Sabtu, 05 Oktober 2013

MAKALAH KYBERNOLOGI


POKOK BAHASAN I
ILMU PENGETAHUAN PEMERINTAHAN
(KYBERNOLOGI)
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN 
Pemerintahan adalah suatu sistem dari gerak semua fungsi yang ada di satu masyarakat negara yang mempunyai wilayah tertentu yang digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan meliputi bidang-bidang kejasmanian dan kerohanian.  Aristoteles (384-322 SM) dalam bukunya Politica menyatakan negara adalah suatu masyarakat paguyuban yang paling tinggi di atas masyarakat-masyarakat paguyuban lainnya yang bertujuan mencapai kebaikan yang paling tinggi dan mulia di atas tujuan-tujuan masyarakat paguyuban (gemeinschaft) di dalamnya.
Pemerintah tidak akan mempunyai peran manakala tanpa adanya pemerintahan karena pemerintah menunjukkan lembaga yang tidak dinamis sedangkan pemerintahan merupakan kegiatan / proses aktivitas pemerintah. Pemerintahan mempunyai arti untuk menggerakkan sesuatu, pemerintah sebagai kata benda, sesuatu kekuasaan untuk memerintah suatu negara, sedangkan pemerintahan adalah suatu kegiatan proses atau suatu produk bagaimana menjalankan perbuatan pemerintahan dari suatu negara.
 Menurut W.S. Sayre (1970: 7)
“Government is best defined as the organized agency of the state empressing and execing its authority”
Artinya pemerintahan sebagai lembaga negara yang terorganisir yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.
Jadi ilmu pemerintahan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memimpin hidup bersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang secara sah.
Rounded Rectangle: 1. KUALITAS PEMERINTAHAN 
 Taliziduhu Ndraha, Kybernolog, dalam makalahnya yang berjudul Kerangka Strategik Standarisasi Kompetensi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menyampaikan kualitas pemerintahan dari pendekatan Kybernologi. Menurut pendekatan Kybernologi, setiap masyarakat adalah sebuah satuan  kultur. Ia digerakkan oleh tiga subkultur, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial (SKS). SKS berkualitas tiga, konstituen, terjanji, dan pelanggan. Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance). Di mana ada masyarakat, di situ terdapat pemerintahan. Pemerintah hanya salah satu di antara tiga pemeran atau pelaku pemerintahan (Gambar 6). Pelaku lainnya adalah pelaku ekonomi dan masyarakat pelanggan. Fenomena masyarakat dan pemerintahan merupakan objek materia bagi semua cabang ilmupengetahuan sosial, termasuk Kybernologi, sementara sisi manusia pada fenomena itu merupakan objek forma Kybernologi, yang membedakannya dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya (Lihat Bab I Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010). Pemerintahan didefinisikan sebagai proses interaksi antar tiga subkultur masyarakat untuk mencapai kemajuan hidup berkelanjutan (Gambar 1). Proses interaksi itu terdiri dari enam rute yang bergerak terus-menerus. Tanpa salah satu rute itu, pemerintahan tidak terjadi. Keseluruhan rute itu menunjukkan kualitas pemerintahan dengan enam rute sebagai dimensi-dimensinya. Perlu dikemukakan bahwa urut-urutan rute itu tergantung, bisa dimulai dari mana saja. Bisa dari pembentukan nilai oleh SKE, dan bisa juga dari pembentukan SKK oleh SKS. Jika dimulai dari pembentukan SKK oleh SKS, maka urutan dimensi-dimensi kualitas pemerintahan adalah:
  1. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu
  2. Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumber­sumber
  3. Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan
  4. Redistribusi nilai kepada SKS oleh SKK (penepatan janji) 5. Monev kinerja SKK oleh SKS
  5. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (dari sini kembali ke rute 1)
Pemerintahan (governance) berlangsung untuk membuahkan kinerja pemerintahan, yang dapat disingkat dan disederhanakan yaitu kehidupan masyarakat berkelanjutan. Kinerja pemerintahan disebut berkualitas good, jika kehidupan masyarakat berkelanjutan itu menunjukkan kemajuan yang konsisten, dan sebaliknya bad, jika menunjukkan gerak melambat (melemah) ketimbang masyarakat yang lain, maju-mundur atau timbul-tenggelam. Governance yang kinerjanya berkualitas good, disebut good governance.
Rounded Rectangle: 2. PEMERINTAHAN DAERAH
Menurut pendekatan tradisional politik, pemerintah atau eksekutif adalah satu di antara lembaga-lembaga pemangku kekuasaan Negara. Pendekatannya menggunakan pendekatan kelembagaan politik. Pemerintahan adalah semua yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sejajar dengan ini, pemerintahan daerah didefinisikan sebagai apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Tetapi UU 32/04 berbicara lain. Pasal 1 butir 2 dan 3 UU 32/04, menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Walau demikian, yang disebut pemerintah daerah hanyalah Kepala Daerah dan jajarannya. Ketentuan itu berarti, pemerintahan daerah lebih luas ketimbang apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu kepala daerah beserta
perangkatnya, satu di antara dua penyelenggara pemerintahan daerah (yang satu lagi DPRD). Seperti telah dikemukakan di atas, Kybernologi memandang pemerintahan sebagai fenomena sosial. Di mana ada masyarakat, di situ terdapat pemerintahan (governance). Pemerintahan adalah interaksi antar tiga subkultur (subkultur ekonomi, SKE, subkultur kekuasaan, SKK, dan subkultur sosial, SKS, yang juga disebut subkultur kepelangganan, SKP) yang menggerakkan masyarakat itu untuk hidup maju berkelanjutan. Kekuatan itu disebut subkultur karena setiap masyarakat merupakan sebuah kultur. Jika kinerja interaksi itu berkualitas good, maka governance itu disebut good governance. Jika sebaliknya, disebut bad governance. Jadi definisi good governance di sini jauh berbeda dengan definisi yang selama ini dikenal. Dengan demikian, pemerintahan daerah adalah local governance. Sementara itu, menurut
 

Pasal 1 butir 6 LTLJ yang sama, daerah adalah masyarakat juga. Melalui pendekatan Kybernologi pemerintahan didefinisikan terlebih dahulu. Karena pemerintah daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah, maka definisi pemerintah daerah terikat pada definisi pemerintahan daerah itu. Standardisasinya pun demikian juga.
Sudah merupakan hukum alam, pada gilirannya pemerintahan daerah adalah komponen atau subsistem sebuah sistem yang lebih besar, sementara pemerintahan daerah itu sendiri terdiri dari berbagai subsistem. Pada sistem terbuka, perubahan pada suatu subsistem berpengaruh terhadap subsistem lainnya, sehingga oleh gerak subkultur terjadilah dinamika masyarakat dari kondisi heterostasis ke kondisi homeostasis, dari homeo- kembali ke hetero- , demikian terus-menerus. Dinamika masyarakat itu bisa diperkuat atau diperlemah, dipercepat atau diperlambat, arahnya juga bisa diubah dan dikendalikan, bahkan kaitan antar subkultur bisa ditiadakan setidak-tidaknya dihambat, oleh intervensi kepentingan politik kekuasaan. Tanda­tandanya: kontrol sosial dan opini publik dalam masa damai, ditanggapi sebagai penghinaan, pencemaran, penyerangan terhadap simbol-simbol Negara, sehingga dianggap sampah. Sistem berubah menjadi sistem tertutup. Pemerintahan beruba.h menjadi defensif. Negara terisolasi dari lingkungannya. Rezim pemerintah mencampakkan pelanggannya sendiri karena dianggapnya melawan. Tinggal menunggu waktu menjadi paranoid government (William A Cohen & Nurit Cohen, The Paranoid Corporation and 8 Other Ways Your Company Can Be Crazy, AMA, NY) 1993). Manakala ini terjadi, Negara kehilangan enerji dari lingkungan. Pemerintah lantas memakan lemaknya sendiri. Gampang. Pemerintahn berubah menjadi monster, kanibal. Pemerintah setambun apapun, pada saatnya ia menjadi kurus dan akhirnya kalau tidak gila, mati.
Pemerintahan daerah bergerak pada tiga dimensi, yaitu dimensi substansi (pemenuhan kebutuhan pelanggan), dimensi lokasi, dan dimensi waktu (proses: ada yang boleh serentak dan ada yang harus berurutan dan bagaimana urut-urutannya, cepat dan lambat). Dilihat dari sisi itu, tiada satupun kegiatan pemerintahan daerah

yang terlepas satu dengan yang lain. Mengingat pemerintahan daerah merupakan subsistem pemerintahan nasional, dan semua terjadi pada lokasi yang sarna, berhubungan antar substansi itu ada yang dependen, interdependen, tetapi tidak ada yang independen sama sekali. Dalam hubungan itu keberhasilan kegiatan yang satu bisa mendukung clan juga bisa merusak keberhasilan kegiatannya lainnya, langsung maupun tidak. Kemungkinan kedua inilah yang sering terlihat. Oleh sebab itu, walaupun tiap daerah bersifat otonom, ketika daerah yang satu melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan yang diperkirakan berdampak antar daerah, ia harus berkoordinasi dengan daerah lainnya. Hubungan tiga dimensional dependensi dan interdependensi antar kegiatan tersebut perlu dibuat. Peta-buta makronya dapat digambarkan seperti Gambar 4. Hubungan tridimensional satu kegiatan substantive (mikro) diperlihatkan melalui Gambar 5. Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan hubungan tridimensional itu dalam bentuk rantai (sistem) terbuka (lingkungan dalam Gambar 5 menunjukkan hubungan internal dan eksternal). Hukum rantai berbunyi: "Kekuatan rantai sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah." Gambar 2, Gambar 4 dan Gambar 5 di atas itulah peta dasar standardisasi kompetensi pemerintahan daerah.
Rounded Rectangle: 3. PEMERINTAHAN DAERAH BERBASIS KOMPETENSI
Gembar 1 menunjukkan bahwa pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun daerah, merupakan sebuah sistem yang terdiri dari enam kualitas atau karakteristik yang menjadi komponen-komponennya, sekaligus sasaran objektif kompetensi penyelenggaraannya, yaitu:
  1. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu/pemilukada (control SKS terhadap SKK di hulu)
  2. Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumber­sumber dengan seadil-adilnya
  3. Pembentukan nilai oleh SKE, di dalamnya termasuk pembangunan
  4. Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (penepatan janji, kontrol SKS terhadap SKK di tengah, jika tidak menepati jainji, SKK dinilai wanprestatie) 5. Monev kinerja SKK oleh SKS
  5. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini hasilnya kembali ke rute 1)
Oleh karena penyelenggara pemerintahan daerah itu terdiri dari Pemerintah Daerah dan DPRD, maka kedua lembaga itu wajib memiliki kompetensi untuk menjalankan 6 komponen sistem tersebut di atas.
Kata kunci di sini adalah kompetensi. Competence (competency) selalu terkait dengan skill, skill terkait dengan suatu job, job dengan kinerja, kinerja dengan pelanggan, dan pelanggan dengan negara. Arti competence sederhana: the quality of being competent. Competent berarti having suitable or sufficient skill, knowledge, experience, etc; properly qualified." Skill atau keterampilan adalah istilah umum yang berisi kualitas yang bervariasi mulai dari tingkat rendah sampai pada tingkat tinggi (keahlian, kepakaran), dengan menggunakan anggota badan, alat sederhana, sampai pada alat yang paling rumit, bahkan penuh misteri.
Dalam tulisan lain, misalnya Bab II dan Bab III Kybernologi Sebuah Panggilan Masadepan (2010) disimpulkan bahwa mengingat posisi dan peran Kemendagri yang istimewa dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, penyelenggara pemerintahan dalam negeri memerlukan kompetensi tingkat tinggi yang kuat berisi keahlian umum (generalist) professional "serbacuaca." Sudah barang tentu kompetensi tersebut merupan buah penanaman sistem nilai kepamongprajaan yang dilakukan oleh penyelenggara sistem pendidikan tinggi kepamongprajaan berbentuk institut yang dianggap pas, dan tidak berbentuk sekolah yang di masa lalu terbukti kesempitan bagi sebuah missi besar yang hendak menjangkau masa depan yang panjang dalam kancah perubahan global yang serba cepat.
Kompetensi atau keterampilan adalah cara paling efektif dan efisien menghasilkan suatu nilai. Keterampilan adalah sebuah proses. Proses (untuk) apa? Proses untuk mencapai 6 sasaran objektif penyelenggaraan pemerintahan di atas. Dilihat dari perspektif Kybernologi, pada hakikatnya pemerintahan daerah adalah proses perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Perlindungan dan pemenuhan itu semacam proses produksi, dan nilai atau sistem nilai adalah produknya. Pasal 13 dan 14 LTU 32/04 seharusnya menyatakan produk-produk yang merupa.kan kebutuhan dasar masyarakat dan hak-hak asasi manusia secara definitif dan enumeratif, sebagaimana halnya sebuah bank atau perusahaan menawarkan produk-produknya secara definitif dan enumeratif kepada masyarakat (pelanggan). Proses produksi nilai-nilai itu (Gambar 5) merupakan sebuah rantai terbuka bersifat siklik (cyclic), terdiri dari terminal (1 sd 8) dan rute (a sd g). Terminal 5 mengandung nilai ideal. Dilihat dari satu sisi, implementor (rute c) yang langsung menghasilkan output, sedangkan dari sisi lanjutan, nilai yang diharapkan (3) bergantung pada pelanggan (5). Perbandingan antara 3 dengan 7, apakah 7>3, 7<3 atau 7=3 menunjukkan tingkat nilai nyata kebijakan tentang substansi terkait. Oleh sebab itu, pembelajaran tentang kompetensi tidak hanya sefihak (sisi pemerintah) tetapi duabela.h fihak (termasuk fihak yang diperintah). Manalah bisa terjadi tepukan dengan sebelali tangan!
Dengan memperhatikan hukum rantai di atas, segala kualitas yang dimiliki oleh implementor dan pelanggan sehingga nilai ideal kebijakan terbentuk menjadi nilai nyata (Gambar 5, terminal 8) yang efektif dan efisien, disebut kompetensi (Gambar 6). Perilaku kompetensi terlihat pada beberapa penampilan. Penampilan itu diperlihatkan pertama kali dalam Gambar 5 dalam Bab II Kybernologi Sebuah Panggilan Masadepan (2010), kemudian dikembangkan dalam Gambar 5 dalam Bab II Hak Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Lihat juga Bab IX Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010).
Bab III Kybernologi Sebuah Panggilan Masadepan menjelaskan 10 kompetensi kepamongprajaan seperti terangkum dalam Gambar 6:
  1. Pamongpraja adalah pengamong pemerintahan. Kompetensi ini menuntut pamongpraja untuk memihak fihak pelanggan negara
  2. Pamongpraja adalah professional pemerintahan. Kompetensi ini mengharuskan pamongpraja untuk menguasai asas-asas profesionalisme, dan menggunakan Kode Etik Kepamongprajaan sebagai pola perilakunya sehari­hari
  3. Pamongpraja adalah kader pemerintahan civil. Ketentuan itu diperlukan untuk menjaga kemurnian sikap pamongpraja terhadap kekuasaan. yaitu pamongpraja bersikap civil dalam "segala cuaca"
  4. Pamongpraja adalah korps. Pamongpraja adalah sebuah "body," badan yang utuh jiwa-raga, diikat oleh semangat korps, kesiapan untuk menjunjung tinggi keluhuran profesi kepamongprajaan, kesediaan untuk mengontrol dan
  5. mengoreksi diri sendiri, dan tidak melindungi sesama yang melanggar hukum dan mencemari kode etik kepamongprajaan
  6. Pamongpraja adalah garisdepan pemerintahan. Kompetensi ini menuntut pamongpraja untuk hadir di mana-mana, di belakang, di tengah, dan di depan, dan memiliki tanggungjawab di masa lalu, masakini dan
  7. masadepan. Di mana pamongpraja hadir, di situlah garisdepan pemerintahan! 6. Pamongpraja adalah dinas dan jabatan karier, Makna kompetensi ini ialah, kepamongprajaan tidak terbatas pada masajabatan (lifelong career), dinas 24 jam sehari, dan pengabdiannya kepada masyarakat utuh seumur hidup
  8. Pamongpraja adalah pemangku pemerintahan umum. Pemerintahann umum adalah pemangku fungsi generalis (generalist function) yang mengikat dan menjadi semacam "superstruktur" bagi pemangku fungsi specialist pemerintahan. Selaku generalis, profesi kepamongprajaan menuntut tidak hanya keahlian khusus, tetapi terlebih keahlian umum
  9. Pamongpraja adalah lembaga dekonsentrasi. Lembaga dekonsentrasi adalah simbol pemerintahan pusat sebagai wujud bentuk Negara kesatuan. Lembaga ni harus semakin kuat dengan semakin otonomnya daerah-daerah, guna mengarahkan kemaj uan daerah otonom pada kesebangsaan Indonesia (tunggal ika) melalui proses konvergensi
  10. Pamongpraja adalah matarantai permanen antar siklus politik. Kompetensi ini sangat penting sebagai pengawal Negara, guna menjaga agar pada suatu saat tidak terjadi kekosongan kekuasaan, akibat kondisi luarbiasa tertentu. Hal ini terkait erat dengan penegakan kode etik kepamongprajaan yang telah dikemukakan dalam Bab II bagian 8 Kybernologi, HAM dan Kepamongprajaan (2010)
  11. Pamongpraja adalah kekuatan pengikat pusat dengan daerah
Sebagai kekuatan pengikat pusat dengan daerah, pamongpraja
  1. Berjiwa kenegarawanan (statesmanship), bukan kewirausahaan (salesmanship)
  2. Berdiri di atas semua kepentingan, bahkan tidak berkepentingan sendiri. c. Menjadi pamongpraja adalah pilihan bebas, keputusan nurani terdalam, dan disadari sedini mungkin sejak awal, sehingga kondisi profesi kepamongprajaan yang menuntut kesederhanaan dan pengorbanan tidak dijadikan alasan pelanggaran hukum dan pengabaian tugas apapun jua
  3. Berfungsi linkage antara proses divergen dengan proses konvergen berada di tangan pamongpraja
Setiap kompetensi di atas memiliki dimensi-dimensi kompetensi. Dilihat dari sisi lain, dimensi-dimensi itu dapat juga disebut sebagai syarat bagi kompetensi yang efektif (dimensi-dimensi efektivitas kompetensi). Dimensi-dimensi itu sebagai berikut:
  1. Dasar hukum (legalitas kompetensi) dari instansi yang berwewenang. Sudah barang tentu, dasar hukum didahului dengan kebijakan tertentu yang memberikan berbagai bahan pertimbangan dan keputusannya
  2. Isi kompetensi, yaitu kemampuan-kemampuan potensial (keterampilan, keahlian, dsb, yang diperlukan yang membentuk 10 kompetensi adi atas) yang dibutuhkan dan diperoleh me lalui diktat, yang disebut juga kompetensi akademik
  3. Kompetensi sosial (akseptabilitas diri pelaku di tengah masyarakat pelanggan), yaitu kemampuan untuk mengenal pelanggan sedalam-dalamnya melalui empati setulus-tulusnya
  4. Kompetensi etikal-moral, yaitu pribadi pelaku yang utuh, terpercaya dan bertanggungj awab
  5. Kompetensi jasmani-dan-rohani (kesehatan, emosi stabil, dsb). Pamongpraja harus benar-benar menjaga kesehatan fisik dan jiwanya, bergaya hidup sederhana, menjauhi konsumsi terlarang seperti rokok, miras dan sebangsanya
  6. Penggunaan (aktualisasi) kompetensi secara operasional-pro fessional (disebut juga kompetensi professional). Profesionalisme itu berawal pada ilmu pengetahuan dan berakhir pada kompetensi teknikal, kompetensi artistik, dan kompetensi kreatif yang nyata, sehingga menghasilkan nilai yang diharapkan. Hal ini memerlukan manajemen kompetensi seperti Gambar 7. 7. Manajemen kompetensi
Manajemen kompetensi (Gambar 7) meliputi 12 terminal (1 sd 12) dan 12 rute (a sd 1). Cara bekerja terminal itu berturut-turut sebagai berikut:
1. Kybernologi menjelaskan enam kualitas pemerintahan, yaitu:
1)      Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu, mis. pemilu/pemilukada (control SKS terhadap SKK di hulu)
2)      Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan, untuk mengendalikan sumber-sumber dengan seadil-adilnya
3)      Pembentukan nilai oleh SKE, di dalamnya termasuk pembangunan
4)      Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (penepatan janji, kontrol SKS terhadap SKK di tengah, jika tidak, SKK dinilai wanprestatie)
5)      Monev kinerja SKK oleh SKS
6)      Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini hasilnya kembali ke rute 1)
2. Melalui rute penimbangan, terungkap nilai tiap kualitas
3. Penanaman nilai di dalam diri calon pamongpraja dilakukan melalui Sistem Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (SPTK)
4. Output SPTK adalah pamongpraja
5. Melalui pemberian dasar hukum, pamongpraja beroleh kompetensi untuk menyelenggarakan governance (dengan enam kualitas di atas)
6. Penyelenggaraan tersebut (interaksi antar tiga subkultur masyarakat) diharapkan menghasilkan kinerja yang kualitasnya good (good governance, GG)
7. Interaksi antar tiga subkultur masyarakat berlangsung melalui fungsi organisasi pemerintahan (Gambar 6)
8. Dalam melakukan tugas dan memenuhi tanggungjawabnya, pamongpraja memegang teguh Kode Etik Profesional Kepamongprajaan (Bab II Kybernologi: HAM dan Kepamongprajaan, 2010)
9. Dari interaksi tiga subkultur keluar kinerja pemerintahan 10. Kinerja itu sebagaimana dirasakan oleh pelanggan
11. Dari monev pelanggan, keluarlah sikap: percaya atau tidak percaya kepada Negara, berpengharapan atau berputusasa
12. Melalui feedback, pernyataan sikap itu menjadi masukan balik bagi negara
Jika dimensi-dimensi itu dipandang sebagai unsur-unsur yang saling terkait, keseluruhan dimensi itu selanjutnya dapat disebut sistem kompetensi. Dimensi­dimensi itulah yang harus dipenuhi oleh insan penyelenggara agar dapat meman kompetensi (berkompeten) tertentu, sekaligus sebagai komponen yang menjadi sasaran penilaian tenaga yang bersangkutan dari waktu ke waktu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja governance telah diuraikan dalam Bab I Kybernologi: HAM dan Kepamongprajaan (2010). Di sana dikemukakan bahwa governance (interaksi antar tiga subkultur masyarakat) dengan enam dimensi dipengaruhi oleh lima faktor kritik governance, yang menimbulkan variabilitas kinerja pemerintahan, seperti Gambar 8. Kelima faktor itu adalah:
  1. Keselarasan yaitu tingkat ketepatan waktu dan arah tiga subkultur pada tujuan bersama jangka panjang, sehingga keberhasilan yang satu tidak merusak tetapi sebaliknya mendukung keberhasilan yang lainnya
  2. Keseimbangan yaitu tingkat bargaining power dan keluasan pengambilan kesempatan berperan yang relatif sama antar tiga subkultur pada suatu saat, mengingat hukum rantai yang menyatakan bahwa kekuatan sebuah rantai sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah
  3. Keserasian yaitu tingkat empati (empathicability, ethicality) sikap dan harmoni kinerja tiga subkultur yang berbeda-beda, pada suatu saat
  4. Dinamika yaitu tingkat kecepatan dan ketepatan perubahan (adaptabilitas) hubungan antar subkultur dari kondisi heterostasis ke homostasis dan sebaliknya.
  5. Keberlanjutan (kelestarian, kesinambungan, keterusberlangsungan), yaitu tingkat kelancaran proses jangka panjang interaksi antar tiga subkultur sesuai dengan norma (standar) yang (telah) disepakati bersama sejak awal, oleh rezim lima tahunan yang berbeda-beda, sebagaimana terlihat pada tiga subkultur satu dibanding dengan yang lain, dan kondisi interaksi antar tiga subkultur tersebut menurut rute sebagaimana ditunjukkan oleh angka 1 sd 6 pada Gambar l. Keberlanjutan yang dimaksud tidak harus oleh rezim yang sama, sebab justru perubahan lingkungan yang cepat bahkan mendadak menuntut perubahan rezim!
Di negeri yang sudah maju, kompetensi itu sudah mendarahdaging pada setiap tenaga kerja, sudah menjadi budaya, tetapi di Indonesia yang budaya kerjanya masih lemah dan pada umumnya terkebelakang, kata kompetensi, sama dengan kata visi, telah menjadi mantra sakti, mewah, mahal, namun di samping tidak utuh dan tidak bulat, juga terkesan hanya formalitas belaka. Tidak utuh artinya bidang kompetensi yang satu dengan yang lain tidak seimbang, tidak bulat artinya setengah-setengah, tidak sistemik. Disalahgunakan, bahkan jadi komoditi politik! Lagi pula bukan hanya itu. "Being competent" (seumpama panen) memang penting, tetapi "becoming competent" jauh lebih penting lagi (seumpama mulai dari menanam).
Rounded Rectangle: 4. STANDARISASI KOMPETENSI
Standar ada dua macam: tolak-ukur (mulai dari nol, objektif) dan tolak-ukur (perbandingan, relatif). Standar berfungsi sebagai tolak- dan tolok-ukur, dayatarik dan dayadorong, harapan (das Sollen) untuk dikejar, sepakatan antar stakeholders, khususnya antara provider dengan pelanggan, norma hukum (formal) atau ikatan,

