mempersiapkannya sesuai kebutuhan publik, dan bagaimana menyatakan
dengan tepat kepada publik mengenai pilihannya dan cara memperolehnya. Konsepsi
terkini tentang pelayanan publik dikemukakan oleh Denhardt and Denhardt (2003)
tentang New Public Service (NPS) yang mengemukakan bahwa NPS adalah sebuah
alternatif terhadap konsep administrasi publik yang lama dan konsep New Public
Management (NPM). Menurut pandangan mereka ada dua tema pokok yang mendasar NPS
yaitu untuk meningkatkan martabat dan manfaat dari pelayanan publik, serta
untuk menegaskan kembali nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan
publik sebagai nilai-nilai unggul dari administrasi publik. Menurut Denhardt
and Denhardt (2004:181), ada 7 (tujuh) prinsip-prinsip kunci dari NPS, yaitu :
1. Serve citizens, not customers
2. Seek the people interest
3. Value citizenship and public service above
entrepeneurship
4. Think strategically, act democratically
5. Recognize that accountability is not
simple
6. Serve rather than steer and
7. Value people, not just productivity.
Menurut
Moenir (2001:28) antara masyarakat, pelayanan umum dan hak asasi merupakan tiga
hal yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Oleh karena itu pemerintah
memiliki peran yang amat besar dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan mereka. Namun
secara faktual kecenderungan yang terjadi adalah rendahnya kualitas pelayanan
yang diberikan birokrasi di Indonesia. Kecenderungan ini terjadi di semua
organisasi atau birokrasi pemerintahan, baik di tingkat Pemerintahan Pusat
maupun di tataran pemerintahan daerah (Rasyid, 1996:125). Ada beberapa alasan
mengapa perhatian terhadap arti pentingnya manajemen pelayanan umum masih
relatif terbatas (Wasistiono, 2001:49), antara lain :
a. Instansi pemerintah pada umumnya
menyelenggarakan kegiatan yang bersifat monopoli sehingga tidak terdapat iklim
kompetisi di dalamnya. Padahal tanpa kompetisi tidak akan tercipta efisiensi
dan peningkatan kualitas.
b. Dalam menjalankan kegiatannya, aparatur
pemerintah lebih mengandalkan kewenangan daripada kekuatan pasar ataupun
kebutuhan konsumen.
c. Belum atau tidak diadakan akuntabilitas terhadap
kegiatan suatu instansi pemerintah, baik akuntabilitas vertikal ke bawah, ke
samping maupun ke atas. Hal ini disebabkan karena belum adanya tolak ukur
kinerja setiap instansi pemerintah yang dibakukan secara nasional berdasarkan
standar yang dapat diterima secara umum.
d. Dalam aktivitasnya, aparat pemerintah
seringkali terjebak pada pandangan “etic”, yakni mengutamakan pandangan
dan keinginan mereka sendiri (birokrasi), daripada pandangan “emic”,
yakni pandangan dari mereka yang menerima jasa layanan pemerintah.
e. Kesadaran anggota masyarakat akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara maupun sebagai konsumen masih relatif rendah,
sehingga mereka cenderung menerima begitu saja layanan yang diberikan oleh
instansi pemerintah. Terlebih lagi, apabila layanan yang diberikan bersifat
cuma-cuma.
f. Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
demokratis dan cenderung represif seperti yang selama ini dipraktekkan, selalu
berupaya menekan adanya kontrol sosial dari masyarakat.
Osborne
dan Gaebler (1996:68) memberikan
pendapat bahwa “Cara program pelayanan sosial yang efektif berjalan akrab,
agresif, menggunakan perasaan”. Dari
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku petugas
pelayanan harus dapat menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi
masyarakat, dengan demikian akan memperlancar kegiatan pelayanan.
Masalah yang terjadi dalam proses
pelayanan antara pemerintah dengan masyarakat menunjukkan bahwa keberadaan
birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi
ingin dilayani masyarakat (Rasyid, 1996:126). Adanya berbagai keluhan dari
masyarakat sebagai pelanggan atas layanan dari proses pelayanan publik yang
dilakukan oleh pemerintah, secara faktual merupakan gambaran dari rendahnya
kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Padahal perilaku aparat
birokrasi ini, sangat menentukan proses pelayanan yang diberikan.
Salah satu tujuan kebijakan otonomi
daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta
antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Ndraha (1997:73), pemerintahan adalah semua badan yang memproduksi,
mendistribusi, atau menjual alat pemenuh kebutuhan rakyat yang berbentuk jasa
publik dan layanan civil. Dalam kaitan ini, kegiatan pelayanan publik dalam
prosesnya menunjukkan hubungan dan interaksi antara pemberi pelayanan (pemerintah)
dan penerima pelayanan (rakyat/masyarakat). Oleh karena itu hubungan tersebut
simetris dengan hubungan antara produser/penjual/distributor dengan
konsumen/ pembeli/distributee.