pegangan bagi para aktor pemerintahan dalam providing layanan (kewajiban, wewenang dan tanggungjawab) dan pegangan bagi pelanggan dalam menuntut hak­hak serta memperjuangkannya bila perlu. Standar sebagai norma berproses menurut model Gambar 9. Manajemen pelayanan mengenal fungsi, proses pengubahan atau transformasi, rute, matarantai atau networking, dan siklus (Gambar 5).
Semuanya harus distandardisasi (standardisasi total), namun implementasinya harus bertahap sesuai dengan tingkat keberdayaan masyarakat, baik pada level makro maupun mikro. Untuk itulah diperlukan kesepakatan antara pelanggan dengan provider. Jadi implementasi standar berjalan dari kesepakatan ke kesepakatan. Artinya standardisasi kompotensi harus didukung (didahului) dengan pemberdayaan masyarakat pelanggan produk yang untuk memroduksinya kompetensi itu diperlukan. Dasar Manajemen Kompetensi adalah kebijakan pemerintahan yang telah ditetapkan pada level nasional, yang memenuhi pengertian standar dan standardisasi di atas. Standardisasi bermula pada konstitusi, dan difahami menurut perspektif Kybernologi. Perspektif Kybernologi memahami konstitusi berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan tidak semata-mata menurut penafsiran rezim politik yang sedang berkuasa. Artinya, jika UUD menetapkan bahwa "Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," maka kecuali ketentuan itu diubah oleh pembuat UUD, tiada suatu kebijakan pemerintahanpun yang bisa berakibat seseorang kehilangan pekerjaannya.
Hal itu lebih lanjut berarti pemerintah wajib terus-menerus menjalankan program ekonomi berefekganda terbukanya lapangan kerja, meningkatnya kemampuan warga untuk memasuki lapangan kerja dan menempuh transformasi lapangan kerja. Kesediaan lapangan kerja, keterbukaan kesempatan kerja, dan keberdayaan warga menempuh transformasi lapangan kerja adalah tiga produk standar konstitusional di bidang lapangan kerja. Demikian juga halnya dengan produk-produk lain yang ditetapkan dalam UUD. Kompetensi tidak terlepas dari produk yang produksinya memerlukan kompetensi yang bersangkutan. Jadi kompetensi yang distandardisasi adalah kompetensi yang mutlak diperlukan untuk memproduksi dan menyampaikan produk itu di tangan pelanggan. Standardisasi kompetensi bermula dari standardisasi produk yang memerlukannya (kompetensi itu).
Jika ditelusuri melalui rute Gambar 7, standardisasi kompetensi yang terletak di terminal 5 diawali dengan standardisasi kinerja ideal pemerintahan (produk yang diharapkan oleh pelanggan) yang terletak pada terminal 6. Standardisasi itu berdasarkan anggapan dasar bahwa walaupun produk yang diharapkan dirancang berdasarkan pesanan atau tuntutan pelanggan, mengingat posisi Negara sebagai provider, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan, produk yang diharapkan oleh pelanggan adalah produk yang ditawarkan oleh Negara. Konsekuensinya ialah, pada saat suatu produk ditawarkan oleh Negara kepada pelanggannya, terbentuk hubungan janji-dengan-percaya antara keduabelah fihak. Janji itu harus ditepati. Hukumnya ialah Sekali Lancung Ke Ujian Seumur Orang Tak Percaya. Namun Kybernologi mengonstruksi sebuah hipotesis yang berbunyi, pelanggan bisa tetap percaya kepada Negara walaupun pelanggan kecewa akan produk yang diterimanya, manakala Negara bertanggungjawab dan pertanggungjawabannya dapat disetujui pelanggan, dan pelanggan tetap berpengharapan kendatipun ia tak berdaya, manakala Negara konsisten berubah dan memihak pelanggan.
Contoh standardisasi produk konstutusional sebagai berikut (Tabel 1). Standardisasi kompetensi pemerintahan daerah berdasarkan UU 32/04 seharusnya dimulai dari Pasal 13 dan 14. Jika perumusaannya menggunakan pendekatan kompetensi, pasal-pasal itu tidak dirumuskan secara administratif dalam bentuk tugas-pokok-dan-fungsi (TUPOKSI) seperti yang dilakukan selama lni, melainkan dalam bentuk produk-dan-kompetensi (PROKOM). Sebab walau task accomplished, belum tentu pelanggan menerima layanan yang dibutuhkannya. Kementerian Lingkungan Hidup dan fungsi administrasi lingkungan sejauh ini dianggap lancar­lancar saja, walaupun kerusakan lingkungan, bencana longsor dan banjir bandang tetap saja membunuh ribuan jiwa. Yang diasalahkan adalah curah hujan!
Jadi langkah-langkan standardisasi kompetensi pemerintahan (daerah) sebagai berikut:
Pertama, diidentifikasi siapa membutuhkan produk apa. Didefinisikan secara enumeratif kebutuhan apa yang merupakan hak (rights) individu dan yang dirasakan (felt needs) oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat. Hak atau kebutuhan definitif itu disebut produk atau output yang diharapkan (dijanjikan). Definisi itu meliputi dimensi-dimensi produk seperti kualitas, kuantitas, dsb), dan nilai-nilai yang terkandung di dalam atau menjadi konsekuensi dari produk, baik positif maupun negatif untuk diantisipasi dan dikondisikan (outcome). Dimensi-dimensi itu merupakan unsur-unsur perjaniian atau perikatan antara Negara dengan pelanggannya.
Kedua, diidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan untuk memroduksi atau membentuk produk yang bersangkutan. Dalam hubungan itu diorganisasikan semua sumberdaya input, yaitu semua sumber-sumber yang diperlukan guna mewujudkan produk yang dijanjikan kepada individu atau kelompok sasaran. Misalnya sumberdaya waktu diorganisasikan menjadi jadual atau kalender, sumberdaya uang diorganisasikan menjadi anggaran, sumberdaya ruang diorganisasikan menjadi gedung, dan seterusnya.
Ketiga, disepakati dan ditetapkan bagaimana menjalankan kompetensi itu sehingga produk yang dihasilkan efektif tiba di tangan setiap pelanggan (manajemen kompetensi) ditetapkan secara tepat unsur-unsur struktur organisasi yang berfungsi sebagai alat penghasil produk yang bersangkutan, yaitu lini (kepala dan pelaksana operasional), staf, dan stakeholders dengan peran masing-masing. Dalam hubungan itu, tenaga operasional (dari tangan siapa produk terbentuk dan keluar) yang terpenting (aktor bagi pelayanan publik dan artis bagi pelayanan civil).
Keempat, ditentukan dengan saksama, langkah dan prosedur penggerakan struktur dalam rangka memenuhi tuntutan (hak atau kebutuhan) individu atau kelompok sasaran. Dalam hubungan ini tugas aktor pelayanan publik relatif mudah ketimbang artis pelayanan civil. Dalam pelayanan publik, pelanggan menyesuaikan diri dengan ketentuan prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh provider (organisasi pengelola pelayanan yang diwakili oleh aktor), sedangkan dalam pelayanan civil sebaliknya, provider wajib menyesuaikan diri dengan kondisi pelanggan yang berada dalam kondisi tertentu, misalnya situasi darurat, bahaya mendadak, atau bencana tak terduga, sehingga pelayanan terhadap korban sepenuhnya tergantung pada sang aktor.
Kelima, disepakati dan ditetapkan hak dan kewajiban, wewenang dan tanggungjawab tiap fihak, Negara dengan pelanggannya, sepanjang manajemen kompetensi. Dalam hubungan itu, reward dan punishment wajib diperhatikan.
 Keenam, ditetapkan bagaimana mengontrol langkah dan prosedur tersebut beserta mekanisme feedback yang diperlukan guna menegakkan aturan, mengendalikan perilaku aktor (rules of conduct), mengoreksi, memperbaiki dan mengembangkan pelayanan, dilihat dari sudut pelanggan.
Bekerja pada kebijakan dan organisasi yang sudah terpasang atau given, standardisasi dapat juga selanjutnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Pelajarilah hak individu manusia dan kebutuhan kelompok sasaran yang alat pemenuh dan pelindungnya ditetapkan dan ditawarkan melalui konstitusi, konvensi, dan aturan yang berlaku.
  2. Pelajari apakah semua upaya permenuh dan perlindung hak dan kebutuhan itu telah terbagi habis di dalam unit kerja (departemen, direktorat, dinas, UPT, dsb) yang ada.
  3. Produk-produk (dengan semua dimensi produk seperti kualitas, kuantitas, waktu, dsb) apakah yang (dapat) ditawarkan atau dijanjikan oleh setiap unit kerja. Sebagai contoh, Bank Mandiri menawarkan 13 macam produk: giro, tabungan, deposito, ATM, tele, kredit perorangan, kredit usaha kecil, penarikan tunai, setoran tunai, transfer, transaksi valas, layanan cek perjalanan, dan buku cek dan giro. Setiap unit kerja Daerah juga bisa menawarkan produk sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan Daerah.
  4. Tetapkan prosedur dan mekanisme yang harus ditempuh oleh pelanggan guna memperoleh produk yang bersangkutan pada saat diperlukan, dan prosedur serta mekanisme yang wajib diperhatikan oleh seorang aktor dalam melakukan tugasnya. Dalam hubungan itu penting diperhatikan bahwa mengingat pelayanan civil adalah kewajiban Negara, maka negaralah yang wajib mendistribusikan produk itu sampai ke tangan pelanggannya. Dalam hal pelayanan publik, prosedur distribusi tersebut disepakati bersama.
  5. Ditetapkan prosedur dan mekanisme kontrol terhadap langkah dan prosedur tersebut beserta mekanisme feedback yang diperlukan guna menegakkan aturan.
  6. mengendalikan perilaku aktor dan artis (rules of conduct), mengoreksi, memperbaiki dan mengembangkan pelayanan, dilihat dari sudut setiap stakeholder.
Rounded Rectangle:  5 KERANGKA STRATEGIK STANDARDISASI KOMPETENSI PEMERINTAHAN
Standardisasi kompetensi pemerintahan daerah merupakan modifikasi Gambar 1 berdasarkan Gambar 2 di atas. Kerangka strategik standardisasi kompetensi pemerintahan daerah terlihat pada termilan 5 dan terminal 6 Gambar 7. Isi terminal 5 adalah 10 kompetensi (A sd K, huruf I tidak digunakan), dan isi terminal 6 adalah enam komponen pemerintahan (di sana disebut enam kualitas) daerah, berisi produk yang ditawarkan oleh negara (I sd VI). Jika variable kompetensi dan variable produk diterapkan pada Gambar 2, maka pemerintahan daerah meliputi:
I. Pembentukan SKK (penyelenggara pemerintahan daerah) oleh SKS (masyarakat daerah) dengan cara tertentu, mis. pemilulpemilukada (control SKS terhadap SKK di hulu)
II. Penjanjian oleh SKK dalam bentuk kebijakan daerah tentang pengendalian, eksplorasi, eksploitasi, pelestarian, penciptaan dan distribusi sumber-sumber (SDA, SDM, dan SDB termasuk anggaran) dengan seadil-adilnya berdasarkan peraturan daerah, terkait urusan rumahtangga daerah (pasal 13 dan 14 UU 32/04). Perjanjian ini di satu fihak antara pemerintah daerah selaku implementor kebijakan daerah dengan DPRD, dan di fihak lain antara SKK (pemerintah daerah dan DPRD) dengan SKS
III. Pernbentukan nilai oleh SKE, berdasarkan kebijakan daerah, di dalamnya termasuk pembangunan
IV. Redistribusi nilai (implementasi kebijakan daerah) oleh pemerintah daerah selaku implementor kebijakan Daerah (Gambar 2), kepada SKS, berdasarkan peraturan kepala daerah, kontrol dan monev DPRD sehari-hari terhadap pemerintah daerah di tengah (concurrent control). Ini nyaris mustahil di bawah sistem politik perpartaian yang sentralistik!
V. Monev kinerja SKK oleh SKS. Menurut Teori Politik hal ini dilakukan
oleh DPRD. Tetapi seperti dikemukakan di atas (IV), hal ini nyaris mustahil. Oleh sebab itu, menurut perspektif Kybernologi, monev oleh SKS terhadap SKK di daerah lebih tepat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lihat Bab I, Bab II, Bab III, dan Bab IV Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi, 2009. Sudah barang tentu, itupun berdasarkan anggapan, DPD tidak mewakili partaipolitik melainkan mewakili masyarakat daerah
VI. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir, dari sini hasilnya kembali ke rute 1). Jika ternyata tidak menepati janji, SKK (penyelenggara pemerintahan daerah) dinilai wanprestatie
Jika yang satu direferensikan pada yang lain, terbentuklah tabulasi silang sebagai berikut.

Gambar 10 meliputi dua variable standardisasi, yaitu kompetensi (A sd K) dan produk (I sd VI). Silangan dua variable itu membentuk 60 sel atau entries. Sel 1 misalnya merupakan kombinasi antara kompetensi A (pengemongan dengan segenap kaidah-kaidahnya), dengan produk I (kebutuhan akan pemerintahan daerah yang baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan DPRD), yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) agar kebutuhan masyarakat akan pemerintahan daerah yang baik itu dengan segala dimensi-dimensinya, terwujud menjadi kenyataan melalui manajemen kompetensi. Sel 1 ini kemudian diisi dengan norma (standar) yang terkait dengan dua variable itu. Kerangka standardisasi seperti itu disebut strategik karena dipilih sebagai cara terbaik untuk mewujudkan tujuan tertentu yang secara hukum mengikat fihalc-fihak terkait di dalamnya. Jika 60 sel itu terisi semua, sebuah kerangka strategik standardisasi kompetensi total pemerintahan daerah siap diterapkan dan ditegakkan di seluruh Indonesia.
 Rounded Rectangle: PENETAPAN, PENEGAKAN, DAN PENEPATAN STANDAR KOMPETENSI PEMERINTAHAN DAERAH
Kajian akademik yang menyumbangkan masukan ke dalam proses penetapan dan penegakan standar kompetensi pemerintahan daerah, terdapat dalam Bab II Kybernologi HakAsasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Hal itu terkait dengan posisi dan peran strategik Kemendagri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam negeri. Pemahaman tentang hal ini dilakukan menurut metodologi Kybernologi. UUD mewajibkan Negara untuk mengakui dan melindungi HAM, dan memenuhi kebutuhan dasar manusia. HAM itu bukan pemberian Negara, melainkan bawaan eksistensial manusia. yang berdasarkan Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948 wajib diakui dan dilindungi oleh setiap Negara. Menurut Kybernologi, kebutuhan dasar manusia itu meliputi kebutuhan rohaniah dan kebutuhan jasmaniah (L. P. van de Spiegel, Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen, 1796, sebagaimana dikutip oleh G. A. van Poelje dalam Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953, h. 15). Pengakuan dan perlindungan HAM, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah urusan Negara, yang waj ib diproduksi oleh Negara. Dalam hubungan itu Kybernologi memosisikan manusia penduduk suatu Negara, dalam hal ini negara Indonesia, tidak sebagai warganegara, tetapi sebagai pelanggan produk-produk Negara tersebut (lihat Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010, h. 22). Per definisi, masyarakat pelanggan adalah masyarakat yang berotonomi. Produksi pengakuan dan perlindungan HAM dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah fungsi lini Negara. Pemegang fungsi lini Negara disebut Eksekutif (lihat Gambar 1). Semua urusan lini Negara, oleh Presiden yang memegang kekuasaan konsentratif menurut LJUD didekonsentrasikan ke sejumlah kementerian, termasuk Kemendagri. Melalui dekonsentrasi itu semua urusan lini Negara dikelompokkan menjadi berbagai urusan pusat, tiap kelompok urusan diselenggarakan oleh satu kementerian. Penyelenggaraan urusan oleh pusat terbentur pada berbagai faktor antara lain:        
  1. Wilayah Negara yang sangat luas
  2. Wilayah berbentuk nusantara
  3. Masyarakat multikultur dan heterokultur
  4. Kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah yang semakin tajam
  5. Ketertinggalan di semua bidang kehidupan dibanding dengan negara lain
Pilihan jatuh pada penerapan asas desentralisasi. Dengan penerapan asas tersebut, urusan suatu kementerian dapat didesentralisasikan secara enumeratif dan definitif. Konsekuensi bentuk Negara kesatuan, yang dapat didesentralisasikan hanyalah implementasi kebijakan Negara tentang urusan tert dalam bentuk kewenangan, sementara kebijakannya sendiri tetap di tangan Negara (pusat). Dalam Negara berbentuk kesatuan, residu berada di tangan pemerintah pusat.
Gambar 11 : Dalam Negara  Kesatuan,
Residu Berada Di Tangan Pemerintah Pusat.
Ibarat orang makan, residu itu adalah sisa makanan, cuci piring, dan sampah. Dan pembayaran rekening! Semua kementerian di luar Kementerian Luar Negeri, menyelenggarakan urusan (pemerintahan) dalam negeri, tetapi satu di antara disebut Kementerian Dalam Negeri. Apa arti "dalam negeri" dalam hubungan itu? Penerapan asas desentralisasi dalam bentuk kebijakan otonomi daerah, mengubah seluruh masyarakat menjadi sejumlah satuan masyarakat berotonomi daerah. Kecuali urusan yang secara kategorial diposisikan sebagai urusan Negara (pusat, konsekuensi bentuk
Negara kesatuan), dapat didesentralisasikan menjadi urusan rumahtangga daerah. Seluruh masyarakat adalah pelanggan semua kementerian penyelenggara urusan dalam negeri, yaitu :



VISI (PENGLIHATAN BATIN)      MISI                           TUJUAN (KESEPAKATAN)
Lahir dari kesadaran               Usaha mencapai tujuan           Ditetapkan berdasarkan visi
BHINNEKA ------------------------------------------------TUNGGAL IKA
masyarakat yang
proses pengelolaan
sehingga semua
masing-masing
keunikan menjadi ke-
masyarakat merasa
memiliki keunikan
kuatan matarantai
sebangsa dan ber­
sehingga yang satu
dan penguranqan ke-
sama-sama memba­
berbeda dengan
senjangan vertikal
ngun masa depan
yang lain; sepan-
dan horizontal an­

jang sejarah per-
tar masyarakat se­

bedaan itu menim-
cepatnya melalui

bulkan kesenjangan
perencanaan jangka

vertikal antar lapisan
panjang

masyarakat dan kesen­


jangan horizontal


antar daerah


Gambar 13 Model Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Misi Bangsa Indonesia
yaitu yang bukan-Kementerian Luar Negeri (Gambar 12, segitiga DEF). Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seluruh masyarakat yang berubah menjadi sejumlah satuan masyarakat berotonomi daerah yang disebut daerah itu, ditempatkan di bawah satu kementerian saja. Kementerian itu disebut Kementerian Dalam Negeri (Gambar 12, segitiga ABC). Oleh sebab itu, urusan Kemendagri dan Pemerintahan Daerah, dapat disebut urusan pemerintahan dalam negeri. Dilihat dari fungsi lininya, posisi dan peran Kemendagri sangat strategis. Gambar 13 menunjukkan visi dan misi bangsa Indonesia. Dalam sistem Administrasi Negara Indonesia, kementerian manakah yang terdepan berperan menjalankan misi guna mewujudkan visi di atas?
Kemendagri. Sejumlah departemen/kementerian "teknis" berasal dari departemen ini. Menterinya juga dikenal sebagai satu di antara triumvirate di samping Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, dan berperan sebagai pembina politik dalam negeri. Dari dahulu Kementerian Dalam Negeri mengelola sistem pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan pembantuan (medebewind). Tetapi yang terpenting adalah misinya mengelola kebhinnekaan dan mewujudkan ketunggalikaan bangsa Indonesia. Hal itu terlihat pada fungsi lini Kementerian Dalam Negeri yang dewasa ini terdiri dari tujuh direktorat jenderal (ditjen). Ketujuh direktorat jenderal ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok (Tabel 2). Bila diperhatikan dengan saksama, terlihat dengan sangat jelas bahwa dua kelompok itu merupakan fungsi lini Kementerian Dalam Negeri. Ditjen Kelompok A berfungsi sebagai unit kerja yang memproses "Tunggal Ika," sementara ditjen Kelompok B mengelola "keBhinnekaan" nusantara. Dengan perkataan lain, dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, departemen yang terdepan berperan menjalankan misi pemerintahan Indonesia yaitu mengelolaan keunikan tiap masyarakat (bhinneka) menjadi kekuatan matarantai nusantara.

Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1)      Jelaskan kualitas pemerintahan!
2)      Jelaskan bahwa pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan!
3)      Apa pentingnya penyelenggaraan pemerintahan daerah berbasis kompetensi? Jelaskan!
4)      Bagaimana hubungan Ilmu Pemerintahan dengan ilmu-ilmu lainnya? Jelaskan!
5)      Jelaskan apa yang dimaksud dengan  kompetensi perlu distandarisasi!
6)      Jelaskan apa yang dimaksud dengan standarisasi dirancang dalam kemasan kerangka strategis, dan berikan contohnya!

Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN

Baca kembali materi kegiatan belajar 1 yang menyangkut tentang  Pemerintahan dan kualitasnya, Sasaran analisis yaitu Pemerintahan Daerah, dan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis kompetensi. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Menurut pendekatan tradisional politik, pemerintah atau eksekutif adalah satu di antara lembaga-lembaga pemangku kekuasaan Negara. Pendekatannya menggunakan pendekatan kelembagaan politik. Pemerintahan adalah semua yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sejajar dengan ini, pemerintahan daerah didefinisikan sebagai apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Tetapi UU 32/04 berbicara lain. Pasal 1 butir 2 dan 3 UU 32/04, menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Walau demikian, yang disebut pemerintah daerah hanyalah Kepala Daerah dan jajarannya. Ketentuan itu berarti, pemerintahan daerah lebih luas ketimbang apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah.
  Kybernologi memandang pemerintahan sebagai fenomena sosial. Di mana ada masyarakat, di situ terdapat pemerintahan (governance). Pemerintahan adalah interaksi antar tiga subkultur (subkultur ekonomi, SKE, subkultur kekuasaan, SKK, dan subkultur sosial, SKS, yang juga disebut subkultur kepelangganan, SKP) yang menggerakkan masyarakat itu untuk hidup maju berkelanjutan. Kekuatan itu disebut subkultur karena setiap masyarakat merupakan sebuah kultur. Jika kinerja interaksi itu berkualitas good, maka governance itu disebut good governance. Jika sebaliknya, disebut bad governance. Jadi definisi good governance di sini jauh berbeda dengan definisi yang selama ini dikenal. Dengan demikian, pemerintahan daerah adalah local governance.
Kajian akademik yang menyumbangkan masukan ke dalam proses penetapan dan penegakan standar kompetensi pemerintahan daerah, terdapat dalam Bab II Kybernologi Hak Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). Hal itu terkait dengan posisi dan peran strategik Kemendagri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam negeri. Pemahaman tentang hal ini dilakukan menurut metodologi Kybernologi. UUD mewajibkan Negara untuk mengakui dan melindungi HAM, dan memenuhi kebutuhan dasar manusia. HAM itu bukan pemberian Negara, melainkan bawaan eksistensial manusia. yang berdasarkan Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948 wajib diakui dan dilindungi oleh setiap Negara. Menurut Kybernologi, kebutuhan dasar manusia itu meliputi kebutuhan rohaniah dan kebutuhan jasmaniah (L. P. van de Spiegel, Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen, 1796, sebagaimana dikutip oleh G. A. van Poelje dalam Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953, h. 15). Pengakuan dan perlindungan HAM, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah urusan Negara, yang waj ib diproduksi oleh Negara. Dalam hubungan itu Kybernologi memosisikan manusia penduduk suatu Negara, dalam hal ini negara Indonesia, tidak sebagai warganegara, tetapi sebagai pelanggan produk-produk Negara tersebut (lihat Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010, h. 22). Per definisi, masyarakat pelanggan adalah masyarakat yang berotonomi. Produksi pengakuan dan perlindungan HAM dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia itulah fungsi lini Negara. Pemegang fungsi lini Negara disebut Eksekutif (lihat Gambar 1). Semua urusan lini Negara, oleh Presiden yang memegang kekuasaan konsentratif menurut LJUD didekonsentrasikan ke sejumlah kementerian, termasuk Kemendagri. Melalui dekonsentrasi itu semua urusan lini Negara dikelompokkan menjadi berbagai urusan pusat, tiap kelompok urusan diselenggarakan oleh satu kementerian.