Terdapat
beberapa pandangan tentang publik dalam pelayanan. Publik dalam pelayanan
dibedakan menjadi publik sebagai “citizens”(Stewart, 1988:59) dan publik
sebagai
“customers”
(Skeicher, 1992:11). Publik sebagai citizens adalah masyarakat
yang dapat berperan aktif dalam pelayanan. Peran masyarakat di sini
adalah sebagai pemilik kedaulatan (stakeholder). Itulah sebabnya mereka
dapat memainkan peran (1) memenuhi kewajiban sebagai warga negara seperti
membayar pajak, (2) menikmati pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, dan (3)
berperan aktif melaksanakan kontrol sosial terhadap pemerintah. Oleh karena
itu, masyarakat dapat ikut serta memberikan penilaian pelayanan yang dilakukan
pemerintah. Sementara itu, Skeicher membedakan publik dan pelanggan.
Publik
diidentifikasi sebagai kelompok umum yang memiliki keterbatasan kekuasaan, sehingga
asumsi pelayanannya bersifat paternalistik. Publik sebagai pelanggan
diidentifikasikan sebagai individu yang spesifik, mempunyai kekuasaan yang luas
dalam menetapkan kualitas pelayanan sehingga asumsi dalam pelayanan
berorientasi pada kualitas (Skeicher, 1992:1).
Bertolak
pada konsep putting people first (pembeli adalah raja, pelanggan adalah
maharaja), maka dalam hubungan tersebut tolok ukur atau standar pelayanan
terletak pada kepuasan pelanggan. Baik buruknya pelayanan berbanding lurus
dengan kepuasan pelanggan yang menurut Kotler (dalam Tjiptono, 1996:102) bahwa
“kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan
kinerja yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya”. Jadi kepuasan
pelanggan dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi
pelanggan. Dengan demikian kualitas pelayanan ditentukan sejauh mana persepsi
masayarakat sebagai pelanggan atau konsumen terhadap pelayanan yang
diterimanya. Dengan kata lain, kualitas selalu berfokus pada pada pelanggan atau
masyarakat.
Untuk dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas, maka organisasi publik atau pemerintah
harus mengetahui dan memahami segala tuntutan, keinginan, harapan atau tingkat
kepuasan pelanggan. Secara praktis kualitas pelayanan akan terlaksana dengan
baik dan memuaskan apabila didukung oleh faktor-faktor antara lain kesadaran
para pejabat, pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi
dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup, kemampuan
dan keterampilan yang sesuai, dan tersedianya sarana dan prasarana pelayanan
(Moenir, 2001:124).
Untuk
mengembangkan konsep pelayanan yang berkualitas atau “Service Quality”
menurut Zethaml, et.al. (1990), harus dihilangkan empat kesenjangan yang sering
terjadi antara pemberi pelayanan dengan pelanggannya. Kesenjangan yang perlu
dieliminir tersebut antara lain :
1.
Tidak mengetahui apa yang diinginkan pelanggan
2.
Kesalahan menentukan standar kualitas pelayanan
3.
Kesenjangan kinerja pelayanan
4.
Terjadi kesenjangan antara janji yang diberikan dengan
pelayanan yang diterima.
Selanjutnya Zeithaml, Parasuraman dan Berry juga
mengemukakan lima dimensi dalam menilai kualitas jasa atau pelayanan (Tjiptono,
1997:14), yaitu :
1.
Tangibles, tercermin pada fasilitas
fisik, peralatan, personil dan sarana komunikasi.
2.
Realibility, kemampuan memenuhi pelayanan
yang dijanjikan secara terpercaya, tepat.
3.
Responsiveness, kemauan untuk membantu
pelanggan dan menyediakan pelayanan yang tepat.
4.
Assurance, pengetahuan dari para pegawai
dan kemampuan mereka untuk menerima kepercayaan dan kerahasiaan.
5.
Emphaty, perhatian individual diberikan oleh perusahaan kepada
para pelanggan.
Sejalan dengan pandangan tersebut di atas, lebih lanjut
menurut Fitzsimmons dan Fitzsimmons (1994:190) terdapat lima determinan
kualitas pelayanan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.
Keterandalan (realibility) kemampuan untuk
memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada
konsumen/pelanggan.
2.
Keresponsifan (responsiveness) kesadaran atau
keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat.
3.
Pengetahuan atau wawasan (assurance) pengetahuan
dan kesopanasantunan, kepercayaan diri dari pemberi pelayanan serta respek
terhadap konsumen
4.
Empati (emphaty) kemauan pemberi layanan untuk
melakukakn pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui
keinginan dan kebutuhan konsumen.
5.
Berwujud (tangible) penampilan para pegawai dan fasilitas fisik
lainnya, seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.
Fitzsimmons
dan Fitzsimmons (1994:196) lebih lanjut menambahkan bahwa perspektif yang dapat
diukur dari kualitas pelayanan antara lain adalah muatan (content), proses (process), struktur (structure),
hasil atau keluaran (outcome) dan dampak pelayanan (impact).
Adapun Ndraha (2003) berpendapat bahwa : “Dimensi-dimensi penilaian terhadap
kualitas pelayanan di sektor privat atau bisnis, tidak dapat digunakan begitu
saja di sektor publik, lebih-lebih lagi di sektor sipil. Dalam kondisi “no
choice” sektor publik, tolok ukur penilaian kualitas bukan kepuasan, tetapi
pengertian (understanding, verstehen), penerimaan (legitimasi),
dan kepercayaan (yang bersumber pada pengetahuan bahwa pertanggungjawaban
pemerintah atas pelayanan jelas dan faktual: saya tahu, maka saya percaya)
konsumer.” Pengertian, penerimaan, dan kepercayaan itu dapat ditumbuhkan di
kalangan konsumer jika siklus pelayanan kepada masyarakat terbuka dan informasi
berakses penuh. Jadi Ndraha kiranya yang menilai tinggi tingkat keterbukaan
proses pelayanan, berpendapat kualitas pelayanan itu lebih ditentukan oleh
tingkat transparansi dan acessability di mata publik.
Ndraha
nampaknya melihat hubungan yang kuat antara ada tidaknya pilihan dengan tingkat
kepuasan. Semakin banyak pilihan, semakin memenuhi harapan barang yang dipilih,
semakin tinggi kepuasan, sebaliknya semakin sedikit pilihan, semakin kurang
memenuhi harapan, semakin sedikit pilihan semakin kurang memenuhi harapan,
semakin rendah tingkat kepuasan. Semakin bebas memilih, semakin nyata kepuasan,
semakin tiada pilihan, semakin merasa dipaksa atau terpaksa, kepuasan bagi
seseorang semakin abstrak. Proses memilih itu sendiri bergantung
kemampuan (tingkat keberdayaan) pemilih.
Penetapan
sebuah layanan yang berkualitas, terdapat 3 (tiga) landasan pemikiran seperti
dikatakan
Schedler & Felix (2000:125) bahwa:
“Legitimation
may be considered to have three layers: basic legitimation is a product of
social contract and refers to the state analist structures in general terms;
institutional legitimation relates to public management as an institution, arid
to its outward manifestations; and individual legitimation is the product of
specific contact between management and customers”.
Pemikiran di
atas dijelaskan perbedaan ketiga dalam penetapan kualitas pelayanan yang
dielaborasi dalam tiga sudut pandang. Pertama, pengaruh kebijakan
pemerintah yang melaksanakan mandat dan masyarakat untuk melayani (amanah). Kedua,
kualitas yang ditetapkan dan kacamata pemerintah. Ketiga, penilaian
terhadap birokrasi yang melakukan pelayanan dan kacamata masyarakat sebagai
konsumen.
Sementara
itu Skeicher (1992:10) membagi pelanggan dalam pelayanan publik menjadi dua
bagian, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Perhatian pelayanan sering
terfokus pada pelanggan eksternal, yaitu masyarakat sebagai stake holder. Dalam
membangun kualitas sebuah layanan tidak hanya dilakukan oleh pelanggan
eksternal saja, tetapi juga ikut ditentukan oleh pelanggan internal. Dikatakan
oleh Skeicher (1992:12) bahwa “increasingly local authorities are organized
in terms of internal clients or purchasers and contractors or providers”. Hal
ini sejalan dengan pendapat Rosen (1993:43) pelaku pelayanan adalah
pemerintahan daerah, maka pelaku perbaikan pelayanan urnum berasal dan para stake
holder, yakni pihak-pihak yang memiliki kepentingan (vested interest) dan
peran penting. Para pelakunya dapat digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu:
eksternal organisasi dan internal organisasi pemerintah daerah. Pelaku
pelayanan ekternal pada umumnya para pembayar pajak, pemilih, pejabat negara,
media masa, dan federasi tenaga kerja. Pelaku pelayanan internal terdiri atas top
manager, middle manager dan para pekerja teknis. Kevitt (1998:9) memasukkan
organisasi profesi di dalamnya agar peduli pada standar- standar pelayanan
publik.

Dalam negara
kesatuan yang terdesentralisasi, disamping pernerintah pusat terdapat
pemerintahan subnasional yakni pemerintah daerah yang keduanya mempunyai tugas
utama melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh
Roth (1987:1)
bahwa “... that
are generally considered the responsibility of government whether central,
regional or local”.
Tugas yang
diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan, dapat
dipisahkan ke dalam beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut
menyangkut pilihan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut
Leach, et.al.(1994:238), terdapat 4 (empat) model alternatif
kewenangan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic
authority, residual enabling authority, market oriented authority, dan community
oriented enabler.
Pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional bureaucratic
authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya
kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi
pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang
menyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Sementara
itu pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual
enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan dasar kewenangan
terbatas. Pada umumnya pelayanan yang dilakukan lebih banyak menggunakan
mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik.
Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.
Pemerintah
daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market oriented authority, merupakan
kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang hampir sama dengan residual
enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran
pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan serta agen
koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat
dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran
pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat community oriented
enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan
berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh
pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas.
Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi
komunitas (publik) dan akuntabilitas.
Keempat
alternatif di atas memberikan peluang bagi setiap pemerintah daerah untuk
memilih cara pemberian pelayanan pada masyarakatnya. Pemilihan kewenangan itu
berpengaruh pada penyediaan barang dan jasa yang menjadi tanggung jawab baik
pemerintah maupun pemerintah daerah. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan
pemerintah sesuai penjelasan Olson dalam Schmidtz (1991:1) merupakan “. . a
state is first of all an organization that provides public goods for its
members the citizens” Dengan demikian pemerintah merupakan organisasi yang
bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan.
Teori di
atas memberikan gambaran tentang berbagai alternatif pemberian pelayanan. Namun
implementasi pelayanan yang dilakukan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan
alternatif-alternatif di atas. Pelayanan di Indonesia menggunakan pendekatan
sentralisasi dan desentralisasi. Kedua pendekatan merupakan kontinum dan tidak
dikhotomi (Hoessein, 2001:9). Pendekatan sentralisasi dalam pelayanan dapat
mencerrninkan adanya negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi Negara
Kesatuan. Sedangkan pendekatan desentralisasi dapat merepresentasikan
kemajemukan masyarakat serta sekaligus menggambarkan adanya pendemokrasian.
Pelayanan
yang dilakukan dengan pendekatan desentralisasi, dijelaskan oleh Hoessein
(2000:12) bertujuan untuk efisiensi dan demokrasi. Tujuan efisiensi biasanya
berpasangan dengan nilai-nilai komunitas politik yang disebut dengan kesatuan
bangsa. Sementara itu, tujuan demokrasi berpasangan dengan kemandirian sebagai
penjelmaan dan otonomi, efisiensi, dan pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata
lain, dalam desentralisasi terkandung makna mengakomondasikan nilai-nilai yang
ada pada masyarakat untuk tujuan politik dan birokrasi dalam rangka menciptakan
efisiensi birokrasi.
Diterapkannya
kebijakan impelementasi otonomi daerah, telah mengubah model pemerintahan di
Indonesia yang semula menganut model efisiensi struktural menjadi model
demokratik (Hoessein, 2000:13). Manan (2001:107) mengatakan bahwa dengan
undang-undang ini, masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk berinovasi,
mengembangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai, serta menghasilkan
bentuk pemerintah otonom (Manan, 2001:107). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan
publik dapat dipenuhi sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat.
Sementara itu Sudarsono dalam Martani (2000)
memaknai otonomi daerah di atas sebagai “inovasi dan kreativitas yang lebih
besar dipusatkan di daerah otonom dan juga terkandung makna pemberdayaan
potensi masyarakat”. Pemberdayaan ini apabila berjalan dengan baik akan
memperkuat mutu penyelenggaraan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Alasan lain
yang memperkuat pelayanan publik akan lebih efektif apabila dilakukan oleh
pemerintah daerah karena ia dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan
pelayanan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut
Stewart (1988:3) menjelaskan bahwa:
“Management
in Local Government has to be understood as part of the public domain, but also
with its own special purposes and conditions. The purposes and condition
reflect the nature authorities as political institution constituted for local
choice in government and as organization for the delivery of public services”.
Lebih lanjut
ditegaskannya pula bahwa “A local authority should provide service for the
public not to the public. In that simple statement lies a challenge to past and
present working”. Pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat
menjadi komitmen dan concern pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah untuk mengakomodasi kebutuhan yang bervariasi dari satu lokalitas ke
lokalitas yang lain.
Pada umumnya
pelayanan dalam bentuk public good, terdapat proposisi lebih atau sama
efisiennya jika disediakan oleh pemerintah daerah daripada disediakan oleh
pemerintah Pusat. Lebih-lebih lagi bila pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan di wilayahnya, spesifik serta uniform. Seperti ditegaskan oleh
Oates (dalam Watt, 1996:15) bahwa:
“..it
will always be more efficient (or at least as efficient) for local government
to provide the locally preferred levels of output for their respective
jurisdictions than for central government to provide any specified and uniform
level of output across all jurisdiction”.
Dengan
demikian penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan di Indonesia, pada
setiap wilayah akan berbeda-beda. Pelayanan publik yang sangat beragam untuk
mengakomodasikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, menyebabkan adanya
standar pelayanan secara nasional tidak dapat berlaku sepenuhnya. Alasan inilah
yang menyebabkan adanya ketidak efisienan terhadap pelayanan publik.