POKOK BAHASAN II
SISTEM NILAI KEPAMONGPRAJAAN
Menurut Ndraha ada 12 Nilai dalam sistem Kepamongprajaan yaitu :
  1. Vooruit zien/visioner (memandang sejauh mungkin ke depan)
Nilai satu Vooruitzien (lengkapnya Besturen is vooruitzien; Gouverner c’est prevoir; To govern is to foresee). Mengamong adalah memandang (envision) sejauh mungkin ke depan, tidak hanya sebatas masa jabatan masa kerja, dan masa hidup. Berdasarkan UU 25/04 dan UU 17/07, kendatipun masa jabatan seseorang hanya lima tahun, ia wajib memperhitungkan dan mengantisipasi apa yang harus, akan, dan dapat terjadi minimal 20 tahun ke depan agar terjamin kesinambungan kinerja rezim yang berbeda-beda melalui rel atau runway yang sama.
            Jerman dan Amerika dapat digunakan sebagai ilustrasi. Obsesi para kanselir sebelum Helmut Kohl adalah mempersatukan Jerman, mengembalikan Jerman pada posisi terhormat di Eropa, membebaskannya dari bayang-bayang Amerika dan meningkatkan kesejahteraan seluruh Jerman. Kohl berhasil. Ia dijuluki The Bismarck atau Bismarck II. Kendatipun demikian, pada pemilu berikutnya rezimnya tidak terpilih, sebab bangsa Jerman sadar bahwa obsesi berikutnya berbeda, zaman sudah berubah, yang dibutuhkan ke depan adalah merawat dan menjaga hasil yang telah dicapai, konon pula berkelahi memperebutkannya. Maka Schroder-pun, seorang yang tidak dikenal secara luas, menggantikannya. Ia terpilih bukan karena kegagalan Kohl, tetapi karena perannya dalam sejarah berbeda.
Kehadiran Obama dalam sejarah Amerika bertolak belakang dengan Schroder. Di samping kecerdasan, kharisma dan popularitas, ia hadir pada saat yang tepat, ambruknya Amerika Serikat di bawah Bush dan krisis ekonomi global. Tetapi sebaiknya hal ini tidak diperdagangkan menjadi eforia bahwa Indonesia berhasil membentuk Obama (karena ia pernah sekolah di Menteng dan tinggal di Indonesia selama empat tahun, bahkan lengkap dengan foto-foto segala) menjadi harapan Amerika, tetapi bahwa bangsa Amerika telah berhasil “melting,’ sedangkan bangsa Indonesia semakin “separating,” menuju “despairing,”.
Berdasarkan uraian di atas, kepemimpinan visioner jangka panjang dari kebangsaan ke kesebangsaan Indonesia melalui pengurangan kesenjangan vertical antar lapisan masyarakat dan pengurangan kesenjangan horizontal antar daerah secara konsisten dan berkelanjutan sehingga pada suatu saat setiap orang berkesempatan menikmati hasil pengorbanannya.
  1. Conducting (membangun kinerja bersama melalui perilaku actor yang berbeda-beda)
Nilai dua conducting, mengamong adalah menciptakan harmoni antar kegiatan dengan instrument yang berbeda dan dilakukan oleh actor yang berlain-lainan, oleh conductor, dengan mengoreksi sedini dan setegas mungkin tiap bunyi, nada, atau langkah sumbang senyaris apapun, guma membangun kinerja bersama semua komponen yang berbeda-beda pada senbuah unit kerja, namun yang bergerak di dalam wilayah yang sama.
  1. Coordinating (membangun kinerja masing-masing melalui kesepakatan bersama yang berbeda)
Nilai tiga, Coordinating. Mengamong adalah membangun komitmen bersama antar unit kerja yang berbeda-beda dalam suatu wilayah, agar yang satu tidak merugikan tetapi mendukung yang lain, dalam rangka mencapai kinerja masing-masing unit kerja secara optimal dalam rangka mencapai tujuan bersama secara keseluruhan. Semakin independen hubungan antara unit kerja yang satu dengan unit kerja yang lain, semakin diperlukan koordinasi. Kata kuncinya adalah berkoordinasi, sehingga koordinasi bisa berjalan tanpa koordinator. Demikian pentingnya koordinasi ini sehingga sebagaimana halnya sebuah Perguruan Tinggi memiliki Kalender Akademik, setiap wilayah seharusnya memiliki Kalender Pemerintahan yang meliputi Kalender Koordinasi itu.
  1. Peace Making (membangun kerukunan dan kebersamaan)
Nilai empat, Peace Making. Mengamong adalah membangun kedamaian, kerukunan, keamana, dan ketertiban dari akar rumput (grass root) ke atas oleh Pamong (Pamong Desa) terbawah melalui kesepakatan (beslising) konsisten terus-menerus dengan warga masyarakat, sebagaimana di zaman dahulu Kepala Desa diakui dan berperan sebagai hakim perdamaian desa. Perbedaan dan konflik, kompetisi dan perlombaan, pertaruhan dan pertarungan, sesungguhnya tidak menceraiberaikan atau menciptakan permusuhan, tetapi justru mempersatukan juka semua pihak menjujung tinggi sportivitas.
  1. Residue-caring (mengelola sampah, sisa, yang beda, yang salah, dan yang terbuang)
Nilai lima, Residuepcaring. Mengamong adalah mengurus (sesuatu yang dianggap) sampah atau sisa-sisa, kendatipun orang yang berpesta, baik urusan yang tidak/belum termasuk tupoksi unit kerja manapun, maupun urusan yang tak satu unit kerja pun bersedia mengurusnya katena tidak menguntungkan bahkan merugikannya, sesegera mungkin, katena semakin cepat dan tidak menentu perubahan, semakin banyak produksi sampah.
Mengamong adalah memberikan perhatian yang sama dan sepadan kepada semua pihak, baik yang dianggap berkesalahan, maupun yang dipandang tidak berkesalahan, baik yang merasa dirugikan, ataupun pihak yang merasa diutungkan, sebagai akibat suatu kebijakan, keputusan, atau tindakan pemerintahan. Ajaran ini adalah pengembangan Teori Sisa (Residue Theory) yang digunakan pada zaman Belanda dulu. Teori Pelayanan, Teori Pemberdayaan dan Etika Pemerintahan merupakan pelajaran dasar nilai ini.
  1. Turbulence-serving (mengelola ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan/force majeure)
Nilai enam, Turbulence-serving. Mengamong adalah mengantisipasi dan melayani dalam arti memberdayakan, melindungi, dan menyelematkan manusia dan lingkungannya, bangsa dan Negara, terhadap segala sesuatu yang sifatnya mendadak, tiba-tiba, di luar perhitungan (force majeur) baik sebagai akibat perilaku alam, dampak kebijakan public yang ternyata keliru maupun perilaku masyarakat.
Pengamongan didasarkan pada anggapan bahwa waktu sama dengan nol, terus menerus mutlak. Dalam hubungan itu, mengamong berarti juga menyelenggarakan pemerintahan dalam kondisi serba cuaca (all weather governance). Ini berkaitan dengan nilai satu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Manusia buat kelalaian dan suka lupa, sehingga perkara yang seharusnya dapat diantisipasi, terasanya mendadak atau di luar kemampuan.
  1. Fries Ermessen (keberanian bertindak untuk kemudian mempertanggungjawabkannya)
Nilai tujuh, Freies Ermessen. Mengamong adalah menunjukkan keberanian untuk melakukan turbulence serving di atas, jika perlu di luar batas aturan yang ada, atas inisiatif sendiri, berdasarkan kepuasan batin yang diambil secara bebas, untuk dipertanggungjawaban kemudian kepada semua pihak, dan siap menanggung segala resikonya (tanpa kambing hitam). Berbeda dengan diskresi yang memberikan keleluasaan bertindak bagi pejabat dalam batas aturan yang berlaku, atau sepanjang tidak dilarang secara tegas dalam aturan perundangank. Di Negara hokum yang menganut pendekatan progresif, ajaran ini tidak digunakan lagi, misalnya di Jerman.
Tetapi di Indonesia yang masih menganut pendekatan hokum positif, terlebih mengingat kesadaran hokum yang masih rendah dan budayan hokum yang lemah, ajaran Fries Ermessen masih diperlukan. Bung Karno menggunakannya pada tgl 5 Juli 1959 (noodverordeningsrecht). Apakah Pak Harto juga tahun 1965? Yang jelas mahasiswa tahun 1998 merobohkan pemerintahan yang sah. Nilai ini erat berkaitan dengan Politik Pemerintahan, Etika Pemerintahan dan Hukum Pemerintahan (khususnya Hukum Darurat/Bahaya), Teori Kedaulatan, Teori Otonomi.
  1. Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more and more about less and less)
Nilai delapan, Generalist and Specialist Function. Mengamong adalah (belajar untuk) mengetahui sedikit demi sedikit tentang banyak hal guna mengindentifikasi dan membangun kebersamaan (tunggal ika) antar masyarakat yang berbeda-beda. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang luas, tumbuh kreativitas dan  inovasi yang merupakan seni pemerintahan. Mengamong adalah (belajar untuk) mengetahui semakin banyak tentang semakin sedikit hal (to know more and more about less and less, berpengetahuan mendalam) guna mengidentifikasi perbedaan dan kekhususan (uniqueness, kebhinekaan) senyaris apapun antar masyarakat.  Dengan keahlian yang dalam, tumbuh ketelitian, kemahiran, dan presisi sebagai prasyarat untuk membangun Teknologi Pemerintahan.
  1. Responsibility (menjawab dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut etika otonom)
Nilai sembilan, Responsibility. Mengamong adalah mempertanggungjawabkan kepada pelanggan (bukan atasan) :
a.       Pelaksanaan tugas (perintah, amanat, mandate).
b.      Sumpah dan janji jabatan atau profesi (kontraktual)
c.       Self-commitment (janji kepada diri sendiri, nazar, pengakuan, dan sumpah sebagai bukti, yang agar mengikat perlu disaksikan).
d.      Tindakan yang ditempuh berdasarkan Freies Ermessen, kepada para pelanggan produk-produk Negara.
Mempertanggungjawabkan artinya menjawab (menerangkan) secara terbuka segala sesuatu yang menimbulkan pertanyaan pelanggan, dan jika jawaban tidak dipercaya, yang bersangkutan menanggung sendiri segala resikonya.


  1. Magnanimous-thinking (-mind, berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman membuat sejarah)
Nilai sepuluh, magnanimous thinking. Mengamong adalah mengonstruksi pikiran besar, pikiran yang memiliki kekuatan menerobos zaman, yang terbentuk berdasarkan kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan mengeluarkan buah pikiran. Berpikir besar identik dengan berfilsafat. Berpikir menurut hokum logika, rerambu nalar sehat. Nilai ini berkaitan dengan nilai satu di atas.
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tentang kecerdasan merupakan landasan konstitusional nilai ini. Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah pikiran besar, tetapi sejak diundangkan menjadi PP 66/51, tidak pernah diajarkan dan tidak dibudayakan menjadi pola perilaku bangsa. Temuan-temuan akademik (invensi) harus dijadikan masukan bagi pembuatan kebijakan publik guna melahirkan inovasi. Tanpa pengajaran dan pembudayaan, buah pikiran sebesar apapun tidak akan berguna.
  1. Omnipresence (terasa hadir dimana-mana)
Nilai sebelas, Omnipresence. Mengamong berarti tidak memposisikan diri sebagai pangreh, tidak hanya membangun citra (image building) pemerintahan tetapi merendahkan hati sedemikian rupa sehingga pemerintah itu tidak terlihat sebagai sesuatu yang jauh dan asing, tetapi terasa hadir dimana-mana dan kapan saja sebagai bagian dari dan sama dengan kita. Ia melihat apa yang kita lihat, dan merasakan apa yang kita rasakan. Semakin tinggi dan asing pemerintah memosisikan dirinya, semakin samar, seragam, kotor, dan sampah kita terlihat olehnya, semakin mendarat ia bersama kita, barulah semakin terasa olehnya betapa satu dengan yang lain berbeda-beda, ada yang terbuang dan terinjak, ada yang mandi uang dan bergelimang dosa, di sini nestapa dan melarat, di sana papa dan hina. Satu-satunya jembatan antar budaya, antara pemerintah dengan yang diperintah adalah saling pengeritan.
Pengertian dan saling mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling mengerti melalui empati (empathy bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen.                           
  1. Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masa jabatan public, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial).
Nilai duabelas, Distinguished statesmanship. Mengamong berarti “ exhibits great wisdom and bability in dialing with important public issues”. Mengamong juga berarti memosisikan diri di atas semua golongan atau kepentingan partial. Berbeda dengan perang, pemilu bukan menang kalah tetapi terpilih atau tidak terpilih, bagi rezim terpilih limatahunan, pihak yang tidak terpilih kembali menjadi controlling reference jangka panjang. Merayakan saat pengembalian (penyerahan) jabatan (mandat) ketimbang saat memangju jabatan (pelantikan), menyatakan secara terbuka pengunduran diri dari “kendaraan yang mengusungnya” begitu terpilih menjadi pejabat public, memaknai uang bukan solusi tetapi beban (karena harus dipertanggungjawabkan).
Seorang statesman tidak pernah merasa berjasa, karena tindakan apapun yang dilakukannya telah mendapat imbalan dari Negara dan masyarakat. Tetapi sebaliknya ia selalu merasa berhutang, karena ia telah berjanji kepada dirinya sendiri dan kepada masyarakat, dan ia berusaha menepati dan memikul tanggung jawabnya .Wawasan Kepamongprajaan sebagai kenegarawanan mengemuka di massa STPDN
            Walaupun di masa itu belum didefinisikan dan belum diprogramkan. Kini saatnya untuk mencerahkan dan membangkitkannya. Pada sesi ini, kepamongprajaan dilihat sebagai fungsi yang dibutuhkan pada tingkat regional dan global, baik antara utara dengan selatan, maupun antara barat dan timur. Kepamongprajaan di sini terlihat kualitas yang mampu melahirkan buah pikiran besar, roh zaman. Dengan kualitas waktu itu, kenegarawanan kepamongprajaan berarti kemampuan membuat sejarah. Sehingga buah pikiran besar pamong praja Indonesia- yaitu mereka yang memiliki kualitas kepamongprajaan-2009 mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia di tengah-tengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.
Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1)      Jelaskan Nilai Kepamongprajaan satu Voorruitzien!
2)      Jelaskan bahwa Nilai dua Conducting, bisa membangun kinerja bersama!
3)      Apa yang dimaksud dengan Residue Caring? Jelaskan!
4)      Bagaimana cara mengatasi jika terjadi Turbulence dalam pemerintahan? Jelaskan!
5)      Jelaskan apa yang dimaksud dengan  Generalist and Spesialist Function!
6)      Jelaskan apa yang dimaksud dengan  Magnanimous Thinking dan berikan contohnya!


Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar II yang menyangkut tentang  12 Nilai Kepamongprajaan. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Menurut Ndraha ada 12 Nilai dalam sistem Kepamongprajaan yaitu :
   Vooruit zien/visioner (memandang sejauh mungkin ke depan)
  Conducting (membangun kinerja bersama melalui perilaku actor yang berbeda-beda)
  Coordinating (membangun kinerja masing-masing melalui kesepakatan bersama yang berbeda)
  Peace Making (membangun kerukunan dan kebersamaan)
  Residue-caring (mengelola sampah, sisa, yang beda, yang salah, dan yang terbuag)
  Turbulence-serving (mengelola ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan/force majeure)
  Fries Ermessen (keberanian bertindak untuk kemudian mempertanggungjawabkannya)
  Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more and more about less and less)
  Omnipresence (terasa hadir dimana-mana)
  Responsibility (menjawab dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut etika otonom)
  Magnanimous-thinking (-mind, berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman membuat sejarah)
  Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masa jabatan public, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial).













POKOK BAHASAN III
SISTEM PENDIDIKAN TINGGI KEPAMONGPRAJAAN
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di lingkungan Departemen Dalam Negeri terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang panjang. Perintisannya dimulai sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1920, dengan terbentuknya sekolah pendidikan Pamong Praja yang bernama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren (OSVIA) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA). Para lulusannya sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda. Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda, penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda dibedakan atas pemerintahan yang langsung dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi yaitu Binnenlands Bestuur Corps ( BBC ) dan pemerintahan yang tidak langsung dipimpin oleh kaum atau golongan dari keturunan Inlands Bestuur Corps ( IBC ).
Pada masa awal kemerdekaan RI, sejalan dengan penataan sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945, kebutuhan akan tenaga kader Pamong Praja untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan baik pada pemerintah pusat maupun daerah semakin meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kekurangan tenaga kader Pamong Praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas ( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar:
Pada Tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan Kursus Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan tugasnya. Seiring dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan di Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak, Makasar, Palangkaraya dan Mataram. Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks, luas dan dinamis, maka  pendidikan aparatur di lingkungan Kementrian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai sudah tidak memadai. Berangkat dari kenyataaan tersebut, mendorong Pemerintah mendirikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang Jawa Timur. APDN di Malang bersifat APDN Nasional berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1120156 tanggal 24 September 1956 yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di Malang, dengan Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa APDN Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC yang direkrut secara selektif dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan asal provinsi selaku        kader pemerintahan     Pamong Praja yang lulusannya dengan gelar Sarjana Muda (BA).
Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN dinilai masih perlu ditingkatkan dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kader­kader pemerintahan yang " qualified leadership and manager administrative ", terutama dalam menyelenggarakan tugas-tugas urusan pemerintahan umum. Kebutuhan ini mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan aparatur di lingkungan Departemen Dalam Negeri setingkat Sarjana, maka dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP ) yang berkedudukan di Kota Malang Jawa Timur berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8 Tahun 1967 selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1967. Peresmian berdirinya IIP di Malang ditandai cengan peresmian oleh Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1957.
Pada tahun 1972 Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP) yang berkedudukan di Malang Jawa Timur dipindahkan ke Jakarta melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972. Pada tanggal 9 Maret 1972, kampus IIP yang terletak di Jakarta di resmikan oleh Presiden Soeharto yang dinyatakan : " Dengan peresmian kampus Institut llmu Pemerintahan, mudah-mudahan akan merupakan kawah candradimukanya Departemen Dalam Negeri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia "
Seiring dengan pembentukan IIP yang merupakan peningkatan dari APDN Nasional di Malang, maka untuk penyelenggaraan pendidika­n kader pada tingkat akademi, Kementrian Dalam Negeri secara bertahap sampai dengan dekade tahun 1970-an membentuk APDN di 20 Provinsi selain yang berkedudukan di Malang, juga di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Makassar, Menado, Ambon dan Jayapura.
Pada tahun 1988, dengan pertimbangan untuk menjamin terbentuknya wawasan nasional dan pengendalian kualitas pendidikan Menteri Dalam Negeri Rudini melalui Keputusan         No, 38 Tahun 1988 Tentang Pembentukan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Nasional. APDN Nasional kedua dengan program D III berkedudukan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Mendagri tanggal 18 Agustus 1990. APDN Nasional ditingkatkan statusnya berdasarkan Kepres No. 42 Tahun 1992 tentang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, maka status APDN menjadi STDPN dengan program studi D III yang diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1992. Sejak tahun 1995, bertitik tolak dari keinginan dan kebutuhan untuk lebih mendorong perkembangan karier sejalan dengan peningkatan eselonering jabatan dalam sistem kepegawaian Republik Indonesia, maka program studi ditingkatkan menjadi program D IV. Keberadaan STPDN dengan pendidikan profesi ( program D IV) dan IIP yang menyelenggarakan pendidikan akademik program sarjana ( Strata I ), menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua (2) Pendidikan Pinggi Kedinasan dengan lulusan yang sama dengan golongan I I I/a.
Kebijakan Nasional mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999 antara lain yang mengatur bahwa suatu Departemen tidak bolen memiliki dua atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, maka mendorong Departemen Dalam Negeri untuk mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP. Usaha pengintegrasian STPDN ke dalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003 sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengintegrasian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan sekaligus merubah nama IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri ( IPDN ). Tujuan penggabungan STPDN ke dalam IIP tersebut, selain untuk memenuhi kebijakan pendidikan nasional juga untuk meningkatkan efektivitas
penyeienggaraan  pendidikan Kader  Pamong Praja di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kemudian Kepres No. 87 Tahun 2004 ditindak lanjuti dengan Keputusan Mendagri No. 892.22-421 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Penggabungan dan Operasional Institut Pemerintahan Da1am Negeri, disertai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja lPDN dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005 Tentang Statuta IPDN serta peraturan pelaksanaan lainnya.
Pada Tahun 2007 ini, IPDN dipecah  menjadi beberapa Regional, diantaranya Regional Jawa-Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Penetapan kelembagaannya melalui Peraturan Presiden No..... Tahun 2007.













POKOK BAHASAN IV
KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN PERANAN PAMONG PRAJA
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
A.    Dari konsep Pangreh Praja ke konsep Pamong Praja.
Pemerintahan pangreh praja ada pada masa penjajahan belanda di Indonesia. Untuk memahani perbedaan makna semangat dan filosofinya dapat bertolak dari pemerintahan paska penjajahan, karena perubahan dari konsep pangreh ke konsep pamong sekaligus menjelaskan adanya perubahan paradikma dari penindasan ke pembudayaan. Baik pangreh ataupun pamong praja tidak ditemukan perbedaan yang berarti sama-sama sebagai pelaksana tugas dekonsentrasi.
Pada tahun 1942 Hindia-Belanda di bagi dalam 8 Gewest yaitu jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Surakarta, Sumatera, Borneo dan The Grote Oost (Timur Besar). Mula-mula tiap Gewest di pimpin oleh seorang resident sebagai Hoofd Van Gewestelijk Bestuur kecuali Aceh, Sulawesi dan Sumatera Timur yang di pimpin oleh Gubernur, sedangkan Belitung di pimpin oleh asisten resident sampai tahun1913 resident Bangka tidak mempunyai Pangreh Praja Belanda di bawahnya.
Sesudah bestuurshervorning Gewest di pimpin oleh masing-masing gubernur yang menjadi penguasa tertinggi di daerahnya memimpin kepolisian dan mengawasi pengelolaan keuangan.
Pangreh praja Indonesia di luar jawa dan Madura selalu di bawah onderafdelingshoofd yang bertindak adalah kontroleur BB. Di antara resident dan onderafdelingshoofd biasanya disisipkan seorang asisten resident yang diberi tugas pengawasan dan pimpinan interen.
            Regent atau bupati merupakan jabatan puncak dari pangreh praja Indonesia. Sesudah diadakannya Bestuurserforning maka selain menjalankan pemerintahan langsung pada rakyat Indonesia dalam wilayahnya juga menjadi ketua regentschapsraad (DPRD Kabupaten) dan menjadi alat pemerintahan kabupaten sebagai daerah otonom.
Buitengewesten (Luar Jawa dan Madura)
            Pangreh paraja merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pejabat pemerintahan Hindia-belanda yang berasal dari orang-orang pribumi untuk melaksanakan algement bretneer di daerah. Hal ini dapat dipahami bahwa pemerintah Hindia-Belanda bersifat koopreatif terhadap struktur kekuasaan tradisional (para bupati dan punggawa kerajaan) yang dapat diajak bekerjasama untuk menekan pemberontakan.
            Menurut Bayu Surya Ningrat : (1990: 7-11) pamong praja dipergunakan untuk menyebut mereka, pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Pada umumnya yang disebut pamong praja adalah pejabat-pejabat pemerintah (pusat) yang bernaung dalam Depdagri yang ada di daerah. Pamong praja mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas pamong praja mencakup segenap pegawai dalam lingkungan Depdagri yang ada dan bekerja di daerah yang melaksanankan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan umum. Dalam arti sempit pamong praja hanya mencakup mereka yang memegang pimpinan dan menjadi kepala dari suatu wilayah administratif.
            Menurut undang-undang nomor 5 tahun1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pasal 1f yang dimaksud dengan dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Selama di daerah masih ada urusan pemerintahan umum maka selama itu pula masih ada pamong praja.
B.     Perkembangan Kepamongprajaan.
Sejarah perkembangan kepamongprajaan di Indonesia tidak lepas dari tugas-tugas atau urusan pemerintahan umum, karena secara fungsional keberadaan pamong praja adalah untuk melaksanakan urusan pemerintahan tersebut. Kepamongprajaan dari perspektif kesejarahan yang dikemukakan oleh John Locke yang membedakan kekuasaan Negara dalam eksekutif, legislatif, dan federatif. Sedangkan Montes Quieu yang membedakan kekuasana Negara dalam eksekutif, legislatif, dan judikatif. Pemerintah dewasa ini telah berkembang tetapi dua dari kekuasaan negara tersebut masih nampak secara utuh yaitu yudikatif dan eksekutif.
Pejajahan Belanda berlangsung hampir 250 tahun dan baru berakhir pada tahun 1942. Kemudian langsung disambung dengan pendudukan Jepang yang kenyataannya merupakan penjajahan sejenak, pemerintahan di Indonesia ketika itu adalah pemerintahan militer, yang selalu sibuk dengan perang. Jaman Jepang tidak berlangsung lama, kekalahan Jepang oleh tentara sekutu langsung disambung oleh lahirnya Negara Republik Indonesia yang masyarakatnya memproklamirkan sendiri kemerdekaannya. Susunan pemerintahan yang sudah lengkap adalah yang ada di deaerah. Perangkat yang ada pada waktu penjajahan Belanda disebut Inlands B.B dan pada Jepang disebut Syuu-Coo kebawah yang mula-mula disebut pangreh praja. Kemudian dirubah lagi menjadi pamong praja, mengingat nama yang pertama secara psikologis dan politis kurang tepat dan mengandung unsure menguasai (mengereh-pangreh).
Negara, pemerintahan maupun masyarakat bertambah maju, perubahan dan penyempurnaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah jelas nampak dalam setiap peraturan perundang-undangan. Di dalam peraturan perundang-undangan tertentu kadang-kadang dimuat juga pada konsideransnya siap yang di maksud pamong praja, misalnya dalam PP Nomor 27 Tahun 1959 disebutkan : bahwa yang dimaksud dengan pamong praja adalah gubernur, residen, bupati, walikota, wedana dan asisten wedana (camat). Dari PP di atas didapat perumusan pamongpraja adalah perangkat atau pejabat yang ada di daerah yang tugasnya adalah melaksanakan urusan pemerintahan umum atau pemerintahan pusat.
C.     Fungsi Umum Pamong Praja.
Fungsi umum kepamongprajaan dalam perspektif waktu terus mangalami pengurangan sering dengan semakin bergeser paradikma sentralisasi pemerintahan ke arah desentralisasi pemerintahan. Sementara pergeseran itu tidak terlepas dari perkembangan demokratisasi, yang semakin mendesak dan mengikis kekuasaan yang bersifat otokratis.
Fungsi pamong praja tidak mungkin diperinci karena sifatnya sangat luas dan menyeleruh. Kecuali melaksanakan perintah dari atasan atau peraturan-peraturan, pamong praja memberikan pula public service sebaik-baiknya. Pada umumnya pamong praja memimpin tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum. Agar pamong praja dapat menyelenggarakan kesejahteraan umum dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat maka pamong praja memerlukan kekuasaan tertentu untuk bertindak menurut inisiatif dan kebijaksanaan sendiri, terutama dalam keadaan yang mendesak dan di mana tidak ada peraturan yang bersangkutan. Tugas pamong praja tidak diatur dalam suatu peraturan hokum dan tidak pula disusun dalam suatu kitab undang-undang hukum tetapi terserak di sana sini.
D.    Tugas pamong Praja
Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa keberadaan pamong praja tidak lepas dengan tugas-tugas pemerintahan umum. Jika dahulu tugas-tugas umum itu dilaksanakan oleh seorang pejabat yang dikenal sebagai pamong praja maka dewasa ini tugas-tugas itu dilaksanakan oleh para kepala wilayah yang merupakan pejabat pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan tugas-tugas berdasarkan azas dekonsentrasi. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang lebih memberikan desentralisasi, pemberdayaan masyarakat, dan transparansi itu tugas-tugas atau fungsi pemerintahan umum hanya sampai wilayah provinsi saja. Sedang untuk wilayah kabupaten/kota secara murni melaksanakan tugas-tugas desentralisasi atau otonom.
Dalam UU No. 18/1965 ditentukan tugas-tugas yang tidak diserahkan kepada daerah dan dijadikan tugas pokok dari pamong praja yaitu :
1.      Memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisionil di daerahnya, dengan mengindahkan wewenang-wewenang yang ada pada pejabat-pejabat yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah dan antara jawatan tersebut dengan pemerintah daerah.
3.      Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah.
4.      Menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
Untuk mengetahui urusan apa yang tercakup dalam pemerintahan umum dapat dipelajari dari segi urusan pemerintahan daerah, karena urusan daerah dalam kenyataannya lebih terperinci daripada pemerintahan umum.
Pasal 18 UUD 1945 mengatakan pembagian daerah Indonesia. Atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengimgat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dari pasal tersebut jelaslah bahwa ada 2 macam daerah yang pertama adalah daerah otonom yang mempunyai hak mengurus rumah tangganya sendiri dan yang kedua adalah daerah administratif.
Pasal 4 UU No. 11/1950 mengatakan urusan daerah adalah sebagai berikut :
1.      Urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah Bagi Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :
                                                       I.                        Urusan Umum;
                                                    II.                        Urusan Pemerintahan Umum;
                                                 III.                        Urusan Agraria;
                                                 IV.                        Urusan Perairan, Jalan-Jalan dan Gedung-Gedung;
                                                    V.                        Urusan Pertanian, Perikanan dan Koperasi;
                                                 VI.                                   Urusan Kehewanan;
                                              VII.           Urusan Kerajinan, Perdagangan Dalam Negeri dan perindustrian;
                                           VIII.                Urusan Perburuhan;
                                                 IX.                Urusan Sosial;
                                                    X.                Urusan Pembagian/distribusi;
                                                 XI.                Urusan Penerangan;
                                              XII.                Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan;
                                           XIII.                Urusan Kesehatan;
                                           XIV.                Urusan Perusahaan.
2.      Urusan tersebut dalam ayat 1 di atas dijelaskan dalam daftar terlampir ini dan dalam peratuan-peraturan pelaksanaan pada waktu penyerahan.
3.      Tiap-tiap waktu dengan mengingat keadaan, urusan rumah tangga kabupaten dan kewajiban pemerintah yang diserahkan pada kabupaten-kabupaten tersebut dalam pasal 1 dengan UU dapat ditambah.
Kewajiban-kewajiban yang lain daripada yang tersebut dalam ayat 1 di atas, yang dikerjakan oleh kabupaten-kabupaten tersebut dalam pasal 1, sebelum dibentuk menurut undang-undang ini, dilanjutkan sehingga ada pencabutannya dengan undang-undang.
Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan perubahan nomenklatur dari konsep Pangreh Praja ke konsep Pamong Praja!
2.      Jelaskan perkembangan Kepamongprajaan!
3.      Apa fungsi Umum Pamong Praja? Jelaskan!
4.      Bagaimana hubungan  Pangreh Praja dengan Demokrasi?
5.      Jelaskan fungsi Pamong Praja menurut Bayu Surianingrat!
Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar III yang menyangkut tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Pamong Praja. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Menurut Bayu Suryaningrat : (1990: 7-11) pamong praja dipergunakan untuk menyebut mereka, pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum. Pada umumnya yang disebut pamong praja adalah pejabat-pejabat pemerintah (pusat) yang bernaung dalam Depdagri yang ada di daerah. Pamong praja mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas pamong praja mencakup segenap pegawai dalam lingkungan Depdagri yang ada dan bekerja di daerah yang melaksanankan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan umum. Dalam arti sempit pamong praja hanya mencakup mereka yang memegang pimpinan dan menjadi kepala dari suatu wilayah administratif.
PP Nomor 27 Tahun 1959 disebutkan : bahwa yang dimaksud dengan pamong praja adalah gubernur, residen, bupati, walikota, wedana dan asisten wedana (camat). Dari PP di atas didapat perumusan pamongpraja adalah perangkat atau pejabat yang ada di daerah yang tugasnya adalah melaksanakan urusan pemerintahan umum atau pemerintahan pusat.