Solusi untuk
memberikan pelayanan secara efektif dan efisien, ditawarkan oleh Tiebout dengan
menerapkan mekanisme pasar untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pemerintah
daerah. Secara lengkap Watt (1996:15) mengatakan bahwa “... a form of market
could operate for local government which would allow individuals to obtain a
close match between what their local government provided and what they wanted”.
Penerapan
model mekanisme pasar memungkinkan individu mendapatkan kecocokan antara
pelayanan yang disediakan pemerintah daerah dengan kebutuhan yang mereka
inginkan. Hal ini berkaitan erat dengan upaya meningkatkan kemandirian sebagai
bagian dari tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Berkaitan dengan daerah otonom,
Leach, et.al. (1994:4) mengingatkan:
Local
authorities are not only providers of services; they are also political
institution for local choice and local voice. The key issue for management of
local government is how one achieves an organization that not merely out one
role but carries out both roles, not separately but in interaction.
Dengan
demikian pemerintah daerah sampai dengan kecamatan dan kelurahan/Desa memiliki
tugas utama yaitu pelayanan dan juga sebagai institusi politik sebagai saluran
adanya local choice and local voice. Local choice dan local voice dalam
pelayanan publik dimaknai oleh Hoessein (2001:31) sebagai “... otonomi daerah
terkandung otonomi masyarakat setempat. Artinya, masyarakat yang berada dalam
teritori tertentu memiliki kemampuan, kekhususan prakarsa dan kemandirian
membangun dirinya sendiri.”
Pendapat di
atas memperkuat tekanan bahwa pelayanan publik sebaiknya berorientasi untuk
masyarakat dan bukan kepada masyarakat. Oleh kerana itu, orientasi dalam
pelayanan publik adalah pada kemampuan dan kemandirian sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat setempat. Di samping itu, pemerintah daerah sampai
dengan Kecamatan dan Kelurahan/desa juga mempunyai fungsi melayani dan mengatur
seluruh kepentingan masyarakat. Vickers (dalam Stewart, 1988:4) menyebut
sebagai “multi valued choice”. Artinya, dimana pemerintah daerah
dipandang sebagai organisasi yang menampung nilai-nilai masyarakat lokal yang
dapat menyalurkan suara dan menentukan pilihan secara bebas.
Dalam
konteks ini, Stewart (1988:4) mengatakan pemerintah daerah menjadi “multipurpose
organization. Hal ini memberikan gambaran bahwa pekerjaan yang menjadi
beban pemerintah daerah secara kuantitas jumlahnya cukup banyak dan beragam.
Keragaman dan kuantitas beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah
daerah, dalam praktiknya, pemerintah daerah membentuk dinas-dinas daerah
sebagai unit operasional. Pembentukan dinas-dinas tersebut dilakukan dengan
menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama disebut oleh Daft (1994:194)
sebagai “self-contained product groups” atau oleh Hatch (1997:184)
disebut sebagai “multi divisional structure”. Pendekatan kedua oleh Daft
dan Hatch disebut sebagai “functional structure”. Kedua pendekatan mi
digunakan untuk membedakan berbagai bentuk dinas yang ada pada pemerintah
daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing. Karakteristik tersebut dapat
dicermati dan setiap dinas dalam melakukan pelayanan.
Pada
praktiknya di Indonesia, kegiatan dinas dapat dikelompokkan menurut fungsi yang
hendak dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti di Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Tim Peneliti di Lembaga Administrasi
Negara (2001), memisahkan fungsi organisasi yang dipraktikkan pada pemerintah
daerah menjadi tiga kelompok yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah, yaitu:
a.
dinas yang berfungsi dan menjalankan tugasnya hanya
memberi pelayanan saja. Dinas ini memberi pelayanan kepada masyarakat, baik
yang dilakukan melalui unit pelaksana teknis maupun yang langsung oleh dinas
bersangkutan,
b.
dinas yang berfungsi ganda melaksanakan kegiatan
pelayanan secara langsung kepada masyarakat dan mengumpulkan dana sebagai
sumber PADS, dan
c.
dinas yang hanya berfungsi untuk mengumpulkan PADS.
Hal ini
memberikan gambaran yang jelas terhadap fungsi-fungsi dinas dalam menjalankan
tugasnya. Melalui fungsi-fungsi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan
akuntabilitas dalam pemberian pelayanan.
Tugas-tugas
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk kecamatan
kelurahan/desa secara langsung dimaksudkan untuk memperdekat pelayanan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya. Dalam kontek otonomi
daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia, pelayanan dengan model di atas
dapat memperkuat semangat otonomi. Dengan demikian pemerintah daerah
mendapatkan otoritas lebih besar untuk meningkatkan kinerjanya. Dan sisi
Pemerintah berharap agar daerah makin akuntabel, ekonomis, dan efisien, dan di
sisi lain pemerintah daerah juga perlu mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan
masyarakat lokal.