POKOK BAHASAN IV
KEPAMONGPRAJAAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Rounded Rectangle: A.  Sejarah Pertumbuhan Pemerintah Daerah
Pada tahun 1602-1799, Indonesia mulai di kuasai oleh Pemerintah Belanda (VOC), namun penjajahan di Indonesia ini di lakukan secara demokratis, otokratis, dan sentralistis, tapi kurang memperhatikan struktur pemerintah asli yang ada.
Pedoman dari penjajahan pada waktu itu adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari jajahannya dan untuk mau mencapai semua itu, maka dengan melalui susunan pangkat pangreh praja, bumiputera dan pangreh praja.
Sesuai dengan politik jajahan dan pedoman untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang sehemat-hematnya, disamping menggunakan sistem dekonsentrasi, maka pemerintah Belanda membiarkan bentuk-bentuk asli dalam persektuan-persekutuan hukum dalam adat, seperti;
·         Daerah-daerah swapraja dengan kontrak panjang, seperti; Surakarta, Yogyakarta, dan dengan korte-verklaring seperti Goa, Majene, dan daerah-daerah yang di kuasai oleh raja-raja.
·         Persekutuan-persekutuan hukum adat, seperti desa di jawa dan madura yang juga di perkenankan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat setempat.
·         Persekutuan-persekutuan hukum adat yang tidak terikat kepada daerah yang telah di sebutkandi atas, yang hanya menyelenggarakan suatu kepentingan tertentu.
Gerakan ini menyebabkan diambilnya politik kolonial baru oleh perinyah belanda  yang dinamakan Poliitk Etika, yang bertujuan untuk meningkatkan teraf hidup dan kecerdasan rakyat bumiputera. Akibat dari Poliitk Etika Belanda ini, yang tidak di sadari oleh Belanda sendiri adalah timbulnya suara-suara dari gerakan-gerakan kebangsaan yang menuntut hak lebih bantak untuk turut serta didalam menentukan politik kenegaraa.
Ciri-ciri pokok desentralisasi Hindia Belanda berdasarkan Undang-undang desentralsasi 1903, dapat disebutkan sebagai berikut;
Ø  Kemungkinan pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Ø  Bagi daerah-daerah yang di anggap telah memenuhi syarat, maka tiap kali dengan pembentukan di pisahkan sejumlah uang tiap tahun.
Ø  Untuk jabatan ketuanya di pegang oleh pejabat pusat, sedangkan daerah-daerah lainnya di tunjuk dalam pembentukannya.
Ø  Para enggota locare raad untuk sebagian di angkat, sebagian lainnya di duduki karena jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi di pilih.
Ø  Licare-raad berwewenag menetapkan locare verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan daerahnya sepanjang belum di atur.
Ø  Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak pemuda.
Demikian perkembangan ketata-negaraan di Hindia Belanda yang di ciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda secara singkat.
Selama zaman pendudukan Jepang, indonesia di bagi kedalam 3 wilah besar, yaitu;
v  Jawa, di bawah kekuasaan komandan tentara Jepang ke-16 di Jakarta
v  Sumatera, di bawah kekuasaan komandan tentara Jepang ke-25 di Bukittinggi.
v  Lain-lain kepulauan, di bawah kekuasaan komandan Marine Jepang di Makasar.
Pada mulanya, pemerintah pendudukan Jepang melanjutkan sebagian besar struktur pemerintahan daerah seperti pada zaman Belanda di dalam bidang dekonsentrasi, hanya diganti nama-namanya menjadi dalam bahasa Jepang.
Jabatan gubernur dan jabatan asisten residen di Jawa dihapuskan. Kotapraja-kotapraja di lepaskan dari lingkungan administrasi para Bupati, sedangkan para walikota menjadi petugas-petugas pengreh praja yang tunduk kepada residen.
Sejak di proklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka bersarkan undang-undang dasar 1945 pasal 18 berkut pasal I dan II aturan-aturan peralihan Jo. Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1945, maka di tetapkan antara lain adalah;
·         Wilayah Negara Indonesia di bagi dalam propinsi-propinsi, masing-masing di kepalai oleh seorang Gubernur (yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Berneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil)
·         Wilayah Propinsi dibagi dalam keresidenan-keresidenan, di kepelai oleh Residen
Gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah, sedangkan kedudukan kotapraja diteruskan.
Berhubungan dengan keadaan perjuangan membertahankan kemerdekaan sedang memuncak sekali, bahkan sebagian besar dari wilah Indonesia itu sedang di duduki oleh tentara Belanda, maka Undang-undang sebagai dasar Negara  sampai tanggal 27 desember 1949 (saat pengakuan kedaulatan Negara Indonesia), belum juga dapat dilaksanakan.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 samapi pengakuan kedaulatan oleh negara belanda kapada republik indonesia tanggal 27 desember 1945 maka pemerintah belanda terus menerus berupaya dengan berbagai jalan untuk mengembalikan lagi kekuasaanya di indonesia dengan berpegangn kepada naskah perjanjian postdam  yang mengakui kedaulatan atas indonesia.
Selama pendudukan oleh pasukan sekutu, petugas tersebut memakai nama Commanding Officer Netherlands Indies Civil  Administration  dan Commanding Officer Allied Military Administration Civil Affairs Branch ,kemudian stelah pasukan sekutu meninggalkan hindia belanda, maka timbul nama seperti Hoofd Tijdelijke Bestuurdienst  dan Regerings Commissaris voor Bestuurs-aangelegenheden.
Sebagai usaha ke arah konsolidasi pemerintahan daerah-daerah yang diduduki dan untuk memikat hati bangsa indonesia, maka pihak belanda menempuh 2 jalan yakni :
1)      Meletakkan dasar-dasar dari nieuwe rechtsorde sesuai dengan janji yang diucapkan oleh ratu belanda dalam pidato radio tanggal 7 desember 1942, yaitu menuju ke arah pembentukkan negara yang disusun secara federatif  antara lain dengan mengadakan konferensi-konferensi di Malino, Denpasar dan Pangkalpinang tang kemudian menghasilkan terbentuknya 15 negara bagian secara berangsur-angsur.
2)      Memulihkan kembali secara berangsur-angsur badan-badan otonomi kabupaten dan haminte di daerah-daerah yang dianggap sudah aman, misalbnya di daerah kabupaten yang sudah aman.
Usaha-usaha belanda tersebut di atas dilakukan khusus di daerah-daerah yang diduduki belanda. Untuk daerah-daerah yang dikuasai oleh RI  yang beribu kota di jogjakarta, ketentuan tersebut tidak berlaku.
Komperensi Meja Bundar telah melahirkan Republik Indonsia Serikat yang berdarakan sistem federalisme, di dalam mana republik indonesia proklamasi dengan daerahnya menurut status quo sejak penandatanganan perjanjian konperensi meja bundar pada tanggal 27 desember 1949 menjadi negara bagian, walaupun sifat negara RI tersebut telah dianggap sebagai modal dan pelopor perjuangan kebangsaan untuk menuju kemerdekaan.
Untuk memungkinkan peleburan ini Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU Darurat No.1 tahun 1950 tentang cara-cara merubah sususnan kenegaraan dari wilayah RIS.
Berdasarkan UU darurat tersebut, maka berngsur-angsur, satu demi satu, negara-negara dan daerah bagian menggabungkan diri dengan Negara Bagian RI, sehingga dalam tempo beberapa bulan saja, Republik Indonesia Serikat bentukkan belanda hanya tinggal 3 negara bagian saja yaitu :
ü  Negara-negara bagian Republik Indonesia yang meliputi wilayah-wilayah kepulauan Jawa, Madura, Sumatera dan kalimantan, minus negara sumatera timur dan kalimantan bagian timur dan selatan;
ü  Negara Sumatera Timur;
ü  Negara Indonesia Timur.
Pergolakan-pergolakkan politik di seluruh wilayah indonesia yang menentag bentuk negara serikat itu, akhirnya menyebabkan diadakannya perundingan antara Republik Indonesia dan Republik Indonesia Serikat, tentang bagaimana cara melaksanakan perubahan bentuk negara serikat menjadi negara kesatuan.
Sementara itu negara-negara bagian RI terus-menerus mendirikan daerah otonom berdasarkan undang-undang No.22 tahun 1948, sehingga pada waktu Negara RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan, di pulau Jawa, Madura, dan Sumatera telah di bentuk propinsi-propinsi otonom, sedang di Jawa sendiri selain propinsi-propinsi, telah di bentuk pula daerah istimewa setingkat propinsi, kabupaten, kota besar, kota kecil otonom.
Mengenai keadaan di Kalimantan, pada saat mulainya Negara Kesatuan RI, masih tetap berlaku peraturan lama dari pemerintah Belanda, yaitu Zelfbestuursregelen 1938 mengenai swapraja S. 1946-17 mengenai Neo-swapraja, SGOB mengenai staadgemeente dan S. 1946-47 mengenai staadsgemeente pembentukan daerah swapraja.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa pada saat Negara kesatuan RI kenbali berdiri pada tanggal 17 agustus 1950, maka di wilayahnya berlaku bermacam-macam peraturan perundang-undangan tentang otonomi daerah.
Berdasarkan pasal 142 UUD sementara republik Indonesia dan pasal 4 sub II-A dari piagam persetujuan RIS-RI, maka sebelum di adakan perundang-undangan kesatuan, undang-undang dan peraturan-peraturan yang sudah ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku, namun selalu di upayakan agar perundang-undangan RI yang tetap berlaku, meskipun berdasarkan pasal 145 UUDS RI maka NKRI itu seharusnya mengiktiarkan agar semua perundang-undangan yang berlaku di sesuaikan dengan UUDS tersebut.
Pada saat berdirinya NKRI di wilayah Indonesia itu belaku dua macam undang-undang pokok pemerintahan daerah, yaitu;
o   Undang-undang No. 22/1948, yang berasal dari Negara RI proklamasi 17 agustus 1945 dan berlaku di Jawa dan Madura, Sumatera dan Kalimantan.
o   Undang-undang No. 44/1950, yang berasal dari NIT dan berlaku di Sulawesi, Maluku dan Nusatenggara.
Kedua undang-undang ini menghendaki hilangnya pamong praja dan di serahkannya pemerintahan setempat pada daerah otonom. Selain kedua undang-undang pokok tersebut di atas, bagi kota Jakarta Raya berlaku pula UU darurat RIS No. 20/1950, yang kemudian di tetapkan dengan UU No. 1/1956, yang masih menunjuk staadgemeente ordonantie dan ordonantie tijdelijke voorzieningen stadsgemeenten op java dan bagi kota-kota lain di Jawa dan Madura, berlaku staadgemeente ordonantie, sedangkan di luar Jawa dan Madura berlaku staadgemente ordonantie buitengewesten peraturan perundang-undangan lainnya.
Semula pemerintah NKRI itu di warisi oleh RIS dua macam peraturan perundang-undangan tentang pemilihan dewan-dewan daerah yang berasal dari negara bagian RI proklamasi yaitu;
·          Undang-undang Republik Indonesia No. 7/1950
·          Peraturan pemerintah No. 39/1950
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka sebagai pelaksanaan dari pasal 18 UUD 1945, pada tanggal 1 september 1965 telah di keluarkan UU tentang pokok-pokok pemerintahan daerah baru yaitu UU No. 18 tahun 1965 yang sekaligus mencabut;

Ø  UU No. 1/1957
Ø  Penetapan Presiden No. 6/1959
Ø  Penetapan Presiden No. 2/1960, dan Penetapan Presiden No. 5/1960 (disempurnakan)
Selanjutnya, prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut;
1.      Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat Indonesia seluruhnya
2.      Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,
3.      Azas desentralisasi di laksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan
4.      Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian
5.      Tujuan pemberian otonomi pada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5/1979 adalah sebagai berikut;
a.       Untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan dan sesuai pula dengan sifat NKRI, maka pengaturan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di seragamkan.
b.      UU No.5/1979 tentang pemerintahan desa, hanya mengatur desa dan kelurahan dari segi pemerintahannya, dengan demikian UU tersebut tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pemerintahan , pembangunan dan ketahanan  Nasional.
c.       UU 5/1979 tidak mengarah kepada pembentukkan daerah otonom tingkat III.
Ada pun prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah, seperti tercantum dalam penjelasan UU No. 22 tahun 1999 angka 1 huruf i, sebagai berikut;
1.      penyelenggaraan otonomi daerah di laksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.      pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh di letakan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4.      pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.      pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilah administrasi.
6.      pelaksanaan otonomi harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7.      pelaksanaan asas dekonsentrasi di latakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang di limpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.      pelaksanaan asas tugas pembantuan di mungkinkan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang di sertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Prinsip-prinsip penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, antara lain;
a.       desa berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 adalah desa atau yang di sebut nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagia mana di maksud dalam penjelasan pasala 18 UUD 1945
b.      pemerintahan desa adalah pemerintah desa dan badan perwakilan desa.
c.       Pemerintah desa terdiri atas kepala desa atau yang di sebut dengan mana lain dan perangkat desa.
d.      Badan perwakilan desa atau yang di sebut dengan nama lain berungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarkat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemarintahan desa, disamping berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Perdes, APBDes dan Keputusan Kepala Desa.
e.       Penyalenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.
Berdasarkan pasal 132 ayat 2 UU No. 2 tahun 1999, maka UU tentang pemerintahan daerah ini dilaksanakan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu 2 tahun sejak penetapanya.
B. Sejarah Fungsi Pamong Praja Dalam System Ketatanegaraan di Indonesia
Pada zaman kerajaan-kerajaan, sebelum bangsa Asing berkuasa di Indonesia, kepulauan Indonesia pada umumnya, pulau jawa pada khususnya mempunyai struktur masyarakat yang sangat feodal. Masyarakat jawa terdiri dari raja-raja, kaum bangsawan dan kaum tani, jadi merupakan suatu masyarakat bertingkat yang tersusun secara hierarchis. Berbeda dengan struktur feudal masyarakat di Eropa pada abad menengah, maka feudal masyarakat di Jawa tidak berhubungan dengan suatu leenstelsel dan gootgrondbezit, juga tidak mengenal golongan handwerkers en handelaren met een zelfstandige, politieke macht.
Perkembangan masyarakat Jawa dalam abad ke-17 berlainan dengan masyarakat Eropa. Perkembangan masyarakat di Eropa pada waktu itu, disamping kaum bangsawan timbul warga kota yang akhirnya berkat kerja sama dengan raja dapat mengalahkan kaum bangsawan dan seterusnya memegang posisi penting dalam perdagangan baik dalam negeri maupun internasional sebaliknya diJawa, walaupun berabad-abad terdapat kaum pengusaha, yang telah mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, akan tetapi mereka buta politik, sedangkan kepentingan dagangnya sering bertentangan dengan kepentingan kerajaan, yang ingin memegang monopoli perdagangan luar negeri sendiri akhirnya perdagangan swasta dengan luar negeri mati sama sekali.
Daerah-daerah bagian utara dari jawa barat, seperti Cirebon, Indramayu, karawang, Jakarta, banten, yang semenjak abad ke -15 mudah didatangi dan dikuasai dari laut, dengan sendirinya lebih banyak menerima peradaban kraton jawa Barat bagian seatan dari pada daerah priangan ( Jawa Barat bagian selatan) yang sukar didatangi karena merupakan tanah pegunungan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas , maka pada zaman kerajaan-kerajaan sebelum bangsa asing berkuasa di Indonesia, para Bupati dengan ponggawanya, yaitu patih, para demang, para petinggi, para cutak, para camat. Diatas camat ada pegawai pengurus pajak lagi yang dinamakan kepala cutak, memegang kekuasaan sehari-hari, yang hamper tidaka terbatas.
Akibat dari keadaan yang demikian itu, menjadikan rakyat dianggap sebagai benda yang tidak bersuara dan sangat pasif terhadap baik buruknya Negara, sebaliknya para ratu atau sultan bahkan para bupati yang merasa dirinya sudah kuat, tidak ada hentinya berlomba-lomba untuk menambah kekayaan dan kekuasaan dengan jalan merebutnya dari sultan dan bupati.
Ketika bangsa Belanda pada tahun 1596 untuk pertama kali mendarat dikepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu dijawa telah berubah menjadi kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya yang paling kuat adalah Mataram dibawah Sultan agung, yang bercita-cita mempersatukan pulau Jawa dan Madura, yang ketika itu terpecah-pecah.
Perserikatan dagang tersebut mendapat bantuan politik dan militer dari pemerintah negeri belanda, dan menerima beberapa hak istimewa, antara lain:
1.      Hak monopoli untuk berdagang di kepulauan Indonesia.
2.      Hak untuk memelihara angkatan perang, mendirikan benteng-benteng, membuat perjanjian dengan raja-raja.
3.      Hak untuk mengangkat officieren van justitie untuk menjaga ketertiban umum, kepolisian serta keadilan.
4.      Hak mencetak dan mengedarkan uang.
Orang Belanda pertama yang diangkat sebagai Gubernur Ambon oleh Admirael ende zijnen raet(laksama dan dewannya) adalah Frederick de Houtman, yang mulai menjalankan fungsinya mulai tanggal 1 MAret 1605.
Pada zaman VOC ada 2 macam jalan untuk memperoleh hasil bumi dari bangsa Indonesia, yaitu:
1.      Contingenten, ialah  pemungutan hasil bumi dan daerah, dengan tidak memberikan ganti  rugi sedikitpun, karena pemungutan itu diangap sebagai pajak dalam bentuk natura.
2.      Verplichte leveranthies, ialah kewajiban dari rakyat berdasarkan perjanjian dengan VOC untuk menanam sebagian dari tanahnya dengan macam tanaman,yang hasilnya diperlukan oleh VOC untuk perdagangan.
Kedua macam pemungutan tersebut pada zaman Raffles diganti dengan pajak tanah. Berdasarkan anggapan bahwa rakyat itu adalah penyewa tanah milik.
Sementara itu para bupati makin terlibat dalam utang kepada VOC, terutama disebabkan system uang muka tersebut diatas. Untuk meringankan beban utangnya, satu-satunya jalan bagi mereka adalah memperkeras pungutan dari  rakyat, sedangkan uang yang diterimakan untuk rakyat yang menanamnya semakin menciut.
Politik utama dari prancis dan kerajaan belanda pada waktu itu adalah to build in asia counterweight against british influence) yang telah menunjukan keunggulannya dan telah mengambil posisi disebagian besar kepulauan luar jawa dan Madura.
Contoh kekejaman dari daendels, ialah ketika Sunan banten tidak sanggup memberikan sejumlah besar pekerja di Banten selatan. Ia karenanya mencari jalan untuk menundukkan sultan banten. Ketika ada seorang Belanda terbunuh dibanten, kerajaan ini diserbu dan sultan banten diasingkan ke ambon, sedangkan mangkubumi(perdana mentri) Banten, yang dianggap oleh Daendels sebagai yang bertanggung jawab, dibunuh dan kemudian mayatnya dibuang kelaut.Sultan baru yang diangkat oleh Daendels dipaksa untuk menerima daerah Banten yang telah diperkecil lagi.
Raja-raja di jawa yang merasa berjasa telah membantu orang-orang inggris dalam mengalahkan orang-orang belanda sangat kecewa ketika ternyata sikap Raffles tidak berbeda dengan penjajah Belanda. Karenanya pada tahun 1812 Sultan Yogyakarta menentang pemerintahan Inggris.
Termasuk pula daerah Surakarta dibawah pak kubowono IV, diserbu dan dipaksa menerima perjanjian baru yang memperkecil daerah Surakarta, sedangkan nasib Sultan Banten lebih celaka lagi, karena tuduhan yang sama pada tahun 1813 ia dipaksa turun tahta kemudian daerah Banten dimasukkan kedalam daerah jajahan Inggris, dengan demikian habislah riwayat kerajaan Banten tersebut.
Dari sejumlah peperangan melawan kekuasaan Belanda diseluruh Indonesia selama abad ke-19, antara lain:
1.      Perang diponegoro dijawa Tengah dari tahun 1825 sampai tahun 1830.
2.      Perang Padri disumatera barat dari tahun 1821 sampai tahun 1837 dan
3.      Perang Aceh dari  tahun 1837 sampai tahun 1904.
Sesuai dengan ajaran liberalism yang dianut oleh Negara-negara eropa, yang merupakan pengaruh cita-cita Revolusi prancis yaitu menganjurkan diterapkannya prinsip-prinsip perikemanusiaan atau the new philosophy of philanthropy, maka pemerintah belanda menginginkan pula pembaharuan dalam pemerintahan colonial di Indonesia.
 Semboyan pada waktu itu adalah mengadakan hubungan langsung dengan rakyat sendiri untuk melindungi mereka terhadap pemerasan dari para bupati  dan bawahanya.
Akan tetapi sejak tahun 1830, pemimpin-pemimpin yang beraliran liberalism diNEgeri Belanda terdesak oleh orang-orang yang beraliran Conservatisme dan pemerintah belanda mengirimkan Van den Bosch ke Indonesia sebagai Gubernur jenderal, yang diberi intruksi untuk menjalankan tanam paksa. SEbagian dari tanahnya dengan tanaman yang laku dijual di Eropa, misalnya kopi, gula, kapas, dsb.
Dengan lahirnya agrarische wet 1870 tersebut, maka kaum swasta Eropa dapat memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang mempunyai jangka waktu 75 tahun dan bila perlu dapat diperpanjang lagi, dengan demikian batig slot ( transfer sisa uang dari anggaran Belanda hindia belanda pada akhir tahun) yang selam kultur dinikmati oleh pemerintah Belanda untuk sementara dipertahankan dan baru beberapa sebelum meletusnya perang Dunia I, keuangan Hindia Belanda dilepaskan dari keuangan negeri belanda.
Pada akhir abad ke-19 setelah Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris ke Belanda, terutama sesudah dihapuskannya komisi jenderal, maka kedudukan pangreh praja di  Indonesia (yang telah ada) diperkuat dan gesubordineerd pada pemerintah pusat Hindia Belanda.
Kepatuhan rakyat kepada pimpinannya disadari betul oleh pemerintah belanda dan itulah sebabnya ketika banyak suara-suara terutama dari pada residen, yang menghendaki dihapuskanny para bupati, karena dianggap sebagai pemeras rakyat.
Untuk memperkokoh kedudukan pangreh praja Indonesia, sudah barang tentu untuk kepentingan pemerintah hindia belanda untuk meningkatkan pengawasan serta pengaruh para bupati dalam menyelenggarakan pemerintahannya, pemerintah pusat Hindia Belanda mempertinngi kedudukan pangreh praja Indonesia yang kemudian dinamakan inlandsbestuur.
Para Bupati diberi kedudukan istimewa, seperti:
1.      Mereka mempunyai hak forum privilegiatum, yaitu tidak boleh dijadikan saksi, apalagi ditangkap oleh siapapun juga, kecuali dengan ijin gubernur Jenderal.
2.      Jika berhenti dari jabatannya atau meninggal dunia, GUbernur Jenderal harus berusaha supaya yang mengantikannya ialah ahli warisnya yang terdekat.
3.      Tidak dipindah-pindahkan (dimutasikan).
4.      Bupati adalah pemimpin polisi pangreh praja dan polisi kota, kecuali dikota-kota besar yang berada dibawah pimpinan asisten residen. 
Setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada balatentara jepang pada tanggal 9 maret 1942, maka pemerintah pendudukan jepang melanjutkan sebagian besar struktur pemerintahan daerah seperti pada Jaman Belanda di bidang dekonsentrasi, hanya namanya saja diganti dengan bahasa jepang.
Jabatan gubernur dan jabatan asisten-asisten residen dijawa dihapuskan, kotapraja-kotapraja dilepaskan dari lingkungan administratip para bupati, sedangkan walikota menjadi petugas-petugas pangreh praja yang tunduk kepada residen.
Sejak dahulu sampai sekarang, korps pamong praja selalu memegang peranan penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Banyak pendapat mengenai keberadaan korps ini, sebagian menghendaki agar dalam jaman modern (kemerdakaan) korps pamong praja dihapuskan saja, karena korps ini merupakan alat colonial dan mengandung unsure feudal. Sebaliknya banyak pula yang berpendapat perlu tetap mempertahankan korps pamong praja, hanya perlu dibina, disempurnakan dan disesuaikan dengan tuntutan jaman serta keadaan Indonesia yang sudah merdeka, sehingga unsure-unsur feodalnya harus dibuang.                 
Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan sejarah pertumbuhan Pemerintah Daerah!
2.      Jelaskan fungsi Pamong Praja dalam system Ketatanegaraan Indonesia!
3.      Apa yang dimaksud dengan Pengreh Praja? Jelaskan!
4.      Bagaimana hubungan Kepamongprajaan dengan ilmu-ilmu lainnya? Jelaskan!
5.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan verstehen!
Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar IV yang menyangkut tentang sejarah perkembangan Kepamongprajaan atau Kepamongprajaan dalam perspektif sejarah. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.


Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Pedoman dari penjajahan pada waktu itu adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari jajahannya dan untuk mau mencapai semua itu, maka dengan melalui susunan pangkat pangreh praja, bumiputera dan pangreh praja.
Sesuai denga politik jajahan dan pedoman untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang sehemat-hematnya, disamping menggunakan sistem dekonsentrasi, maka pemerintah Belanda membiarkan bentuk-bentuk asli dalam persektuan-persekutuan hukum dalam adat, seperti;
·         Daerah-daerah swapraja dengan kontrak panjang, seperti; Surakarta, Yogyakarta, dan dengan korte-verklaring seperti Goa, Majene, dan daerah-daerah yang di kuasai oleh raja-raja.
·         Persekutuan-persekutuan hukum adat, seperti desa di jawa dan madura yang juga di perkenankan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat setempat.
·         Persekutuan-persekutuan hukum adat yang tidak terikat kepada daerah yang telah di sebutkandi atas, yang hanya menyelenggarakan suatu kepentingan tertentu.
Gerakan ini menyebabkan diambilnya politik kolonial baru oleh perinyah belanda  yang dinamakan Poliitk Etika, yang bertujuan untuk meningkatkan teraf hidup dan kecerdasan rakyat bumiputera. Akibat dari Poliitk Etika Belanda ini, yang tidak di sadari oleh Belanda sendiri adalah timbulnya suara-suara dari gerakan-gerakan kebangsaan yang menuntut hak lebih bantak untuk turut serta didalam menentukan politik kenegaraa.
POKOK BAHASAN V
KEPEMIMPINAN PAMONG PRAJA

Rounded Rectangle: A. Pengertian & Penggunaan Istilah Pamong Praja
1. Pengertian Pamong Praja
Asal kata "pamong" berasal dari bahasa Jawa "among", atau emong" yang artinya adalah mengasuh atau membimbing atau mendidik. Dari kata among atau emong kemudian menjadi pangamong atau pangemong artinya orang yang mengasuh atau orang yang membimbing atau orang yang mendidik. Adapun istilah “praja" berasai dari bahasa Jawa kuno yang diartikan kerajaan atau negara, misalnya Praja Ngamarto artinya Kerajaan Ngamarto atau Pendovvo_ Jadi secara asal kata pamong praja diartikan sebagai :
a. pembimbing kerajaan,
b. pengasuh negara,
c. pendidik negara.
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta tanggal 3 Juli 1992.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja berarti pegawai - Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Dalam Kamus Indonesia-Inggris diterjemahkan Pamong Praja sebagai Civil Service. Jadi Pamong Praia dapat diartikan sebagai pengasuh pemerintahan, atau abdi mayarakat_
Menurut Wajong (1972.-13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada lahun 1596. Adapun sejarah penggunaan istilah pamong antara lain :
Dalam sejarah tercatat bahwa kata among merupakan metode terkenal sebagai pendidikan Nasional Taman Siswo yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro di Yogyakarta tanggai 3 Juli 1992.
Dari peristilahan dan makna pamong praja di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pamong praja meliputi :
a. Pembimbing kerajaan artinya pembimbing masyarakat kerajaan;
b. Pengasuh negara artinya pengasuh masyarakat negara;
c. Pendidik negara artinya pendidik masyarakat negara.
2. Definisi Parnong Praia
Pada masa kini Pamong Praia menurut Sadu Wasistiono dalam makalahnya yang disampaikan pada Temu Akbar Alumni Pendidikan Pamong Praja Propinsi Jawa Barat pada tanggal 29 Maret 1999 dengan judul Redefinisi, Reposisi dan Refungsianalisasi Korps Pamong Praia (Wasistiono, 1999). Ditawarkannya definisi Pamong Praja dengan paradigma baru, yaitu sebagai berikut :
Pamong Praja adalah Aparatur (pusat maupun Daerah) yang dididik secara khusus untuk menjalankan tugas-lugas pemerintahan dengan kompetensi dasar Koordinasi, Kolaborasi dan Konsensus (3K) dalarn rangka memberikan i                pelayanan umum serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut beliau definisi ini masih terbuka untuk diperdebatkan, terutama  mengenai tiga kompetensi dasar yang perlu diimiliki oleh anggota Korps Parnong Praja. Selain melakukan redifinisi, bagi Sadu Wasistiono, Korps Pamong Praja juga harus melakukan reposisi, dalam arti menata ulang kedudukan dan hubungannya dengan pemerintah serta partai yang berkuasa, sejalan dengan kebijakan pemerintah nasional sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah Nornor 12 Tahun1999 Tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, Korps Pamong Praja harus melakukan refungsionalisasi, yaitu menata lagi fungsi-fungsi yang selama ini dijalankan oleh pamong praja. Selanjutnya dijelaskan :
Perlu diakui secara jujur hahwa selama ini fungsi-fungsi yang dijalankan oleh Korps Pamong Praja belum tampak secara jelas, bercampur aduk karena adanya pengembangan karier secara lintas keahlian. Pada akhimya pengetahuan dan kemahiran yang dimiliki Korps Pamong Praja menjadi tidak jelas juga, sehingga sulit untuk dikategorikan sebagai sebuah profesi yang utuh dan mandiri. Syarat untuk menjadi sebuah profesi yang utuh dan mandiri adalah (Sadu Wasistiono, 1999) :
1.      Disiapkan melalui pendidikan khusus;
2.      Mengembangkan pekerjaan dan kariernya melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat   khusus berkaitan dengan pendidikannya;
3.      Tergabung dalam sebuah organisasi profesi;
4.      Terikat pada kode etik.
Perdebatan mengenai profesi pamong praja sudah berjalan sejak lama. Pada akhimya telah diperoleh sebuah pengertian bahwa Pamong Praja merupakan sebuah profesi umum (general profession). Konsekuensi logisnya profesi umum tersebut dapat masuk ke mana-mana (fidak spesifik) dan dapat dimasuki oieh siapapun yang berminat dan memenuhi syarat yang bersifat sangat longgar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kurikulum di IPDN mengikuti acuan outputnya sebagai generalist.
Rounded Rectangle:  B. Penggunaan istilah "Pamong Praja".
Menurut Wajong (1972:13), bahwa dinas pemerintahan umum dengan Pamong Prajanya merupakan organisasi tua, dimulai dari kedatangan Belanda pada tahun 1596. Adapun sejaran pentggunaan istiiah pamong antara lain :
1. lnstitusi dan korps Pangreh Praja - istilah pada zaman penjajahan Belanda - disebut dengan Binnenfanas Besfuvr (BB), terdiri dari para pejabat departemen dalam negeri yang ditempatkan di daerah yang bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban serta menyelenggarakan kesejahteraan umum. Tugas korps Pangreh Praja mencakup bidang yang sangat luas. Pada masa itu, korps Pangreh Praja merupakan alat pemerintahan asing (Koesoemahatrnadja, 1979-44)1­
2.  Pada masa sesudah kemerdekaan, istilah Pangreh Praja diganti menjadi Pamong Praja dengan alasan bahwa kedudukan dan tugas Pangreh Praja dalam Negara yang merdeka berbeda dengan pada masa penjajahan. Presiden R1 pada tahun 1953 mengatakan bahwa pengertian pamong lebih dalam artinya dari pada pengertian pemimpin ataupun pengasuh. Prinsip pokok dalam mengemong adaJah TUT WURI HANDAYANI, mengikuti di belakang tetapi tetap mempengaruhi (dalam The Liang Gie, 1988:170);
3. Dalam statuta 1PDN ditetapkan bahwa IPDN merupakan komponen Kementrian Dalam Negeri yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan Kader Pamong Praja. istilah "Pamong Praja":
4. Menurut Samadikoen (dalam The Liang Gie, 1988:171), tugas Pamong Praja dalam rangka dekosentrasi pada awal kemerdekaan dapat diringkas menjadi tiga macam, yaitu ;
  (1)  Sebagai instansi penengah (arbiter), di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan bermusuhan;
(2)  Sebagai instansi penghubung di antara lingkungan hukum tata Negara yang berlain-lainan;
(3) Sebagai pemelihara dari penegak ketentraman dan keamanan umum dan dalam hubungan ini memiliki hubungan yang erat sekali dengan jawatan kepolisian. Konsep kepamong-prajaan sebagai kualitas berkembang sepanjang sejarah dan oleh sebab itu mengandung arti :
a. Sebagai nomina (nama) beberapa institusi di lingkungan Departemen Dalam Negeri, yaitu sebutan bagi pejabat pusat di daerah pada zaman dahulu sampai sekitar tahun enam-puluhan (korps Pangreh, kemudian Pamong Praja), sesudah itu dijadikan sebutan sebagai unit kerja penegak hukum di lingkungan pemerintah daerah, yaitu Polisi Pamong Praja­.
b. Sebagai fungsi objektif di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri, yang menjembatani tiap komponen dengan komponen lain, dan hadir antara komponen sebuah system. Pemerintahan terdiri dari beberapa kualitas ini sekaligus fungsi utama yang harus dipenuhi agar kinerja pemerintahan berkualitas yaitu conducting, coordinating, dan "all weather serving."
c. Sebagai lembaga di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kualitas lembaga diharapkan profesional agar kinerjanya dapat lebih baik dan berkualitas tinggi.
d. Sebagai kekuatan visioner yang mengatasi waktu dan tempat, yaitu membaca tanda-tanda zaman, bersikap dalam ketidak-pastian, dan mengantisipasi sejauh mungkin masa depan, sehingga proses kesebangsaan dari kebhinekaan menuju ketunggal-ikaan terus-menerus berjalan. Berdasarkan kekuatan itu, kepamong-prajaan mengemban misi suci (mission sacre) bangsa dan negara, yaitu mengelola keunikan tiap masyarakat menjadi kekuatan mata-rantai nusantara, mengurangi kesenjangan vertikal dan horizontal antar masyarakat secepatnya dan memproses kesebangsaan guna mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Misi itu diselenggarakan melalui strategi pemerintahan yaitu redistribusi nilai­-nilai yang dihasilkan oleh subkultur ekonomi melalui pelayanan kepada subkultur pelanggan, baik pelayanan civil sebagai kewajiban Negara maupun pelayanan publik sebagai kewenangan pemerintah.
e. Sebagai pioner pertama, buah pemikiran besar, roh zaman, yang berkualitas sebagai kenegerawanan, maka kepamongprajaan berarti kemampuan membuat sejarah (history making), sehingga buah pemikiran besar pamong praja Indonesia - yaitu mereka yang memiliki kualitas kepamongprajaan yang dapat mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia di tengah-tengah dunia beratus-ratus tahun kemudian.
Kepamong-prajaan pada puncak kualitasnya yaitu kenegarawanan, bukanlah hanya milik Kementrian Dalam Negeri akan tetapi milik dunia.

Rounded Rectangle:  C. Makna Strategis Pamong Praja dan Standar Pamong Praja.
1. Makna Strategis Pamong Praja
Kosoemahatmadja, Guru Besar llmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran Bandung dalam Pidato Pengukuhannya yang berjudul Peranan llmu Pemerintahan dalam Negara Hukum Modern “, tanggal 17 Januari 1981 antara lain menyatakan, bahwa oleh karena Negara Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila bercita-cita juga untuk mewujudkan suatu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia pada hemat saya Negara Indonesia pun dapat menamakan diri sebagai Negara Hukum Modern. Sedangkan dalam disertasinya ditegaskan lagi, bahwa dalam suasana demokrasi Pancasila, maka pada hemat Penulis fungsi Pamong Praja di daerah jangan dianggap remeh sebab korps inilah yang harus mendukung kepentingan Pemerintah Pusat.
Pamong Praja tidak boleh diombang-ambingkan oleh pergolakan politik di daerah, karena instansi ini ialah membina atau mendukung dari ideologi Negara,  alat dari Pancasila. Berhubung dengan itu maka alat Pemerintah Pusat di daerah harus diperkuat, Kepala Daerah, yang dipilih perlu dibantu oleh staf pegawai yang permanen dan ahli dalam bidangnya. Pemilihan Kepala Daerah dan pengangkatan pegawai-pegawai Pamong Praja sedikit banyaknya harus ditekankan pada faktor pendidikan karena semakin kompleks masyarakat semakin banyak kebutuhan akan tenaga ahli, yang mempunyai leadership, itu tenaga-tenaga yang technisch dan practisch.
Dalam hal ini Penulis menyokong sepenuhnya usaha memupuk kader-kader Pamong Praja melalui pendidikan Akademi Pemerintahan Da1am Negeri ( APDN), ~ sekarang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) di Jatinangor dan Institut llmu Pemerintahan (11P) di Jakarta, Koesoemahatmadja (1981;1978).

2. Standar Pamong Praja
Pamudji datam Pidato Ilmiah pada Hari Wisuda APDN Malang dan Peresmian IIP Tanggal 25 Mei 1967 di Malang Berjudul “ Membina Dinas Pamong Praja Ke Arah Dinas Karier Datam Administrasi Negara “, menyatakan bahwa kepamongprajaan itu adalah "kualitas kinerja yang secara objektif dibutuhkan," :profesi berkualitas generalist, dan pertu dilembagakan menjadi dinas karier.
Pamong praja adalah aparatur pemerintah harus mempunyai standar yang dapat diandalkan, guna menunjang pelaksanaan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, kualitas pamong praja selalu dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan agar mampu menangani masalah-masalah pemerintahan di masa kini dan. masa yang akan datang. Adapun standar Kepamongprajaan Dalam Statuta IPDN dijelaskan bahwa standar pamong praja adalah :
  1.  Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil di lingkungan Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
  2. Pamong praja sebagai kader pemerintahan sipil diperlukan pada setiap jenjang administratif pemerintahan. Strukturya mengerucut. Di tingkat Desa/Kelurahan diperlukan ribuan orang Pamong Desa/Pamong Kelurahan, dan dipuncaknya Pamong Bangsa/Negara, yaitu Presiden.
  3. Pamong praja generalis yang mengetahui dan mengenal sedikit demi sedikit tentang semakin banyak hal. Dalam hubungan ini, kepamongprajaan lebih sebagai seni (art) dan kreativitas ketimbang tekhnik dan spesialisasi. Kualitas ini tidak dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum yang cenderung spesialistik.
  4. Pamong praja adalah dinas karier. Kesinambungan, konsistensi, keselarasan, keseimbangan dan keserasian program memberikan tenaga yang bebas dari pengaruh rezim politik lima tahunan seperti yang terjadi selama ini. Hubungan antara pamong praja dengan politisi harus bersifat transformasional, bukan transaksional. Selama ini masing-masing unsur struktur supra (trias politika) asik bertransaksi antara mereka, sehingga stuktur infra terlupakan. Pamong praja  sendiri harus selektif, bukan elektif.
  5. Pamong praja memerlukan kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat terbentuk melalui diklat jangka pendek, doktrin, instruksional, dan rekrutmen berdasarkan spoil system, bersifat insidental, tetapi melalui pendidikan formal berijazah dan pengalaman yang luas.
  6. Pamong praja adalah tenaga pemikir dan perancang pemerintahan. Kemampuan berpikir teoritik dan konseptual tidak dapat terbentuk rnelalui pendidikan profesional berprogram diploma atau spesialis. Pendidikan seperti itu ditujukan pada profesi dan job tertentu yang ditawarkan pasar. Sebaliknya profesi dan job pamong praja bersifat publik, sudah tersedia. Oleh sebab itu, kualitas pamong praja dibentuk melalui program pendidikan akademik.
  7. Pamong praja perlu dibekali dengan llmu Pemerintahan sebagai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya.
  8. Pamong praja adalah profesional. Seorang profesional mengabdi pada profesi (pekerjaan), bukan pada orang. Pengabdian tersebut bersumber pada pertimbangan- ­pertimbangan ilmiah (teoritik), dan karena ilmu yang menjadi andalan adalah Kybernologi, maka pertimbangan-pertimbangan itu demi perlindungan kemanusiaan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
  9. Pamong praja adalah kepala, manajer, pemirnpin, koordinator, conductor (dirigen), penyelamat, dan pengelola sisa. Pemerintahan dapat dipandang sebagai organisasi, usaha, dan komunitas, yang terdiri dari komponen yang berbeda-beda dengan kondisi yang berlain-lainan. Gerakan komponen-komponen itu harus harmoni satu dengan yang lain agar bersama-sama menghasilkan kinerja optimal. Oleh sebab itu, pamong praja harus memiliki kekepalaan, manajemen, dan kepemimpinan.
  10. Pamomg praja sebagai kenegarawanan. Kualitas tertinggi kepamongprajaan adalah kenegarawanan. Seorang negarawan menghasilkan pikiran-pikiran besar (magnanimous), memandang sejauh mungkin ke depan, berwatak impartial, dan non partisan. Berperan menjalankan misi pemerintahan Indonesia yaitu mengelola keunikan tiap mayarakat menjadi keuatan mata rantai nusantara, rnengurangi kesenjangan vertical antar lapisan masyarakat dan mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah secepatnya, sehingga " the people who get the pain are the
people who share the gain," dan memproses kesebangsaan guna mewujudkan Bhinneka Tunggat lka, adalah Departemen Da1am Negeri.
  1. Kepamong-prajaan dibentuk melalui pendidikan kedinasan di bawah Kementrian ` Datam Negeri yaitu lnstitut Pemerintahan Dalam Negeri (1PDN) rnelalui jenjang pendidikan D4, S1, S2 dan S3.
  2. Kepamongprajaan adalah jiwa kerja korps yang berwawasan nusantara dan bersemangat kesebangsaan.
.
Rounded Rectangle:  D. Pamong Praja Masa Depan
1. Pemimpin Transfromasional
Pada masa yang akan datang aktivitas kepamongprajaan di Indonesia sudah dipastikan akan mengalami perubahan-perubahan yang cepat sebagai konsekuensi logis dari adanya pembaruan pemerintahan dan reformasi Pamong Praja. Berdasarkan modeling system dynamics, maka visi dan misi Pamong Praja abad 21 dapat dipetakan.  
Beberapa karakteristik penting dari pemimpin transformasional diperlukan dalam dinamika perbaikan manajemen kualitas (Gaspersz, 1997:197), yaitu :
1. Memiliki visi yang kuat
2. Memiliki peta tindakan (map for action)
3. Memitiki kerangka untuk visi (frame for the vision)
4. Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
5. Berani mengambil resiko
6. Memiliki gaya pribadi inspirasional
7. Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
8. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat
2. Pemimpin Visioner
Kepemimpinan Visioner. Seperti yang sudah disebutkan dimuka bahwa, Pamong Praja merupakan Leader (Pemimpin) maupun Headship (Kepala). Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112). Pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih pergaulan sosial. Syarat ini yang harus pertama dan utama untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk Pamong Praja. Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Ia menanamkan "Kepemimpinan Visioner" atau dengan kata lain seorang pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan secara "Glokal (bervisi global-action lokal).
Visi pada hakekatnya adalah untuk menjelaskan arah pencapaian tujuan, diikuti peningkatan kualitas kerja peningkatan kinerja organisasi. Menurut Suradinata (Abdi Praja 1997:11), ada lima fenomena kualitas Pamong Praja, yaitu:
1.    Memberikan pelayanan pada masyarakat baik dalam iingkup aparatur maupun masyarakat umum.
2.    Pengembangan diri, tuntunan terhadap kemampuan setiap Pamong Praja. Untuk itu, mereka harus terus belajar dan meningkatkan pendidikan dan pelatihan baik melalui penjenjangan maupun diklat tekhnis fungsional.
3.    Pelaksanaan tugas, yaitu melaksanakan tugas tanggung jawabnya selaku aparatur pemerintah dalam negeri yang lebih mengutarnakan tugas pokok.
4.    Keteladanan. Sebagai seorang Pamong Praja, keteladanan merupakan aspek yang menentukan. Dalam Kepemimpinan Pancasila, keteladanan merupakan sikap konsisten dan konsekuen dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
5.    Lingkungan, mencakup faktor alam dan sosial yang antara lain terdiri dari etika, moral, budaya, serta jati diri bangsa Indonesia.
Di samping itu, organisasi birokrasi pemerintah (Pamong Praja) harus berkualitas. Kualitas Pamong Praja yang diharapkan pemerintah menurut Taufik (1999:86-87) adalah :
  1. Birokrasi pemerintah (Aparatur Pemerintah/Pamong Praja) yang bersih dan berwibawa, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
  2. Profesionalisme aparatur pemerintah yang memadai dan secara tepat tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi.
3.      Reformasi birokrasi pemerintah agar dapat difokuskan pada kuaiitas dan kesempatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan slogan "Abdi Negara        dan Abdi Masyarakat'.
  1. Kerjasama tim (team work) yang efektif dan efesien.
  2.  Kemampuan manajemen dalam unit birokrasi pernerintah yang dapat menangani setiap permasalahan pembangunan yang dihadapi.
6.      Birokrasi yang memihak pada kepentingan rakyat banyak sesuai dengan visi dan misi yang telah disetujui bersama.
Oleh karena itu, Pamong Praja harus mempunyai strategic vision seperti yang diajukan oleh UNDP sebagai karakterisitik good governance (Lembaga Administrasi 'Negara, 2007:7) di mana diharapkan Pamong Praja mempunyai perspektit luas dan 4 yang jauh ke depan.
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan (globafisasi) yang ~ melekat pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat dinamis, berorientasi pada wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi asing serta membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan sistem kerja terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan kemampuan tekhnis administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata, 1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz, Sarundajang, Thoha, Suradinata dan Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong Praja Abad Ke-21,sebagai berikut  ;
1.               Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan  karakteristik utama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat
2.               Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada masyarakat
3.               Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.                Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat
5.               Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja yang dapat ditonjolkan
6.               Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral
7.               Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun pelayanan prima kepada masyarakat
8.               Mempunyai Strategic Vision dalam mengantisipasi perubahan pemerintahan maupun perubahan masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang-surut.
Dwight Wardo dengan bukunya yang berjudul "The Enterprese of Administration", 1980 dalam The Liang Gie (1993:7.2), menjelaskan :
Petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations) yang lebih banyak dalam kaitan dengan kelakuannya ketimbang orang swasta. Demikian pula para petugas dengan jabatan tinggi dalam badan-badan pemerintah mempunyai lebih banyak kewajiban-kewjliban etis dari pada seorang siapa saja. Implikasi lebih lanjut dari pendapat itu ialah setiap petugas dalam adminitrasi pemerintahan wajib memiliki sikap-mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai etis yang bersumber pada kebajikan moral khususnya keadilan. Tanpa asas-asas etis itu seorang petugas negara tidak mungkin membina suatu kehidupan bangsa dan keadaan masyarakat yang tentram dan sejahtera. Bahkan kebalikannya, kehidupan rakyat mungkin dijerumuskan pada kegelisahan dan kesengsaraan.

3,     Kode Etik Petugas Administrasi
The Lang Gie (1993:7.11), menjelaskan sebagai berikut : Perhimpunan­-perhimpunan para petugas administrasi di Amerika dalam tahun 1984 menyetujui sebuah kode etik yang memuat asas-asas dan ukuran-ukuran baku moral yang menjadi petunjuk bagi para anggotanya sebagai petugas administrasi pemerintahan, sebagai berikut :
1.         Menunjukkan ukuran-ukuran baku yang tertinggi mengenai keutuhan watak perseorangan, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan publik kita agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat pada        pranata-pranata bangsa : (demonstrate the higest standards of personal integrity, truthfulness, honesty and tortitude in all our public activities in order to inspire public confidence and trust in public institutions) :
2.         Melayani rakyat secara hormat, perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri : (service the public with respect, concern, courtesy, and responsiveness, recognizing that service to the public is beyond service to oneself) :
3.         Berjuang kearah keunggulan professional perseorangan dan menganjurkan pengembangan profesional dari rekan-rekan kita dan mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi Negara : (strive for personal professional excellence and encourage the professional development of our associates and those seeking to enter the field of public administration)
4.         Menghampiri kewajiban-kewajiban operasional dan organisasi kita dengan suatu sikap positif dan secara konstruktif mendukung komunikasi yang terbuka, kreativitas, pengabdian, dan welas asih : (approach our organization and operational duties with a positive attitude and constructively support open communication, creativity, dedication, and compassion) :
5.         Melayani dalam suatu cara sedemikian hingga kita tidak mewujudkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya dari pelaksanaan kewajiban­kewajiban resmi kita : (serve in such a way that we do not realize undue personal gain from the performance of our official duties) :
6.         Menghindari suatu kepentingan berdasarkan hak-hak istimewa, pertentangan dengan penunaian dari kewajiban-kewajiban resmi kita : (avoid any interest or activity which is in conflict with the conduct of our official duties) :
7.         Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang kita dapat memperolehnya dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi : (respect an protect the privileged information to which we have acces in the course of official duties) :
8.         Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang kita miliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum : (exercise whatever discreationary authority we have under law to promote the public interest) :
9.         Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan rakyat dengan kecakapan profesional : (accept as a personal duty the responsibility to keep up to date on emerging issues and to administer the public's business with professional competences, fairbess, impartiafy, efficiency and effectiveness) :
10.     Mendukung, menjalankan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian, kecakapan serta program-program tindakan afirmatif guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemeliharaan, dan peningkatan kita terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat : (support, implement, and promote merit employment and programs of affirmative action to assure equal opportunity by our recruitmens selection, and advancement of qualified persons from all elements of society) :
11.     Melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tak sah, kecurangan, salah urus keuangan Negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggung jawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus atau salah pakai yang demikian itu : (eliminate all forms of illegal discrimination, fraud, and mismanagement of public funds and support collegagues if they are in difficulty because of responsible efford to correct such discrimination, fraud, mismanagement or abuse) :
12.     Menghormati, mendukung, meneiaah, dan bilamana periu berusaha untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi Negara federal dan Negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan di antara instansi-­instansi pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga­-warga : (respect, support, study, and when necessary, work to improve federal and state constitutions, and other laws which define relationship among public agencies, employees, clients, and all citizens).
Rounded Rectangle:  E, Latihan
1.      Jelaskan asal kata Pamong Praja sehingga jelas pengertiannya!
2.      Jelaskan definisi Pamong Praja menurut pakar pemerintahan !
3.      Beranjak dari definisi pamong praja yang telah ada, Sdr diminta merumuskan kembali definisi pamong praja sehingga menjadi jelas !
4.                                                                              Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin visioner ?
5.                                                                              Jelaskan karakteristik penting dari pemimpin transformasional berikut ini :
a.   Memiliki visi yang kuat
b.  Memiliki peta tindakan (map for action)
c.       Memiliki kerangka untuk visi (frame for the vision)
6. Berilah contoh karakteristik kepemimpinan transformasional berikut :
    1. Memiliki kepercayaan diri (self confidence)
    2. Berani mengambil resiko
    3. Memiliki gaya pribadi inspirasional
    4. Memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual
 e. Memiliki kemampuan mengidentifikasikan manfaat-manfaat
7. Jelaskan Visi Pamong Praja yang sangat mendesak pada Abad Ke-21!
Rounded Rectangle: F. RANGKUMAN
Kepemimpinan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kepemimpinan yang harus memenuhi syarat berakhlak bersih dan tidak cacat moral (Thoha, 1997:112). Pemimpin yang bermoral dan berakhlak yang ditandai dengan kebersihan akidah, akhlak, tujuan hidup, harta dan bersih pergaulan sosial. Syarat ini yang harus pertama dan utama untuk memilih dan mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah termasuk Pamong Praja. Selain itu, pemimpin harus memiliki visi mau dibawa ke mana tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Selanjutnya dijelaskan bahwa, visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala nasional maupun global. Ia menanamkan "Kepemimpinan Visioner" atau dengan kata lain seorang pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan secara "Glokal (bervisi global-action lokal).
Terlebih lagi dalam menghadapi tuntutan visi kesejagatan (globafisasi) yang ~ melekat pada setiap Pamong Praja, dengan demikian perlu disiapkan sistem ` Pemerintahan yang bersifat dinamis, berorientasi pada wirausaha, lebih pro-aktif pada perubahan, mampu menarik investasi asing serta membina para pengusaha nasional untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Ini semua berkaitan dengan pembinaan etos kerja melalui pembudayaan sistem kerja terpadu dengan didasari pembinaan yang spesifik selain pembinaan kemampuan tekhnis administratif dan pembinaan moral-agamis (Suradinata, 1997:92).
Merujuk pada uraian di atas (Wasistiono, Gaspersz, Sarundajang, Thoha, Suradinata dan Taufik), maka dapatlah disusun Visi Pamong Praja Abad Ke-21,sebagai berikut  ;
1.               Profesionalisme Korps Pamong Praja sudah lebih meningkat dengan  karakteristik utama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat
2.               Koordinasi menjadi alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberi pelayanan kepada masyarakat
3.               Selain mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis), Pamong Praja juga mempunyai keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan.
4.                Memiliki semangat dan jiwa kewirausahaan guna meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat
5.               Memiliki kemampuan bernegosiasi yang telah menjadi satu keahlian Korps Pamong Praja yang dapat ditonjolkan
6.               Menjalankan Kepemimpinan Transformasional yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serfa berakhlak yang baik tanpa ada cacat moral
7.               Mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan, baik pada instansi pemerintah maupun pelayanan prima kepada masyarakat
8.               Mempunyai Strategic Vision dalam mengantisipasi perubahan pemerintahan maupun perubahan masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang-surut.







POKOK BAHASAN  VI
SISTIM POLITIK DAN SISTIM KEPARTAIAN DI INDONESIA
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
Salah satu penyebab utama dari kurangnya pembangunan di Indonesia adalah tidak adanya kestabilan di bidang politik serta pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Hal tersebut disebabkan karena dianutnya sistim banyak partai sehingga di kursi parlemen ada yang berkuasa dan ada yang menjadi oposisi. Pihak oposisi ini yang biasanya menjadi pihak yang berusaha menggagalkan  pelaksanaan pembangunan yang digagas oleh pihak yang berkuasa.
Berikut akan disajikan tentang apa yang dimaksud dengan sistim politik dan sistim kepartaian.
    
                                    Dalam setiap Negara ada satu kelembagaan hidup yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan norma-norma atau kaidah hukum. Kelembagaan hidup yang demikian disebut sistim politik, istilah politik disini digunakan dalam arti: ” Government in more comprenhensive sense
            Aparatur oleh input dari masyarakat terdiri dari :
1.         Demands, yaitu keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat dapat digerakkan baik dari sistim politik maupun dari the non political environtment
2.         Supports, yaitu dukungan termasuk sikap dan kelakuan attitudes and behavior yang mendorong sistem politik di tiap tingkat pemerintahan dengan lebih terarah didalam menjalankan kebijaksanaan pemerintahan
3.         Apathy, yaitu kemasabodohan masyarakat yang memberikan pengaruh pula, walaupun secara tidak langsung kepada aparatur  pemerintahan, yang harus berusaha untuk merubah apathy rakyat itu menjadi demand and supports input.
Kegiatan aparatur Negara memberikan output berupa :
1.         Rewards, yang memenuhi keinginan-keinginan dan harapan rakyat
2.         Deprivations, yang merampas, membatasi, melarang kebebasan dan keinginan rakyat.
Output ini menggambarkan hasil pengolahan  demands,supports dan apathy oleh aparatur Negara menjadi peratuan atau kebijaksanaan dalam berbagai bidang perekonomia, perindustrian, keamanan,kebudayaan dan sebagainya.
Fungsi-fungsi aparatur Negara untuk menghasilkan output tersebut adalah:
1.         Rule-Making, yang  bersifat mengatur atau lazim disebut fungsi legislative
2.         Aplication Of rules, atau fungsi eksekutif
3.         Settlement of Disputes atau fungsi judikatif

Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam rangka sistem politik diperlukan suatu mekanisme untuk menyelenggarakan fungsi input, interest identification, leadership selection, disamping bahwa di dalam Negara demokrasi fungsi tersebut dilakukan oleh partai-partai politik, golongan-golongan kepentingan dan organisasi-organisasi massa, mass media dan lain sebagainya.
Sektor kehidupan politik rakyat ini lazim disebut infrastruktur politik, sedangkan sektor kehidupan politik lainnya dinamakan suprastruktur politik, yang menjalankan fungsi-fungsi output, yaitu keputusan-keputusan politik.
Para ahli politik mengadakan pembagian terhadap sistim kepartaian yang berbeda-beda, diantaranya.
a.         Sistim otoriter
b.        Sistim non otoriter
c.         Sistim dua partai
d.        Sistim multipartai
Sistim kepartaian ini yang menjadi titik rancu kemajuan pembangunan.  Karena semakin banyak partai, semakin banyak pula yang ingin mengusahakan agar partainya dapat berkuasa, sehingga menomorduakan kemajuan pembangunan dan kemakmuran masyarakat
  1. Hubungan Antara Sistim Kepartaian Dengan Sistim Pemerintahan
                        Sistim pemerintahan parlementer, adalah suatu sistim pemerintahan dimana pemerintah sebagai badan eksekutif bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (legislative)
                                    Sistim pemerintahan presidential, adalah sistim pemerintahan dimana presiden selaku kepala eksekutif bertanggung jawab kepada para pemillihnya dan dibantu oleh para menteri yang ditunjuk oleh dan bertanggung jawa kepada presiden yang melakukan tugasnya dalam waktu tertentu.
                                    Sistim pemerintahan campuran, adalah suatu sistim pemerintahan yang mengandung baik segi-segi presidential, maupun segi parlementer
                                    Di Indonesia yang menganut system banyak partai,  partai tidak akan mempunyai suara mayoritas di legislatif. Maka dari itu pemilihan presiden di Indonesia harus melalui jalan koalisi, yang berarti partai-partai di parlemen harus bergabung untuk mencapai syarat pengajuan calon presiden minimal sebanyak 20% kursi di parlemen. Hal ini berarti presiden yang telah terpilih dari koalisi, harus memilih pembantunya (menteri) mayoritas berdasarkan suara koalisi yang mengangkatnya.dan dalam mengambil keputusan atau kebijakan, presiden harus mendengarkan pendapat dari koalisi-koalisinya yang akan berpengaruh terhadap kebijakaan yang akan diambilnya.
                                    Jadi jelaslah, bahwa sistim pemerintahan campuran apabila disertai sistim banyak partai tidak mungkin menimbulkan stabilitas di bidang politik.
                        Pengaruh sistim satu partai terhadap sistim pemerintahan campuran.
Sistim satu partai yang digunakan sebagai dasar bagi pemerintahan Negara dapat mewujudkan satu pemerintahan yang stabil bagi sistim pemerintahan campuran Karena segala kegiatan yang dilakukan pemerintah merupakan pelaksanaan program dari satu partai politik semata-mata.
                                    Pengaruh sistim dua partai terhadap sistim pemereintahan campuran dengan berlangsungnya sistim dua partai seperti di Indonesia maka yang akan terpilih sebagai presiden adalah calon dari partai politik yang mempunyai suara mayoritas dalam MPR.
  1. Stabilitas Politik
                                    Sejak diprokalamasikannya Indonesia sampai sekarang pasang surut kehidupan politik dapat dilihat dari para pemimpin  partai politik yang kurang menunjukan kematangn politik dan kematangan bernegara, hal ini mungkin disebabkan oleh stabilitas politik yang tak kunjung stabil. Seperti yang telah dikupas pada metro file di metro tv dan Koran media Indonesia pada waktu lalu.
                                    Namun selaras dengan perkembangan jaman, sistim otonomi yang dianut ternyata tidak menunjukan perkembangan yang menggembirakan bahkan sistim otonomi daerah ternyata tidak memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakannya.
                                    Stabilitas politik diperlukan apabila bangsa Indonesia ingin terus membangun namun stabilitas itu pula yang tak kunjung datang.      
            Peranan partai politik dalam kehidupan bernegara adalah:
1.                  Pengembangan suatu indigenous political ideology (ideologi politik ), atau ideologi politik, yang digali dari kepribadian bangsa itu sendiri yang dipergunakan sebagai suatu prinsip penuntun, yang berlaku universal bagi bangsa yang bersangkutan.
2.                  Pembelaan hak-hak demokrasi, yang merupakan suatu hak yang paling hakiki/bernilai yang dimiliki manusia merdeka yang tidak boleh dibiarkan diinjak-injak atau kurang diindahkan oleh siapapun juga.
3.                  Pembinaan lembaga-lembaga demokrasi, yang telah diakui adanya oleh bangsa dan Negara yang bersangkutan. Sebagai alasan untuk membina lembaga-lembaga itu, sebaiknya ialah karena pemilihan umum sering dipergunakan sebagai suatu barometer untuk mengukur tingkat kedewasaan berpolitik secara demokratis bagi suatubangsa dan Negara.
4.                  Pendidikan politik bagi para anggotanya, untuk lebih matang berpolitik dan berlaku sebagai warga Negara yang baik, dengan tujuan utamanya agar partai yang bersangkutan memperoleh suara dalam pemilihan umum, bahkan akhir-akhir ini cenderung disalahgunakan sebagai ajang untuk menghasut atau memprovokasi untuk menjatuhkan partai linnya.
Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan maksud dari sistem satu partai di sebuah negara!
2.      Jelaskan  system pemerintahan campuran !
3.      Apa yang dimaksud dengan  pengembangan suatu indigenous political idiology? Jelaskan!
4.      Bagaimana hubungan  pendidikan politik dengan kesadaran politik? Jelaskan!
5.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan  pembelaan hak-hak demokrasi!
6.      Sebutkan peranan-peranan partai politik dalam kehidupan bernegara!


Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar VI yang menyangkut tentang sejarah perkembangan ekologi, ekologi sebagai ilmu pengetahuan dan arti daripada ekologi. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Sistim pemerintahan parlementer, adalah suatu sistim pemerintahan dimana pemerintah sebagai badan eksekutif bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (legislative)
                                    Sistim pemerintahan presidential, adalah sistim pemerintahan dimana presiden selaku kepala eksekutif bertanggung jawab kepada para pemillihnya dan dibantu oleh para menteri yang ditunjuk oleh dan bertanggung jawa kepada presiden yang melakukan tugasnya dalam waktu tertentu.
                                    Sistim pemerintahan campuran, adalah suatu sistim pemerintahan yang mengandung baik segi-segi presidential, maupun segi parlementer
                                    Di Indonesia yang menganut system banyak partai,  partai tidak akan mempunyai suara mayoritas di legislatif. Maka dari itu pemilihan presiden di Indonesia harus melalui jalan koalisi, yang berarti partai-partai di parlemen harus bergabung untuk mencapai syarat pengajuan calon presiden minimal sebanyak 20% kursi di parlemen. Hal ini berarti presiden yang telah terpilih dari koalisi, harus memilih pembantunya (menteri) mayoritas berdasarkan suara koalisi yang mengangkatnya.dan dalam mengambil keputusan atau kebijakan, presiden harus mendengarkan pendapat dari koalisi-koalisinya yang akan berpengaruh terhadap kebijakaan yang akan diambilnya.

POKOK BAHASAN VII
EFISIENSI PEMERINTAHAN
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
Menghadapi kenyataan-kenyataan yang muncul kepermukaan dalam era globalisasi, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas, yaitu WTO tahun 2020, yang diawali untuk lingkungan Asia Tenggara (AFTA 2003) dan untuk lingkungan Asia-Afrika yang tergabung dalam kelompok negara yang berkembang (APEC) pada tahun 2010, maka manajemen stratejik dalam pelayanan publik oleh pemerintah suatu negara perlu mengakomodasi kebijakan publik yang antisipatif.
Salah seorang pemikir yang turut memberikan alternatif kebijakan publik yang menjadi pilihan pemerintah suatu negara yakni David Osborne dan Ted Gaebler, yang menuangkan idenya dengan lugas dalam buku yang diberinya judul “Reinventing Government”. Gagasan menata ulang pemerintahan mungkin tampak berani bagi mereka yang melihat pemerintahan sebagai sesuatu yang mapan, sesuatu yang tidak berubah. Tetapi dalam kenyataannya, pemerintah secara konsisten berubah. Perubahan global yang berlangsung begitu cepat menggiring pemerintah untuk mereposisi dirinya dalam mengambil peran.
Buku ini memberikan gambaran bentuk reposisi yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam menghadapi berbagai perubahan yang cepat tersebut. Terdapat sedikitnya 10 (sepuluh) prinsip yang terstruktur menuju pemerintahan wirausaha. Gambaran ini bukanlah merupakan sebagai kata akhir dari suatu langkah penyesuaian diri pemerintah, tapi merupakan langkah awal menata ulang posisi pemerintahan.
Prinsip pwmweintah wirausaha ini mengharapkan adanya peningkatan di masa mendatang kinerja pemerintahan, ditengah ekonomi dunia yang saling mengait, dimana peran pemerintah sangat strategis dalam mengkondisikan suasana yang menguntungkan bagi dunia usaha.
Pada saat ekonomi dunia saling mengait semakin terasa, maka pada saat itu peran pemerintah bergeser pada bagaimana memberikan akses yang seluas-luasnya bagi investor baik dari dalam negeri maupun dalam negeri untuk melakukan aktifitas ekonominya, dan pada saat yang sama menjamin semua orang atau konsumen utuk mendapatkan barang atau jasa yang mudah didapatkan dengan kualitas yang baik serta dengan harga yang relatif murah.

Rounded Rectangle: MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI
 (Isi Buku)
Dalam buku ini membahas dan mengulas secara dalam bagaimana organisasi publik harus menggeser paradigmanya dalam melaksanakan perannya di era yang konpetitif, dengan harus meningkatkan daya saingnya, namun esensi yang dasar dari gagasan Reinventing Governmen ini adalah mewirausahakan birokrasi dan memberdayakan masyarakat atau publik.
Adapun konsep Reinventing government tersebut adalah :
1.      Catalytic government
Artinya pemerintahan katalis maksudnya adalah bahwa tugas pemerintah mengarahkan dan bukan mengayuh atau steering the boat and not rowing. Caranya peran pemerintah lebih pada peran pengaturan dan menciptakan suasana yang kondusif terhadap lembaga non pemerintah dalam memberikan dan memenuhi kebutuhan akan pelayanan kepada masyarakat.
2.      Community Owned government
Yaitu membuat masyarakat memiliki pemerintah. Caranya adalah melalui empowering rather serving, artinya memberdayakan masyarakat dan bukan melayani sehingga ketergantungan kepada pemerintah menjadi berkurang.
3.      Competitive government   
Artinya pemerintah harus memiliki daya saing. Caranya adalah injecting competiton into service delivery, yaitu mendorong kemampuan bersaing dalam memberikan pelayanan sehingga tidak kalah oleh sektor swasta
4.      Mission driven government
Artinya pemerintah yang disetir oleh misi atau tujuan. Caranya dengan transforming rule driven organization, maksudnya mengubah organisasi lembaga, badan, instansi yang berororirntasi ketat, patuh pada peraturan sebagai policy
5.      Result oriented government.
Artinya menjadikan pemerintah bersemangat  wira usaha. Caranya adalah earning rather than serving atau menggali pemasukan dan bukan melulu memberikan  pelayanan
6.      Enterprising government
Artinya menjadikan pemerintah yang  bersemangan wira usaha. Caranya adalah earning rather than serving atau menggali pemasukan dan bukan melulu memberikan pelayanan.
7.      Anticipatory government
Artinya pemerintahan yang memiliki daya antisipatif, karena masa depan yang penuh dengan ketidak pastian, maka diperlukan kemampuan mengantisipasi perubahan-perubahan yang beriseka. Caranya adalah mengacu pada konsep prevention rather than cure, mencegah ketimbang mengobati.
8.      Costumer-driven government
Yaitu pemerintah yang mengutamakan kepentingan umum. Caranya adalah meeeting needs of custumer, not the bbureucracy, artinya memenuhi kebutuhan pelanggan dan bukan birokrasi. Dalam hal ini birokrasi harus berperan sebagai abdi masyarakat dan abdi negara, bukan sebaliknya.
9.       Decentraliced government
Yaitu pemeritah yang terdesentralisasi. Caranya adalah from hierarchy to partisiption and team work artinya dari hirarki ke partisipasi dan tim kerja, ini dimaksudkan melonggarkan ketatnya hubungan hirarkis lewat pelimpahan wewenang sehingga tumbuh peran serta dan tim kerja yang kuat dan kondusif terhadap pencapaian hasil.
10.  Market oriented government
Artinya pemerintah yang berorientasi pasar. Kedudukan pasar adalah pelanggan atau interaksi masyarakat dimana demand memerlukan supply sehingga tidak terjadi gap. Caranya adalah leveraging change throught the market, maksudnya mendongkrak perubahan lewat pasar artinya perubahan-perubahan yang terjadi bukan dibuat-buat, melainkn sepenuhnya karena interaksi yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri.
Rounded Rectangle: PERGESERAN PARADIGMA PERAN PEMERINTAH DALAM ERA GLOBALISASI
(Analisis / Komparasi)
Buku ini ditulis dalam rangka menata ulang pemerintahan dalam rangka antisipasi terhadap munculnya suatu ekonomi industri yang berkembang dahsyat dimana pada saat itu kompetisi begitu sangat ketat antar pelaku bisnis, lembaga non pemerintah dan birokrasi pemerintah itu sendiri, agar tidak menjadi pecundang, agar pemerintahan tidak ditinggalkan oleh rakyatya.
Osborne dan Gaebler menawarkan gagasannya, yang ditujukan kepada pemerintahan di bumi manapun mempraktekkan birokrasi, bahwa beberapa peran pemerintah yang diselenggarakan dan dengan patuh tetap dipertahankan hingga saat ini, maka seiring dengan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, menjadikan dunia semakin sempit dijelajahi, interaksi sesama warga bangsa dunia semakin mudah untuk dilakukan, yang pada akhirnya membawa perubahan-perubahan besar dalam praktek perekonomian dan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan publik.
Saatnya pemerintah harus menggeser paradigmanya dari yang mengambil peran dominan dalam pelayanan publik dan menjadi organisasi yang kaku dalam bentuknya yang birokratis menjadi pemerintah yang mengambil peran mengarahkan, memberdayakan, orientasi pelayanan, orientasi wira usaha, memiliki visi untuk mengantisipasi perubahan masa depan, serta pendelegasian kewenangan melalui penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi.
Sejalan dengan itu Keniche Ohma dalam bukunya “The Boardless Word” atau Dunia tanpa batas, akibat globalisasi dimana informasi begitu cepat, transportasi yang dapat menghubungan belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya dalam waktu yang relatif seingkat, maka perekonomian pada saat itu juga sudah menjadi milik dunia, artinya semua orang atau pelaku bisnis apakah ia sebagai produsen atau ia sebagai konsumer, mereka punya hak dan kesempatan yang sama untuk menjual dan membelu produk yang dibutuhkannya dengan kualitas yang lebih serta harga yang tentunya lebih murah.
Oleh karena pelaku bisnis harus mempu menangkap peluang dan memanfaatkan peluang tersebut untuk kebesaran bisnisnya, betupula konsumen harus mampu memanfaatkan keadaan tersebut untuk mendapatkan produk yang lebih baik. Konsumen pada belahan dunia manapun dapat menentukan pilihan dan menggunakan hak tersebut.
Pada saat sistem perekonomian berlangsung seperti ini maka peran pemerintah pun mau tidak mau harus bergeser kalau mengingkan produk dari dalam negerinya dapat hidup dan menghasilkan profit. Peran pemerintah yang trdisional seperti memberikan proteksi terhadap produk dalam negerinya, tidak menjadi populer lagi, memberikan proteksi tidak mendidik bahkan menjerumuskan, karena dengan proteksi produsen yang diberikan proteksi tersebut tidak terbiasa dengan persaingan, dan ketika persaingan pada saatnya tiba produsen tersebut akan tergusur kalah bersaing.
Peran pemerintah lebih banyak pada peran bagaimana menjaga kelestarian lingkungan agar keseimbangan dan daya dukung lingkungan dapat dipertahankan. Pada era persaingan bebas satu hal yang dapat menjadi masalah adalah pada saat produsen melakukan eksploitasi dan eksplorasi secara tidak wajar, yang dapat merusak lingkungan. Karena bisa jadi produsen atau kalangan bisnis karena berupaya untuk mengejar keuntungan yang sebsar-besarnya tidak jarang mereka mengabaikan ekses yang terjadi seperti misalnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran.
Peran pemerintah yang lain adalah bagimana menyiapkan sumberdaya manusia yang handal, karena hanya dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan kuantitas yang baiklah yang akan mendukung industrialisasi, dengan sumber daya yang berkualitas menghasilkan tenaga kerja yang mampu mencipta dan melakukan penemuan-penemuan baru. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan terdidik membuat tenaga kerja menjadi lebih arif, sehingga walaupun dituntu untuk produktif tapi tidak meninggalkan nilai-nilai sosial dan lingkungan alam yang juga menjadi perhatiannya.
Uraian dari penulis kedua buku tersebut, kalau dicermati lebih jauh, pesan yang digagasnya memang relevan untuk diadopsi oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah yang ingin tetap eksis di tengah  ketatnya persaingan. Terutama kalangan negara-negara yang sudah terlanjur maju dan ingin tetap berada pada posisi unggul.
Menghadapi era globalisasi mempersyaratkan warga dunia, pemerintah lebagaga organsasi publik untuk menyiapkan diri dengan bekal, yakni teknologi dan kemampuan manajemen, bagi negara-negara yang sudah dulua maju bekal tersebut dengan sendirinya sudah melekat dan dimilikinya, sehingga mereka tinggal menyesuaikan diri dan memperbaharui dengan teknologi dan kemampuan manajemen yang lebih handal.
Pada negara-negara yang masih terkebelakang bahkan padan negara-negara berkembang sekalipun, mereka rata-rata masih minim kalau tidak mau dikatakan miskin akan teknologi dan kemampuan manajemen, tentunya keterbatasan ini menjadikan mereka tidak siap. Makanya pada saat mereka masuk dalam persaingan di era globalisasi bisa dipastikan bahwa mereka akan keteteran dan akan tertinggal, produk mereka akan ditinggalkan oleh pasar dunia, bahwa bisa jadi juga ditinggalkan oleh pasar domestiknya sendiri, sebagai akibat dari kalah bersaing dengan produk yang sama tapi dari negara lain dengan kualitas dan harga yang relatif lebih murah. Pada saat yang sama mereka akan menjadi pasar yang potensial bagi negara maju, yang pada akhirnya menjadikan produsen negara maju bertambah besar.
Globalisasi yang gemerlap dan menjanjikan harapan, akan menjadikan peluang dan kesempatan bagi negara-negara bangsa untuk lebih maju, tentunya mereka yang siap. Tapi bagi negara-negara yang tidak siap seperti negara-negara terkebelakang termasuk juga negara-negara berkembang seperti Indonesia, akan menjadi bulan-bulanan, bahkan lebih buruk bisa terjadi. Oleh karena, peran pemerintah bagi negara-negara belum siap seperti negara-negara terkebelakang dan negara berkembang tidak bisa tiba-tiba bergeser begitu saja, seperti meninggalkan sistem perekonomian pada mekanisme pasar. Pada beberapa hal terutama menyangkut kebijakan penguatan ekonomi dalam negeri masih harus ditangani oleh pemerintah.
Perusahaan dalam negeri dalam batas-batas tertentu masih perlu dilindungi dalam kerangka pemikiran untuk kepentingan nasional bukan dalam arti untuk kepentingan perusahaan tersebut, seperti dalam rangka untuk kestabilan harga dan persedian atau stock barang.
Pada negara-negara terkebelakang lembaga non pemerintah belum banyak yang dapat diandalkan untuk mengambil sebahagian peran pemerintah seperti peran pelayanan kepada masyarakat. Kalau peran tersebut diserahkan begitu saja kepada pihak lain lembaga non pemerintah sementara infra struktur mereka tidak siap maka dapat dipastikan wujud pelayan tidak akan maksimal.

Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan  ?
2.      Dalam era globalisasi pemerintah seharusnya mengambil posisi sebagai  katalis !,  Jelaskan
3.      Sebutkan nilai-nilai globaslisasi ? Jelaskan!
4.      Bagaimana seharusnya suatu pemerintahan Negara menyikapi    tuntutan globalisasi ?
5.      Uraikan penjelasan mengenai pandanga Keniche Ohma dalam bukunya “The Boardless Word” atau Dunia tanpa batas, lalu apa yang harus dilakukan oleh suatu Negara atau pemerintah ?

Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar  yang menyangkut tentang Globalisasi sebagailingkungan pemerintahan. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.

Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Gagasan untuk menggeser peran pemerintah dari peran yang dominan menjadi peran pada katalis, perlu melihat kultur negara dan pemerintahan itu sendiri. Pada kultur masyarakat yang lebih maju dan pemeritahan yang lebih modern dan demokratis maka pergeseran peran tersebut akan menjadi pemicu untuk kemajuan bangsa atau negara bersangkutan.
Pergesaran peran permerintah tersebut di atas kalau dilakukan pada negara dan kultur yang belum mendukung dan kondusif. Globalisasi yang menjanjikan harapan, maka bisa jadi harapan itu akan menjadi buyar dan sebaliknya akan menuai keterpurukan karena akan tertindas dan terlindas oleh negara yang sudah maju.
Sebagai tindakan yang arif dari pengelola pemerintahan adalah mengaodapsi nilai-nilai gobalisasi yang dapat memacu pertumbuhan dan laju perkembangan ekonominya. Namun secara selektif menentukan yang mana nilai-nilai tersesebut sesuai dengan kultur negaranya.
Karena globalisasi dan pasar bebas merupakan peluang dan kesempatan lebih luas bagi negara dan pemerintah serta pelaku bisnis untuk menjadi lebih besar dan ssemakin menguasai perekonomian. Tapi bagi negar-negara, pemerintah sserta pelaku bisnis yang tidak siap, maka globalisasi dan pasar bebas merupakan ancaman yang siap menerkam yang pada akhirnya membuat keterpurukan dengan berbagai eksesnya bagi negara yang tidak siap tersebut.












POKOK BAHASAN VIII
FUNGSI PEMERINTAH DALAM PELAYAN PUBLIK

Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
Di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, pelayanan publik menjadi salah satu indikator penilaian kualitas administrasi pemerintahan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Baik tidaknya admnistrasi publik atau pemerintahan dilihat dari seberapa jauh pelayanan publiknya sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan masyarakat (Thoha, 1997:2).
Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan birokrasi di Indonesia, terjadi di semua organisasi atau birokrasi pemerintahan (Rasyid, 1997), sebagaimana juga yang sering kali dimuat dan diliput dalam berbagai media massa. Kecenderungan tersebut terjadi baik di tingkat pemerintah pusat  maupun daerah, termasuk pada organisasi birokrasi pemerintahan daerah, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa.
Hal ini menjadi krusial ketika UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan dengan salah satu tujuannya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan bisa memberikan pelayanan yang lebih prima kepada masyarakat.  
Timbul pertanyaan apakah birokrasi sudah membawakan fungsi pelayanan dan perlindungan kebutuhan dan kepentingan masyarakat/publik ?. Realitas empirik saat ini menunjukan bahwa sikap dan tindakan birokrasi dalam pelayanan kepada masyarakat cenderung belum sesuai dengan yang diharapkan . Hal ini dapat dilihat dari sinyalemen, keluhan, kritik dan sorotan tajam berbagai kalangan terhadap birokrasi.
Masalah yang terjadi dalam proses hubungan atau pelayanan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, berdasarkan beberapa sinyalemen atau kritikan di atas, memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit dan implisit menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya kualitas dalam pelayanan. Realitas empirik menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi ingin dilayani masyarakat (Rasyid, 1996).
Dalam penyelanggaraan pelayanan masyarakat sebagai salah fungsi pemerintahan oleh pemerintah kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota Jambi,  menarik untuk dibahas  apalagi ketika  menjadi sorotan bagi masyarakat  akibat dari munculnya berbagai permasalahan dalam pelayanan mulai dari pembuatan KTP dan akta Capil, perijinan, sertifikat tanah hingga penyediaan sarana dan prasarana umum dan sosial, hal ini bisa ditemukan dari ungkapan masyarakat melalui media massa.
Dari studi berbagai studi disimpulkan bahwa masyarakat  yang pernah berurusan dengan pemerintah kecamatan menyangkut berbagai kebutuhan layanan publik, perilaku birokrat dalam memberikan pelayanan cenderung memperlihatkan kurang ramah, kaku, kurang transparan, tidak tepat waktu, minta dilayani, biaya yang relatif mahal, diskriminatif antara yang kaya dan miskin, antara yang punya orang dalam dengan yang tidak  punya.

Rounded Rectangle: KONSEP DAN METODE PELAYANAN
Pelayanan publik menjadi salah satu indikator penilaian kualitas administrasi pemerintahan dalam melakukan tugas dan fungsinya. Baik tidaknya admnistrasi publik atau pemerintahan dilihat dari seberapa jauh pelayanan publiknya sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan masyarakat (Thoha, 1997:2).
Kecenderungan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan birokrasi di Indonesia, terjadi di semua organisasi atau birokrasi pemerintahan (Kumorotomo, 1996, Rasyid, 1997), sebagaimana juga yang sering kali dimuat dan diliput dalam berbagai media massa. Kecenderungan tersebut terjadi baik di tingkat pemerintah pusat  maupun daerah, termasuk pada organisasi birokrasi pemerintahan daerah, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa.
Hal ini menjadi krusial ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan dengan salah satu tujuannya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan bisa memberikan pelayanan yang lebih prima kepada masyarakat.  
Timbul pertanyaan apakah birokrasi sudah membawakan fungsi pelayanan dan perlindungan kebutuhan dan kepentingan masyarakat/publik ?. Realitas empirik saat ini menunjukan bahwa sikap dan tindakan birokrasi dalam pelayanan kepada masyarakat cenderung belum sesuai dengan yang diharapkan . Hal ini dapat dilihat dari sinyalemen, keluhan, kritik dan sorotan tajam berbagai kalangan terhadap birokrasi.
Untuk itu birokrasi pemerintaha terutama Pemerintah Daerah dan perangkatnya, untuk saatnya berusaha meningkatkan kualitas pelayanannya, hal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi “siapa pelanggan atau yang memerlukan produk pelayanan” dan pada saat yang sama juga mengidentifikasi apa “kebutuhan pelanggan atau yang memerlukan pelayanan”, setelah itu diidentifikasi jenis-jenis pelayanan pada suatu organisasi/unit organisasi.
Oleh karenannya tujuan instruksional umum dari orientasi/proses pembelajaran ini  agar peserta dapat memahami konsep pelayanan umum/prima  sehingga mampu memberikan pelayanan umum/prima kepada masyarakat/pelanggan
Adapapun tujuan instruksional khusus dari orientasi/ pembelajaran ini adalah agar peserta mampu :
a.       Menjelaskan pengertian dan konsep pelayanan umum
b.      Menelaskan filosofi pelayanan umum
c.       Menjelaskan dimensi kualitas pelayanan umum
d.      Menjelaskan standar pelayanan yang baik
e.       Menjelaskan perilaku yang mencerminkan pelayanan yang baik
f.       Melakukan pemecahan masalah-masalah dalam memberikan pelayanan.

Rounded Rectangle: A. Pengertian Pelayanan
Menurut Munir (1995 : 16-17) “proses perubahan melalui aktivitas orang yang langsung dinamakan pelayanan”, arti pelayanan dapat digambarkan menurut contoh berikut : A memerlukan surat keterangan tentang jati diri sebagai pegawai di perusahaan X. B dalam ha ini petugas yang berwenang di perusahaan X tersebut membuat (memproses) surat dimaksud oleh A. Apa yang dilakukan oleh B inilah disebut pelayanan. Cotoh lain misalnya, ketika berada dalam bank seorang petugas akan melayani pelanggannya sesuai dengan kebutuhan, menabung, mengambil uang, mengtransfer uang dan lain, semua kegiatan yang dilakukan oleh petugas bank tersebut disebut melayani.
Dengan demikian ada dua istilah yang perlu diketahui, dan keduanya saling terkait, yakni “melayani” dan “pelayan”. Pengertian melayani adalah adalah “membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang”. Sedangkan pelayanan adalah “ Usaha melayani kebutuhan ornag lain (kamus Bahasa Indonesia, 1995). Dari dua pengertia tersebut disimpulkan  bahwa “Pleyanan adalah suatu usaha  untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Rounded Rectangle: B. Kualitas
Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono, 1996 : 51) mendefiniskan kualitas secara lebih luas cakupannya : “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Selanjutnya Triguno (1997 : 76) mengartikan kualitas sebagai :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya mansuia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.
Kata “kualitas” mengandung  pengertian antara lain :
1)      Kesesuaian dengan persyaratan
2)      Kecocokan dengan pemakaian
3)      Perbaikan berkelanjutan
4)      Bebasa dari kerusakan
5)      Pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat;
6)      Melakukan segala sesuatu secara benar;
Sesuatu yang bisa menyenangkan dan membahagiakan pelanggan (Tjiptono & Diana, TQM, 1996)
Menurut Wycof (dalam Tjiptono, 1996 : 59) “kualitas jasa/layanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Ini berarti bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas layanan/jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa/layanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal, sebaliknya bila jasa/layanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan akan dipersepsikan buruk.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa/layanan tergantung pada kemampuan penyediaan jasa/layanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada persepsi pelangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang/jasa yang m,enunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan. Kualitas sering juga diartikan  sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.

Rounded Rectangle: FILOSOFI PELAYANAN MASYARAKAT
Kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi) dan dilakukan secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995 : 41) bahwa: “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan”.
Dilihat dari sisi pemerintahan maka pelayanan adalah proses kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat berkenaan dengan hak-hak dasar dan hak pemberian, yang wujudnya dapat berupa jasa dan layanan. Bagi pemerintah, masalah pelayanan menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan (Rasyid, 1997 : 48).

Masalah yang terjadi dalam proses hubungan atau pelayanan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, berdasarkan beberapa sinyalemen atau kritikan di atas, memberi gambaran bahwa keberadaan birokrasi secara eksplisit dan implisit menjadi salah satu penyebab rendah dan kurangnya kualitas dalam pelayanan. Realitas empirik menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi ingin dilayani masyarakat (Kumorotomo, 1996, Rasyid, 1996).

Dalam konteks hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dimana ada masyarakat di sana ada (diperlukan) governance (Ndraha, 1997b:68). Pemerintahan adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi, atau menjual alat pemenuh kebutuhan rakyat berbentuk jasa-publik dan layanan civil (Ndraha, 1997b:73).
Dalam kaitan itu, kegiatan pelayanan publik dalam prosesnya menunjukkan hubungan dan interaksi antara  pemberi pelayanan (pemerintah) dan penerima pelayanan (rakyat/masyarakat). Oleh karena itu Hubungan tersebut, menurut Ndraha (1997b:86) adalah hubungan yang sejajar dengan hubungan antara produser/penjual/distributor dengan konsumen/pembeli/  distributee. Dengan bertolak pada konsep putting people first, maka dalam  hubungan tersebut tolok ukur atau standar pelayanan. Lebih lanjut Ndraha  (1997b:88) mengatakan “ibarat orang yang makan di mana yang menilai enak tidaknya suatu hidangan pada akhirnya bukan juru masak tetapi orang yang makan (konsumer) masakan yang bersangkutan secara pribadi, sadar dan individual”.
Baik buruknya pelayanan, menurut Kotler (dalam Tjiptono, 1996:61) dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Dengan demikian, kualitas pelayanan ditentukan sejauh mana persepsi masyarakat sebagai pelanggan atau konsumen terhadap pelayanan yang diterimanya. Dengan kata lain, kualitas selalu berfokus pada pelanggan atau masyarakat.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas, maka organisasi publik atau pemerintah harus mengetahui dan memahami segala tuntutan, keinginan, harapan atau tingkat kepuasan pelanggan. Secara praktis, kualitas pelayanan antara lain berkaitan dengan pelayanan yang lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif dan produktif, marketable (memuaskan) dan profesional (Pamungkas, 1996:207; Rasyid,1997:100; Supriatna,1997: 56).
Setelah mengetahui standar kualitas pelayanan publik, selanjutnya adalah bagimana mewujudkan kualitas pelayanan publik tersebut. Untuk menuju pada kualitas pelayanan yang baik, maka hal penting yang perlu dikaji adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas ? Telah dikemukakan bahwa kualitas pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintahan yang sesuai atau melebihi persepsi, tuntutan, keinginan, kebutuhan, harapan, situasi dan kondisi masyarakat yang menciptakan kepuasan masyarakat. Dari batasan itu menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi sebagai pemberi pelayanan merupakan aspek yang penting dan menentukan dalam perwujudan pelayanan publik  yang berkualitas.
Penyelenggaraan pelayanan publik sangat terkait dengan birokrasi pemerintahan. Kualitas pelayanan sebagai ekspresi dari pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi menurut Thoha (1987:185) adalah bagaimana sikap dan aktivitas birokrasi, yang secara eksplisit berdasarkan pendekatan psikologi dan perilaku organisasi.
Rounded Rectangle: DIMENSI KUALITAS PELAYANAN YANG BAIK
                Aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat, memiliki ciri-ciri tata laksana yang dapat memuaskan masyarakat. Untuk hal ini kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) melalui surat keputusan nomor 81/1993, memberikan pedoman yang menjadi acuan umum bagi instansi pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk BUMN/BUMD.
            Dalam pedoman tersebut dijelaskan bahwa pelayanan umum harus diatur dalam tata laksana yang mengandung unsur-unsur (sendi-sendi), antara lain sebagai berikut :
1.    Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tata cara pelayanan umum diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, mudah dilaksanakan.
2.    Kejelasan dan Kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
-       Prosedur/tata cara pelayanan
-       Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif
-       Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
-       Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/kelengakapannya sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum
-       Pejabat yang menerima keluhan masyarakat.
3. Keamanan, dalam arti proses dan hasil pelayanan umum dapat m,emberikan keamanan dan kenyamanan serta memberikan kepastian hukum.
4. Keterbukaan, dlam arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
5.    Efesiensi, dalam arti :
-       Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayaann dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan;
-       Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan, dalam proses pelayananannya mempersyaratakan kelengkapan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6.      Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
-       Nilai barang/jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya tinggi diluar kewajaran;
-       Kondisi dan kemampuan masyarakatuntuk membayar secara umum;
-       Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7.        Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
8.        Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan.
Rounded Rectangle: A. Pengertian Kualitas
Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono, 1996 : 51) mendefiniskan kualitas secara lebih luas cakupannya : “Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Selanjutnya Triguno (1997 : 76) mengartikan kualitas sebagai :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya mansuia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.
Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. Menurut Triguno (1997 : 78) pelayanan / penyampaian terbaik, yaitu “melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu”.
Menurut Wycof (dalam Tjiptono, 1996 : 59) “kualitas jasa/layanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Ini berarti bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas layanan/jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas jasa/layanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal, sebaliknya bila jasa/layanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan akan dipersepsikan buruk.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa/layanan tergantung pada kemampuan penyediaan jasa/layanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada persepsi pelangan.
Rounded Rectangle: B. Pelayanan Masyarakat
Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering disebut sebagai “Pelayan Masyarakat” (public service). Dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, belum sepenuhnya dapat diselenggarakan dengan baik, masih banyak aparat pelaksanan pemberi pelayanan kurang mem ahami betapa pentingnya  pelayanan yang baik kepada masyarakat atau mungkin tahu tapi tidak mau dan mampu untuk memberikan pelayanan yang baik.
Dalam pemberian pelayanan oleh aparatur ini, bahkan sering muncul ungkapan “kalau dapat dipersulit, mengapa dipermudah ?”, dan ini banyak yang dianut oleh aparat, gejala ini menunjukkan bahwa betapa aparat pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan belum sadar mengenai posisinya sebagai pelayan masyarakat
Apa yang dimaksud dengan pelayanan ?. Menurut Munir (1995 : 16-17) pelayanan adalah  “proses perubahan melalui aktivitas orang yang langsung dinamakan pelayanan”, arti pelayanan dapat digambarkan menurut contoh berikut : A memerlukan surat keterangan tentang jati diri sebagai pegawai di perusahaan X. B dalam ha ini petugas yang berwenang di perusahaan X tersebut membuat (memproses) surat dimaksud oleh A. Apa yang dilakukan oleh B inilah disebut pelayanan.
Kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi) dan dilakukan secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1995 : 41) bahwa: “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apapun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan”.
Dilihat dari sisi pemerintahan maka pelayanan adalah proses kegiatan pemenuhan kebutuhan masyarakat berkenaan dengan hak-hak dasar dan hak pemberian, yang wujudnya dapat berupa jasa dan layanan. Bagi pemerintah, masalah pelayanan menjadi semakin menarik untuk dibicarakan karena menyangkut salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan (Rasyid, 1997 : 48).
Pengelompokkan jenis pelayanan umum pada dasarnya dilakukan dengan melihat jenis jasa yang dihasilkan oleh suatu institusi. Jasa itu sendiri menurut Kotler (194) adalah “setiap tindakan ataupun perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud fisik (intagible) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa dapat berhubungan dengan produk fisik maupun tidak”
Berdasarkan definisi jasa sebagaimana dikemukakan di atas, Tjiptono (1996:8-13) menyimpulkan pendapat berbagai ahli mengenai jenis-jenis jasa sebagai berikut :
1)      Dilihat dari pangsa pasarnya, dibedakan antara :
a.       Jasa kepada konsumen akhir
b.      Jasa kepada konsumen organisasional
2)      Dilihat dari tingkat keberwujudannya (tangibility), dibedakan antara :
a.       Jasa barang sewaan (rented goods service)
b.      Jasa barang milik konsumen (owned goods service)
c.       Jasa untuk bukan barang (nongoods service)
3)      Dilihat dari keterampilan penyedia jasa, dibedakan antara :
a.       Pelayanan profesional (profesional service)
b.      Pelayanan non profesional (nonprofesional service)
4)      Dilihat dari tujuan organisasi, dibedakan menjadi :
a.       Pelayanan komersional (commercial of profit service)
b.      Pelayanan nirlaba (nonprofit service)
5)      Dilihat dari pengaturannya, dibedakan menjadi :
a.       Pelayanan yang diatur (regulated service)
b.      Pelayanan yang tidak diatur (nonregualted service)
6)      Dilihat dari intensitas karyawan dibedakan menjadi :
a.       Pelayanan yang berbasis pada alat (equipment based service)
b.      Pelayanan yang berbasis pada orang (people based service)
7)      Dilihat dari kontak penyedia jasa dan pelanggan, dibedakan menjadi antara :
a.       Pelayanan dengan kontrak tinggi (high contact service)
b.      Pelayanan dengan kontrak rendah (low contact service)
Berkaitan dengan pengertian dan jenis pelayanan umum tersebut di atas, dan dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintahan, secara derivatif tugas-tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut : (1) pelayanan yang berkaitan dengan kependudukan; (2) pelayanan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ketertiban dan keamanan, (3) pelayanan yang berkaitan dengan perijinan; (4) pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan; (5) pelayanan yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan masyarakat; (6) pelayanan yang berkiatan dengan pengembangan perekonomian masyarakat; (7) pelayanan yang berkaitan pembinaan pemuda, wanita dan persatuan dan kesatuan bangsa; (8) pelayanan yang berkaitan dengan pembinaan sosial budaya; (9) pelayanan yang berkaitan dengan tugas pembantuan seperti pembayaran PBB;  (10) pelayanan admnistrasi surat menyurat bagi kepentingan masyarakat; dan pelayanan lainnya.
Rounded Rectangle: C. Dimensi Kualitas Layanan Publik
D.
Menurut Pararusman dan kawan-kawan (dalam Tjiptnono, 1996 : 70), ada lima dimensi dalam menilai kualitas jasa atau pelayanan, yaitu :
1.      Tangibles; tercermin pada fasilitas fisik, peralatan, personil dan bahan komunikasi.
2.      Realibility; kemampuan memenuhi pelayanan yang dijanjikan secara terpercaya, tepat
3.      Responsiveness; kemamuan untuk membantu pelanggan dan menyediakan pelayanan yang tepat
4.      Assurance; pengetahuan dari para pegawai dan kemampuan mereka untuk menerima kepercayaan dan kerahasiaan
5.      Emphathy; perhatian individual diberikan oleh perusahaan kepada para pelanggan.

Lebih lanjut menurut Kotler (dalam Supranto,1994 : 561) terdapat lima determinan kualitas pelayanan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.      Keterandalan (realibility);  kemauan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya
2.      Keresponsifan (responsiveness); kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat atau ketanggapan
3.      Keyakinan (confidence); pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau assurance
4.      Empati (empathy); syarat untuk peduli, memberikan perhatian, pribadi bagi pelanggan
5.      Berwujud (tangible); penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi.
6.       
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Pararusman, dan Kotler, terdapat 5 dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan. Dalam penelitian ini dimensi tersebut dirumuskan dengan menggabungkan kedua pendapat tersebut.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Parausman dan Kotler terdapat 5 dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan. Dalam penelitian ini dirumuskan dengan menggabungkan kedua pendapat tersebut, yakni : (1) sarana pelayanan dalam menunjang pemberian pelayanan, (2) keandalan terhadap metode sistem pelayanan yang efektif dan efisien, (3) jaminan akan keamanan dan privacy terhadap produk pelayanan, (4) harga produk layanan yang terjangkau dan proporsi serta adil, (5) ampati atau tingkat hubungan yang intens dan saling menghargai serta menghormati antara pemberi pelayanan dengan publik yang dilayani.

Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan praktek pelayanan yang buruk dalam pelayanan public oleh organisasi pemerintahan yang saudara ketahui ?
2.      Jelaskan pengertian pelayanan umum pemerintahan ?
3.      Sebutkan dan jelaskan dimensi-dimensi kualitas pelayanan public ?
4.      Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis pelayanan ?
5.      Berikan penjelasan saudara tentang strategi peningkatan pelayanan public ?,  au?
6.      Uraikan penjelasan saudara tentang berbagai implementasi e-governmen dalam pemberian pelayanan pemerintahan ?
Rounded Rectangle: PETUNJUK  JAWABAN  LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar  yang menyangkut tentang peran dan fungsi pelayanan public oleh pemerintah. Untuk menjawab semua soal di atas jawab dengan seksama hingga paham, agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, organisasi pemerintah sering disebut sebagai “Pelayan Masyarakat” (public service). Dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, belum sepenuhnya dapat diselenggarakan dengan baik, masih banyak aparat pelaksanan pemberi pelayanan kurang mem ahami betapa pentingnya  pelayanan yang baik kepada masyarakat atau mungkin tahu tapi tidak mau dan mampu untuk memberikan pelayanan yang baik.
Berkaitan dengan pengertian dan jenis pelayanan umum tersebut di atas, dan dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintahan, secara derivatif tugas-tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut : (1) pelayanan yang berkaitan dengan kependudukan; (2) pelayanan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ketertiban dan keamanan, (3) pelayanan yang berkaitan dengan perijinan; (4) pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan; (5) pelayanan yang berkaitan dengan pengawasan kegiatan masyarakat; (6) pelayanan yang berkiatan dengan pengembangan perekonomian masyarakat; (7) pelayanan yang berkaitan pembinaan pemuda, wanita dan persatuan dan kesatuan bangsa; (8) pelayanan yang berkaitan dengan pembinaan sosial budaya; (9) pelayanan yang berkaitan dengan tugas pembantuan seperti pembayaran PBB;  (10) pelayanan admnistrasi surat menyurat bagi kepentingan masyarakat; dan pelayanan lainnya.