Pelajaran
yang diberikan oleh Amerika Serikat dalam pelayanan publik di tahun 1980-an
adalah dengan meningkatkan peran sektor publik, yaitu adanya pergeseran
filosofi dan gaya manajemen. Pergeseran itu ditandai oleh lunturnya dikotomi
publik dan sektor swasta. Sebelumnya, filosofi, gaya, dan prosedur manajemen
sektor swasta sering dicurigai oleh pemerintah daerah. Namun, pada tahun
1980-an pemerintah daerah mulai merujuk sektor swasta sebagai model manajemen.
Langkah drastis yang dilakukan oleh Margareth Tatcher di Inggris dengan
mengimpor manajer senior dan sektor swasta untuk melakukan reformasi organisasi
dan manajemen sektor publik, merupakan salah satu contoh perubahan radikal dalam
sektor publik. Dasar pemikiran ini digunakan untuk melakukan reformasi sektor
publik. Hal itu merupakan upaya menuju close to the costumer.
Perubahan di
atas dalam tataran akademis dikemukakan oleh Pallach & Prohl (dalam Nashold
dan Daley, 1999:27), bahwa organisasi pemerintah daerah modern melakukan
perubahan orientasi pelayanan publik dengan memberikan beberapa kriteria yang
perlu diperhatikan. Terdapat tujuh kriteria pembentuk profil analitis-normatif
dan sistem yang berorientasi kinerja untuk pemerintah daerah, yaitu:
(1)
Performance under democratic control; (2) citizens and customerorientation (3)
cooperation between politicians and administration; (4) decentralized
management; (5) controlling and reporting, planning, coordination, and
controlling systems allow continuous improvement and adaptation of services to
local needs; (6) employee potential; and (7) capacity for innovation and
evaluation secured by competition.
Performance
under democratic control, diartikan pemerintah daerah merupakan alat bagi
masyarakat untuk menyelenggarakan dan menyelesaikan masalah-masalah lokal.
Pemerintah daerah tidak hanya menyediakan pelayanan, tetapi juga harus
mengetahui kualitas dan tingkat keefektifan penyelenggaraan pelayanan. Di
samping itu juga harus akuntabel terhadap publik.
Citizens
and customer orientation diartikan pemerintah daerah dapat melihat dirinya sebagai
suatu perusahaan. Untuk itu, pelayanan yang dilakukan harus bersahabat,
penduduk-pelanggan sebaiknya cukup mempunyai informasi tentang pilihan mereka,
umpan balik dan masyarakat sebagai pelanggan digunakan untuk mengetahui
keefektifan pelayanan. Di samping itu, sebaiknya masyarakat ikut berpartisipasi
dalam perencanaan dan penyediaan pelayanan.
Cooperation
between politicians and administration diartikan
politisi merupakan perwakilan yang terpilih. Ia berhak menentukan target dan
mengawasi kinerja administrasi yang menyediakan pelayanan, baik yang berupa
nasihat sebagai ahli maupun informasi untuk pengoparasian pemerintah yang
terpilih. Decentralized management diartikan hubungan antara
administrasi dan politisi atau pelimpahan wewenang yang dilakukan dan
organisasi pelaksana di atas ke organisasi pelaksana di bawahnya. Hal ini
diikuti dengan delegasi tanggung jawab dengan pengawasan terhadap pencapaian
hasil (outcome).
Controlling
and reporting, planning, coordination, and controlling systems allow continuous
improvement and adaptation of services to local needs. Hal
ini merupakan satu set pekerjaan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi.
Setelah kegiatan tersebut adalah sistem pelaporan yang berorientasi pada
produk, kemudian menginformasikan kepada instansi di atasnya antara lain
departemen fungsional, unit pengawas di tingkat Pusat, dan lembaga politik. Employee
potential diartikan karyawan merupakan sumber daya yang paling berharga,
sensitif dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja setiap organisasi.
Oleh karena itu karyawan didorong untuk berpikir bahwa capacity for
innovation and evaluation secured by competition. Ketujuh kriteria di atas
merupakan kebutuhan bagi setiap pemerintahan daerah dalam mengadakan perubahan
guna menjawab tuntutan perubahan yang ada.
Dalam praktek penyelenggaraan pelayanan menurut
Wasistiono (2009) terdapat 4 (empat) macam model pelayanan, yaitu : (1) Spread
system, (2) One Roof System
(ORS), (3) One Stop System (OSS) dan (4) OSS dengan Cabang Online.
Model pertama menekankan pentingnya daerah otonom
sebagai pelayanan masyarakat, dan masyarakat
secara langsung melalui dinas-dinas secara terpencar, sedangkan model kedua
menekankan pelayanan itu melalui unit samsat mengumpulkan berkas, tapi
penyelesaian perijinan tetap di dinas masing-masing. Model ketiga, ijin
diberikan oleh kepala unit dan dinas memberikan konsultasi teknis. Sedangkan model keempat, merupakan
modofikasi dari model ketiga dan memanfaatkan kecamatan sebagai cabang online,
memanfaatkan teknologi e-government. Keempat pendekatan ini bukan
merupakan dikhotomi tetapi senantiasa bergerak secara kontinum di antara satu
pendekatan ke pendekatan lainnya. Titik berat tujuan dsentralisasi sangat
tergantung pada kesepakatan dalam menentukan arah tujuan yang akan dicapai yang
dibangun bukan saja oleh unsur utama pemerintahan tetapi juga melibatkan
masyarakat lokal. Penekanan terhadap arah tujuan desentralisasi akan
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan serta institusi yang akan
melaksanakan fungsi pelayanan tersebut.
Adanya tarik menarik antara keempat pendekatan tersebut
dalam penyelenggaraan pelayanan publik pemerintah tidak dapat dilepaskan dan
paradigma administrasi publik yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Pendekatan pelayanan efisiensi misalnya, dipengaruhi oleh paradigma
administrasi publik tradisional dan The New Public Management (NPM).
Sedangkan pendekatan demokrasi lokal banyak diwarnai oleh paradigma Good
Governance (GG) dan The New Public Service Management (NPSM).
Pemerintah memiliki kewenangan yang luas dalam pengaturan
dan penyelenggaraan pelayanan. Kewenangan pemerintah dalam penyediaan secara
mandiri disebut sebagai díscretionary services. Artinya pemerintah
mempunyai diskresi yang luas untuk mengatur dan melaksanakan pelayanan publik
(Prasojo, dkk, 2002:19). Mengacu kepada luasnya kewenangan tersebut, maka
kualitas jenis pelayanan yang diberikan pemerintah sangat tergantung pada
komitmen dan kemampuan keuangan pemerintah. Sehubungan dengan tersebut
keberadaan kecamatan sebagai perangkat daerah dapat dijadikan instrumen untuk
melaksanakan kewenangan penyelenggaraan pelayanan yang efektif, efisien, responsif
dan akuntabel.

Untuk
memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan
latihan berikut ini.
1. Jelaskan
apa yang dimaksud paradigma baru
pelayanan publik!
2. Jelaskan
kualitas
pelayanan publik!
3. Apa
yang dimaksud dengan model pelayanan
publik? Jelaskan!
4. Bagaimana
hubungan otonomi daerah dengan pelayanan publik ? Jelaskan!
5. Sebutkan tujuan
pelayanan public !

Baca kembali materi kegiatan
belajar XI yang menyangkut
tentang perkembangan
sektor pelayanan publik . Untuk menjawab semua
soal di atas, baca dengan seksama hingga paham, dan agar praja lebih yakin
dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Tugas yang
diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan,
dapat dipisahkan ke dalam
beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut menyangkut pilihan
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Leach,
et.al.(1994:238),
terdapat 4 (empat) model alternatif kewenangan yang digunakan dalam
memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic authority, residual
enabling authority, market oriented authority, dan community oriented
enabler.
Pelayanan
yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional bureaucratic
authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya
kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi
pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang
menyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Sementara itu
pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual
enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan dasar kewenangan
terbatas. Pada umumnya pelayanan yang dilakukan lebih banyak menggunakan
mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik.
Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.
Pemerintah
daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market oriented authority, merupakan
kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang hampir sama dengan residual
enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran
pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan serta agen
koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat
dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran
pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat community oriented
enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan
berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh
pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas.
Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi
komunitas (publik) dan
Pada
praktiknya di Indonesia, kegiatan dinas dapat dikelompokkan menurut fungsi yang
hendak dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti di Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Tim Peneliti di Lembaga Administrasi
Negara (2001), memisahkan fungsi organisasi yang dipraktikkan pada pemerintah
daerah menjadi tiga kelompok yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah, yaitu:
a.
dinas yang berfungsi dan menjalankan tugasnya hanya
memberi pelayanan saja. Dinas ini memberi pelayanan kepada masyarakat, baik
yang dilakukan melalui unit pelaksana teknis maupun yang langsung oleh dinas
bersangkutan,
b.
dinas yang berfungsi ganda melaksanakan kegiatan
pelayanan secara langsung kepada masyarakat dan mengumpulkan dana sebagai
sumber PADS, dan
c.
dinas yang hanya berfungsi untuk mengumpulkan PADS.
Tugas-tugas
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk kecamatan
kelurahan/desa secara langsung dimaksudkan untuk memperdekat pelayanan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya. Dalam kontek otonomi
daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia, pelayanan dengan model di atas
dapat memperkuat semangat otonomi. Dengan demikian pemerintah daerah
mendapatkan otoritas lebih besar untuk meningkatkan kinerjanya. Dan sisi
Pemerintah berharap agar daerah makin akuntabel, ekonomis, dan efisien, dan di
sisi lain pemerintah daerah juga perlu mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan
masyarakat lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Barzelay, 1982, Breaking Through Bureaucracy,
University of California, Berkeley.
Danuredjo,S.L.S., struktur administrasi dan sistem
pemerintahan di indonesia, lembaga administrsi negara, jakarta, 1961.
Drucker, Peter F., 2001, The
Organization of the Future, Elex Media, Jakarta;
Fitzsimmons, James A., and Fitzsimmons, Mona A.,
1994, Service Management for Competitive Advantage, Mc Graw Hill,
London.
Frederickson, H. G., 1997, The Spirit of Public
Administration San Franccisco: Jossey-Bass Publishers.
Huntington, Samuel P., 1991, Gelombang Demokrasi
Ketiga, Terjemahan oleh : Asril Marjohan, Penerbit PT Pustaka Grafiti,
Jakarta;
Huseini, Martani, 2000, Otonomi Daerah, Integrasi
Bangsa, dan Daya saing Nasional: Saka Sakti Suatu Model Alternatif Pemberdayaan
Bangsa, Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana STIA-LAN Bandung, 2000.
Indrajit, Richardus Eko., 2002, E-Government –
Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis
Teknologi Digital, Andi Yogyakarta;
Joiner, Brian L., 1994, Fourth Generation
Management – The New Business Conciousness, Mc Graw-Hill Inc., Singapore;
Kementrian
penerangan RI , Kitab Perhimpunan Perundang – Undangan Negara Republik Indonesia jilit I, II
,III
Koentjayaningrat, 1974 ,Pengantar antropologi,
penerbit aksara baru, Jakarta.
Koesoemahatmadja,
Djenal , 1978,Perkembangan Fungsi dan Struktur Pamong Praja dari Segi Sejarah, alumni
Bandung.
Napitupulu, Paimin, 2007, Pelayanan Publik a Customer Satisfacition,
Alumni Bandung.
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar
Otonomi Daerah Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
UII.
Mc.Lean, Lain, 1987, Public Choice an
Introduction, New York.
Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan Umum di
Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Napitupulu, Paimin, 2007, Pelayanan Publik a Customer Satisfacition, Alumni Bandung.
Nashold, Friede dan Daley, Glenn, 1999, Learning
From The Pioneers: Modernizing Local Government. Part One, International
Public Management Journal 2 (1).
Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat
Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Rineka Cipta.
Ndraha, Taliziduhu, 2009, GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan,
Sirao Credentia Center, Tangerang.
Nasrul SH masalah sekitar otonomi j beijveldgronigen jakarta.
Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan
Birokrasi - Mentransformasi Semangat Birokrasi ke dalam Sektor Publik (seri
Umum No.17), Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta;
Prasojo, Eko, dkk, 2006, Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Jakarta,
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Rasyid,
Ryass, 1996, Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan,
Yarsif Watampone, Jakarta.
Rosen, et al, 1993, Improving Public
Sector Productivity, Concept and Practice London: Sage Publication.
Roth, Gabriel, 1987, The Private Provision of
Public Services in Developing Countries, EDI Series in Economic
Development, Published for the World Bank, Oxford University Press.
Salomo,
Roy Valiant. 2006. Scenario Planning Reformasi Administrasi Pemerintah
Subnasional di Indonesia: Sebuah
Grand Strategy Menuju Tahun 2025 Disertasi.
Syafri, Wirman, dan Israwan Setyoko,2008, Implementasi
Kebijakan Publik dan Etika Profesi Pamong Praja, Alqaprint, Jatinangor.
Syafrudin, Ateng, 1963, Pamong Praja Sebagai
Golongan Karya Pemerintahan Umum, Singa Marga, Bandung.
Soleh, chobib, dan Bambang Trisantono, 2000, Pamong
Praja Dalam Perspektif Sejarah, Citra Utama, Depok
Savage, Charles M., 1990, Fifth Generation
Management – Integrating Enterprises Through Human Networking, Digital
Equipment Corporation, USA;
Schmidtz, David, 1991, The Limits of Government,
An Essay the Public Goods Argument. New York: West View Press.
Skelcher, Chris, 1992, Managing for Service
Quality London: Longman.
Stewart, John, 1988, Managing Local Government,
Understanding The Management of Local Government, Longman.
Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Manajemen
Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor.
Watt, Peter A., 1996, Local Government, Principle
and Practice, A text for Risk Managers, Publisher is association with The
institute of Risk Management by Witherby.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari
Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Zeithaml, Valerie A., et.al, 1990, Delivering
Quality Services – Balancing Customer Perceptions and Expctations, The Free
Press, New York.
terima kasih banyak atas artiklenya,, keren banget :)
BalasHapus