POKOK BAHASAN IX
KODE ETIK PROFESIONALSME KEPAMONGPRAJAAN
Rounded Rectangle: PENGERTIAN :
Etika -- bahasa Yunani:  ethos =  kebiasaan, watak atau adat
            bahasa Perancis: etiquette= etiket berarti kebiasaan atau cara bergaul, berprilaku yang baik.
Dalam Ensiklopedi Indonesia, “etika” disebut sebagai ”Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dal\m masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk”. Dari definisi atau pengertian tersebut ini dapatlah disimpulkan bahwa etika selalu dihubungkan dengan adat istiadat atau kebiasaan manusia, baik itu merupakan kebiasaan yang baik maupun kebiasaan yang menyimpang atau kebiasaan buruk, bagaimana manusia seharusnya bersikap tindak di dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Aristolteles (dalam Nondi & Romli, 2003), memberikan istilah Ethica dalam 2 pengertian, yaitu ; “kesusilaan” dan “kumpulan peraturan”. Maka dapat diartikan bahwa Ethica adalah setiap kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa menjadi seperangkat peraturan kesusilaan. Etika lebih merupakan pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan, pergaulan seseorang atau sesuatu organisasi tertentu, pandangannya, seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan atau diterapkan itu bersifat baik atau buruk.
Dalam kenyataan kehidupan sosial, semua masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan hukuman bagi pelanggarnya. Namun sebaliknya yang terjadi apabila perilaku tersebut dianggap ideal, akan mendapat imbalan (reward) yang sepadan.
Dengan demikian fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi deimensi meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, yang kesemuanya memerlukan etika termasuk di dalamnya kehidupan birokrasi
Lebih lanjut dapat disampaikan beberapa unsur yang menjadi landasan atau hal-hal yang membentuk etika sebagai berikut :
Ø  Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip- prinsip moral tentang baik dan buruk  dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial;
Ø  Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan), tata sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara.
Ø  Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan.
Ø  Etika berupa :  etika umum ( etika sosial ) dan etika khusus      ( etika pemerintahan ).
Ø  Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang profesional  yaitu code etik PNS, code etik kedokteran, code etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya.
Menurut Max Weber, ciri-ciri legitimasi etis adalah,
1)      Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat;
2)      Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideologi;
3)      Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest).
Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai. Setidak-tidaknya dalam organisasi dikenal 3 (tiga) macam etika, yaitu etika individu, etika organisasi, dan etika profesi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk perilaku orang per orang (individu), dalam hubungannya dengan individu lain. Sementara etika organisasi itu sendiri menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika persorangan yang justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi abdi masyarakat (public servant).
Etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara kaku atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Etika profesional yang dikembangkan dan dilembagakan dalam bentuk "kode etik". Kode etik ini memperkuat dengan sistem hukum atau mengikat secara moral dalam menjalankan tugas profesinya.
1.Tugas Pemerintahan
Menurut Ryaas Rasyid (2000) secara  hakiki Tugas Pemerintahan terdiri dari tiga domain: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan   pembangunan (development).
Dari segi etik, maka keberhasilan Pemerintah, birokrasi atau Pamong Praja di dalam memimpin pemerintahan  harus diukur dari kemampuannya  mengemban tiga fungsi tersebut. Etika birokrasi atau etika pemerintahan  sebaiknya dikembangkan  dalam upaya mencapai misi itu. Sehingga setiap tindakan yang tidak sesuai, tidak mendukung  apalagi  yang menghambat pencapaian misi itu  - sebaiknya sudah termasuk melanggar etika.
Pamong praja yang juga termasuk kelompok penyelenggara (aparat) pemerintah sipil kewilayahan bertugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat. Sehingga masyarakat memperoleh hak-haknya secara aman. Hak sebagai warga negara diatur dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya yang melekat sebagai hak asasi manusia. Hak tersebut adalah, hak hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk menerima upah yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk ber-domisili di mana pun dalam wilayah Republik ini, hak untuk mendapatkan pelayanan, dan lain-lain. Untuk dapat melaksanakan tugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat maka Pamong Praja memerlukan segenap persyaratan formal, etika, pengetahuan dan keterampilan tertentu sesuai dengan bidang tugas dihadapi (Syafri:2008).
Lebih lanjut, masih dalam Syafri (2008:86) tujuan akhir dari pelaksanaan tugas Pamong Praja adalah terciptanya rasa aman bagi masyarakat yang dilayani. Aman di sini sekurang-kurangnya mengandung atau meliputi 4 (empat) hal yaitu:
1. Security :              Perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;
2.Surety      :             Kemantapan hati atau perasaan bebas dari keragu-raguan;
3.Safety      :             Perasaan bebas dari kemungkinan adanya risiko;
4.Peace       :             Perasaan damai lahiriah clan batiniah (tanpa beban).
Dengan terciptanya rasa aman tersebut, maka masyarakat merasa terlindungi clan terayomi yang pada gilirannya menum­buhkan keci.ntaan masyarakat terhadap korps Pamong Praja. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, maka diperlukan seperangkat acuan dalam bentuk Kode Etik/Etika Profesi PamongPraja.
2 Azas Penyelenggaraan Pemerintahan
Setiap pamong praja memiliki wewenang clan tanggung jawab dalam tugas melayani, melindungi clan mengayomi masyarakat, batas wewenang dan tanggung jawab tersebut di
samping termuat dalam tugas pokok dan fungsi masing-masing juga terikat dengan azas-azas/prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa azas umum penyelenggaraan pemerintahan menurut Crince Le Roy (dalam Hoesen Koesoemaatmadja, 1990 : 107-148) antara lain adalah sebagai berikut.
a.       Azas kepastian hukum (rechtxzeker~nse4-principle of legal Setiap keputusan atau ketetapan yang diambil harus berdasar hukum clan akibat yang ditimbulkan menjamin kepastian hukum, sehingga aparat penyelenggara layanan maupun masyarakat yang dilayani mendapatkan ketenangan.
b.      Azas kesamaan dalam mengambil keputusan (gelijk­heidsbThw4Pincole ~fquality) Azas ini menghendaki untuk mengambil tindakan yang sama dalam memecahkan kasus yang faktanya sama (must act in case the fartsarealike on the same zexry)
c.    Azas bertindak cermat (zorgvsddigheidsbeginsel; principle of carefi+lnez) Setiap tindakan atau keputusan yang akan diambil harus dipikirkan secara cermat untuk tidak merugikan orang lain maupun dm sendiri.
d.      Azas motivasi untuk setiap keputusan (motiveringsbeginsel; Pri.-x* ofmo6vation)Setiap tindakan atau keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan-alasan yang jelas clan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hu.kum.
e.       Azas tidak menyalahgunakan wewenang (verbod van detournementdepouznir, pri„cipleof„o,t_mis~ ofcompetence) Tidak menggunakan wewenang untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lain di luar kepentingan umum yang dimaksud peraturan perundangan yang menjadi dasar wewenang itu.
f.        Azas keadilan dan laranagn bertindak sewenang-wenang (mr~d#kbe~ ofwrbod uzn wdkkeur) Setiap tindakan clan keputusan yang diambil harus dapat memenuhi rasa keadilan, dan melarang aparat bertindak sewenang-wenang karena tindakan semacam itu menghapus keadilan.
g.      Azas pemenuhan harapan (opgewekte verwachtingen) Setiap tindakan dan keputusan yang diambil harus dapat memenuhi harapan atau paling tidak memberi harapan kepada warga negara (masyarakat).
h.      Azas perlindungan privasi (bescherming van de persoonlijke Kebebasan berekspresi dan hak-hak pribadi harus dapat terlindungi sejauh tidak melanggar ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan azas kesusilaan dan moral Pancasila.
Dalam perkembangan selanjutnya azas atau prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah menuju kepemerintahan yang baik (goodgm)errlance menurut UNDP adalah:
  1. Participation. Setiap warga negara mempunyai hak suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakdi kepenungannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif;
  2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk menegakkan hak azazi manusia;
  3. Transparancy. Transpar.insi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secaxa langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor,
  4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus melayani setiap stakeholders;
  5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk mernperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan lebih luas dalam hal kebi jakan maupun prosedur;
  6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan dan menjaga kesejahteraan mereka;
  7. Effectiveness and Efficiency. Proses-proses dan lembaga­lembaga menghasilkan sesuai apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik
  8.  Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders;
  9. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam itu.
3 Etika Profesi
Berbicara etika berarti berbicara tentang baik dan tidak baik atau kepantasan dan ketidakpantasan dari suatu tingkah laku, yang sifatnya sangat relative. Apa yang baik dan pantas dilakukan di satu tempat pada suatu waktu mungkin tidak baik dan tidak pantas untuk dilakukan pada tempat lain. Saat ini memegang atau mengusap-usap kepala atau janggut orang lain di Indonesia dianggap tidak etis, tidak baik dan tidak pantas karena budaya kita menganggap kepala sebagai lambang kehormatan dan sekaligus kesakralan. Akan tetapi di sebagian dunia Arab dan Eropa memegang kepala atau janggut dianggap sebagai pertanda kedekatan hubungan emosional, karena itu memegang kepala orang Eropa atau memegang janggut orang Arab tidaklah bertentangan dengan nilai etika, akan tetapi memegang pantat orang Arab atau antara pusar sampai lutut dianggap sangat tidak etis bahkan kurang ajar.
Bagi mayoritas etnis di Indonesia, memiliki istri lebih dari satu dianggap tidak baik, akan tetapi bagi salah satu suku di Papua memiliki istri banyak dianggap sebagai hal yang lumrah karena terkait dengan fungsi istri sebagai tenaga kerja dalam rumah tangga. Semakin banyak istri berarti semakin banyak tenaga kerja dan ha1 disebut terakhir memungkinkan keluarga itu untuk mendapatkan lebih banyak harta atau sumber-sumber pendapatan yang lain bagi kehidupan keluarga bersangkutan.



4. Ukuran etika
Meskipun etika bersifat relatif, akan tetapi ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau etis dan tidak baik atau tidak etis yaitu:
1. Nilai-nilai atau norma yang hidup di tengah rrtasyarakat
Setiap masyarakat memiliki sistem nilai tersendiri yang mengatur pola interaksi antar sesama warganya. Pola interaksi tersebut menjadi pedoman atau standard baku dalam pergaulan hidup sehari-hari. Apa yang baik dan tidak balk terbentuk atas kesepakatan bersama yang harus dijalankan dan ditaati bersama. Penyimpangan terhadap kesepakatan bersama yang telah menjadi -way of life"tersebut dianggap sebagai tidak baik dan dapat mengganggu harmonisasi dalam komunitas, sebaliknya sepanjang pola interaksi masih dalam jalurkesepakatan bersama, maka dianggap sebagai sesuatu yang baik, karena mendukung keberlanjutan kesepakatan komunitas. Sistem nilai tidak tertulis ini kemudian terakumulasi menjadi adat istiadat.
2. Sistem kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat
Setiap agama terutama agama samawi mengajarkan tentang pola interaksi yang baik antar sesama makhluk Tuhan (manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan) dan manusia dengan penciptanya yaitu Tuhan YME. Kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama akan menjadi.kan seseorang dinilai baik di mata manusia maupun di hadapan Tuhan YME. Kepatuhan atau ketaatan beragama tidaklah muncul dengan sendirinya. Pada tahapan awal memerlukan pengenalan dan pembelajaran sehingga timbul pemahaman secara benar yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan (biasanya dilakukan oleh seorang muslim yang sebelumnya beragama non muslim), atau sebaliknya dimulai dari meyakini dulu baru mempelajari lebih mendalam (biasa dilakukan oleh muslim ketiu-unan, terlahir dari orang tua muslim). Akan tetapi agama tidak sebatas meyakini, memerlukan implementasi sejumlah kewajiban yang disyariatkan, kinerja dari pemahaman, keyakinan, dan implementasi kewajiban ini termanifestasi dalam tingkah laku yang baik dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
3.Peraturan penumdang-undazgan
Pada dasarnya setiap aktivitas tingkah laku dan perbuatan manusia tidak pernah lepas dari aturan baik dalam  kesendirian terlebih lagi dalam interaksi antar sesama manusia. Di kannar mandi pada saat akan mandi terdapat aturan, misalnya buka baju dulu lalu menyiram badan dengan air kemudian menyabun badan, menyiram badan kembali dengan air, dan terakhir mengeringkan badan dEngan handuk Main layang-layang ada aturan, misalnya untuk mengadu layangan memerlukan kesepakatan kedua pihak (pada daerah tertentu) atau memberi ekor pada layangan sebagai pertanda tidak bisa diadu. Aturan-aturan tersebut tidak temilis dan hal tersebut sering tidak disadari oleh banyak orang.
Orang biasanya merasakan adanya aturan ketika terdapat peraturan tertulis yang mengatur dan melandasi suatu perbuatan balk dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan dan lain-lain. Bagi seorang pegawai, pimpinan atau bawahan, aturan tertulis ini sangat peaing artmya sebagai sumber kewenangan dan tanggung jawab atas bidang tugasnya dan menjadi pedoman dasar dalam bekerja dan berperilaku atau berinteraksi dengan pihak lain.
Penyimpangan perilaku atas ketiga hal tersebut secara ber­sama-sama atau salah satu di antaranya dianggap tidak baik atau tidak etis. Melanggar sisteni nilai atau adat yang berlaku sering dikatakan orang sebagai tidak beradat/tidak beradab. Misal ketika kita datang ke tempat orang yang tertimpa musibah, salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia. Adat mengajarkan agar kita menunjuk.kan rasa simpati dan ikut berduka cita dengan berbicara secara lembut, akan tetapi kalau kita berbicara keras dan tertawa terbahak-bahak, maka kita dianggap orang tidak beradat karena telah melakukan ketidakpantasan atau melakukan sesuatu yang tidak etis.
Agama mengajarkan kepada kita untuk menghormati orang tua, apakah orang tua kandung atau orang lain yang lebih tua dari kita. Agama juga mengajarkan untuk menghormati guru, kyai, ulama yang telah memberi kita ilmu, tidak peduli lebih muda atau lebih tua usianya dari kita. Akan tetapi ketika kita tidak melakukan ajaran itu karena kita merasa lebih pintar, lebih kaya, lebih tinggi jabatannya, maka saat itu pula kita dikatakan orang yang tidak berperilaku balk atau tidak beretika.
Demikian juga pelanggaran terhadap aturan-aturan tertulis, di kantor misalnya, telah ada aturan bahwa yang berhak mengirim surat keluar, menandatangani kerja sama atau perjanjian dengan pihak lain adalah pimpinan instansi tempat kit~ bekerja. Terdapat aturan yang jelas tentang hierarki organisasi yang mengatur pola hubungan kerja internal dan alur surat menyurat. Ketika seorang pegawai melanggar aturan tersebut dengan berkirim surat keluar dan melakukan kerja sama melalui penandatanganan piagam kerjasama dengan pihak lain tanpa sepengetahuan pimpinan organisasi, maka pegawai bersangkutan dapat dikatakan tidak tahu aturan dan tidak etis.
5. Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai suatu bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian/keterampilan dan aturan tertentu dengan mendapat imbalan berupa uang. Pegawai negeri, konsultan, pengacara, pilot, penyanyi, atau pelawak misalnya adalah suatu profesi, karena pegawai negeri, konsultan, pengacara, pilot, penyanyi, atau pelawak adalah satu bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian/keterampilan dan dengan suatu aturan tertentu serta menghasilkan uang sebagai gaji, imbalan, upah atau honorarium.     ,
Dengan demikian unsur-unsur dari suatu profesi adalah:
1.Adanya bidang pekerjaan tertentu
Bidang pekerjaan ini merupakan arena untuk menerapkan suatu keahlian/ keterampilan. Pamong praja yang tergabung dalam pegawai negeri sipil memiliki bidang pekerjaan sesuai tugas yang dibebankan kepadanya (camat, lurah, satpol PP, kepegawaian, atau lainnya).
2.Memiliki keahlian atau keterampilan tertentu
Setiap pekerjaan memerlukan persyaratan keahlian atau keterampilan tertentu sesuai dipersyaratkan oleh pekerjaan itu. Tanpa keahlian atau keterampilan tertentu pamong praja tidak mungkin dapat melaksanakan tugas sesuai diharapkan.
3.Memiliki aturan tertentu
Bidang pekerjaan tertentu dengan persyaratan keahlian atau keterampilan tertentu harus dikerjakan berdasarkan aturan tertentu sebagai pedoman dalam bekerja dan bertingkah laku serta sebagai dasar dalam pemberian upah.
4.Memiliki organisasi
Sebuah profesi memerlukan sebuah organisasi sebagai wadah komunikasi dalam menunjang profesi yang digeluti, dan dengan organisasi itu etika profesi dapat dibuat dan diterapkan.

6. Persyaratan Pamong Praja
Agar pamong praja dapat melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat diperlukan suatu persyaratan. Persyaratan dimaksud adalah:
(1) Persyaratan formal seperti:
  1. Berpendidikan (memiliki ijazah) tertentu;
  2. Memiliki kemampuan ketrampilan tertentu yang di prasyaratkan bidang pekerjaan yang dihadapi.
(2) Persyaratan psikologis yaitu kreteria persyaratan mental/ kejiwaan (emosional) yang menunjang pelaksanaan tugas melayani yang meliputi:                                '
  1. Kestabilan emosional
Kemampuan mengendalikan emosi, mampu mengendalikan perasaan, sabar, tidak mudah tersinggung dan cepat marah atau meledak-ledak;
  1. Menghormati dan menghargai orang lain. Memperlakukan orang lain secara bermartabat, tidak melecehkan kehormatan orang lain, menghargai kepentingan orang lain dan tidak merendahkan (under-estimccte) terhadap kemampuan orang lain;
  2. Mampu bergaul secara luas
Tidak mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial dengan pihak lain dari berbagai lapisan masyarakat dalam kehidupan sehari-hart maupun dalam memasuki situasi sosial baru;

  1. Ulet dan tekun
Mampu mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan, teliti dan tidak gampang menyerah atau putus asa;
  1. Mampu ber-empati
Dapat memberi perhatian dan ikut merasakan kebutuhan dan kesulitan orang lain, sehingga timbul keinginan untuk melayani sebaik-baiknya;
  1. Memiliki sikap tegas
Tegas dalam menerapkan aturan, namun fleksibel atau luwes dalam memenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat yang mendesak;
  1. Inisiatif dan tanggung jawabDapat melaksanakan pekerjaan yang merupakan bidang ttigasnya tanpa menunggu dorongan atau perintah orang lain secara bertanggung jawab;
  2. Mampu bertindak adil
Memberikan pelayanan kepada semua orang yang membutuhkan pelayanan dengan tidak membeda­bedakan status, pangkat, suku, dan agama.
(3) Menguasai keterampilan teknis tertentu. Keterampilan teknis yang perlu dikuasai antara lain:
a.       Dapat mengoperasionalkan teknologi yang ada sepprti; mesin ketik, komputer, note book/lap top, mesin penghitung, kalkulator, dan lain-lain;
b.      Memahami segenap peraturan, petunjuk pelaksana Ouklak), petunjuk teknis (juknis), dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan bidang tugas yang dihadapi;
c.       Menguasai cara pengisian secara benar segala macam bentuk formulir, format, blanko, dan mampu membuat dan menjelaskan tabel, grafik, atau gambar yang terdapat pada bidang pekerjaan yang digeluti.
7. Etika Profesi Pamong Praja
Pada dasarnya kebutuhan akan pelayanan pemerintah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang pendidikan, golongan, suku, agama, dan wdat istiadat. Agar pelayanan pamong praja dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka pelayanan harus dilakukan berdasarkan rumusan etika profesi pamong praja yaitu: sopan, melayani, melindungi, dan mengayomi atau disingkat "Sopyan linomi" dengan uraian sebagai berikut.
(1) Sopan
Sopan menunjuk pada suatu perbuatan atau tingkah laku yang selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, susila, maupun norma-norma yang terkandung dalam adat istiadat. Sopan dalam tindakan atau perilaku bersumber dari rasa sopan dalam sanubari, oleh karena itu sopan dapat dibagi:
a.Sopan dalam sikap batin
Perasaan menghargai dan menghormati orang lain, tidak mengang;ap diri lebih segalanya dari orang lain, tidak congkak, tidak sombong. Bahwa dirinya memiliki kelebihan kareua berpendidikan tinggi, memiliki jabatan dan berpangkat bukanlah alasan untuk tidak menghormati orang lain karena orang lain pun memiliki kelebihan yang tidak kita miliki
 b.Sopan dalam sikap lahir
Sikap lahir menunjuk pada penampilan fisik petugas pemberi pelayanan. Tidak semua orang mendapat anugerah kecantikan atau ketampanan, tetapi semua orang dapat tampil menarik dengan berpakaian bersih, rapi, dan serasi. Raut muka mencerminkan keterbukaan dan persahabatan, kumis dan janggut tercukur rapi, rambut tersisir rapi, make up tidak berlebihan, menarik, berwibawa, dan jauh dari kesan angker, galak dan tidak bersahabat.
c.Sopan dalam tindakan
Tindak tanduk petugas pelayan baik sedang tidak bertugas dan terlebih pada saat sedang bertugas harus selalu "correct" sehingga dihormati dan disegani oleh lingkungan maupun masyarakat penerima pelayanan. Membanting berkas, merokok, atau sambil makan pada saat melayani adalah perbuatan yang perlu dihindarkan karena sangat tidak sopan, atau mengobrol seenaknya dengan teman sejawat dengan membiarkan orang yang membutuhkan pelayanan menunggu terlalu lama.
d.Sopan dalam bertutur kata
Bertutur kata secara balk, tidak dibenarkan menge­luarkan kata-kata yang menyinggung perasaan apalagi merendahkan martabat seseorang, tetapi juga tidak perlu basa basi yang berlebihan selungga mengganggu masyarakat lain yang juga membutuhkan pelayanan.
(2) Melayani
Melayani dapat dimaknai sebagai upaya membantu memenuhi kebutuhan orang lain melalui suatu produk berbentuk barang atau jasa. Meningkatnya jumlah penduduk tidak saja diikuti dengan peningkatan kebutuhan tetapi juga semakin bervariasi dan kompleksnya persoalan yang dihadapi. Kompleksitas persoalan dalam masyarakat berimbas pada peningkatan kebutuhan akan pelayanan dan karena itu waktu pelayanan pun tidak terbatas pada jam kerja. Pada saat­saat tertentu pamong praja harus siap selama 24 jam sehari untuk melayani pihak-pihak yang memerlukan pelayanan.
Bervariasinya kebutuhan masyarakat tidak memungkinkan untuk merinci satu per satu bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh pamong praja, namun secara garis besar pelayanan dapat berupa:
a.       Pelayanan surat menyurat yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai warga negara seperti pelayanan akte kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), surat nikah, surat kematian, dan lain-lain;
b.      Pelayanan akan bukti kepemilikan harta benda seperti girik, akta tanah/ sertifikat, BPKB, dan lain-lain;
c.       Pelayanan yang berkaitan dengan kewajiban warga _negara terhadap negara seperti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran STNK, dan lain-lain;
d.      Pelayanan yang berkaitan dengan perizinan, seperti IIv1B, ijin usaha pertambangan, perindustriaan, tempat hiburan atau tempat rekreasi, dan lain-lain;
e.       Pelayanan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, lapangan usaha, seperti puskesmas, posyandu, rumah sakit, gedung­gedung sekolah, pasar, dan lain-lain;
f.       Pelayanan yang berkaitan dengan penyediaan infra­struktur seperti jalan negara, Jalan provinsi, jalan kabu-paten, jalan desa, jalan lingkungan, jembatan, dan lain-lain;
g.      Pelayanan yang berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan sosialisasi kebijakan atau program pemerintah;
h.      Melayani berbagai pengaduan dan keluhan warga negara berkaitan dampak kebijakan pemerintah, atau persoalan-persoalan yang timbul dalam interaksisesama warga masyarakat dalam kehidupan sehari­hari.
i.        Pelayanan terhadap korban bencana alam, kebakaran, korban penggusuran, dan lain-lain.
(3) Melindungi
Melindungi pada dasarnya bertujuan agar masyarakat memperoleh kapastian akan keamanan dan keselamatan lahir batin dan tidak terganggu hak miliknya serta dapat mengupayakan kepentingannya tanpa keraguan akan gangguan pihak lain. Oleh karena itu hal-hal yang perlu dilindungi adalah:
  1. Keamanan dan keselamatan fisik dan psikis warga masyarakat
Pamong praja wajib menciptakan keamanan dan ketertiban sehingga secara fisik warga masyarakat terbebas dari segala macam bentuk tindak kekerasan seperti penghadangan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain. Demikian juga masyarakat harus terlindungi dari segala macam bentuk ancaman, teror, caci maki yang mengganggu ketenteraman psikis.
  1. Kepemilikan atau harta benda warga masyarakat. Tiap warga masyarakat dipastikan memiliki harta benda meskipun dalam jumlah dan besaran yang berbeda dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak. Tidak semua barang-barang tersebut selalu berada dalam pengawasan pemiliknya, oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk menciptakan suatu sistem pengamanan yang memungkinkan barang­barang tersebut tetap menjadi milik dari pemiliknya yang sah, termasuk melindungi harta benda milik negara.
  2. Kepentingan warga masyarakat
Tiap warga masyarakat memiliki kepentingan tertentu atas segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani sawah berkepentingan terhadap pembagian air untuk mengairi sawahnya. Masyarakat perkotaan berkepentingan terhadap penyediaan air bersih untuk kepentingan makan, minum, dan mencuci. Oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.
  1. Melindungi harga diri atau harkat dan martabat masyarakat
Harga din tidaklah dimiliki hanya oleh pimpinan, pejabat, atau orang kaya saja tetapi dimiliki semua orang. Petani, buruh, tukang becak, pegawai rendah, pengangguran Juga memiliki harga diri, memiliki martabat yang harus dihormati. Jangan pernah memarahi seorang bapak di depan anak atau istrinya karena akan menyinggung harga diri, kehormatan dan martabat keluarga bersangkutan.
  1. Melindungi norma atau aturan agar dipatuhi.
Pola interaksi dalam masyarakat dan antara masyarakat dengaan aparat terikat dengan sejumlah nilai/norma maupun aturan-aturan tertulis lainnya. Tugas pamong praja memanikan bahwa aturan yang ada tetap terpelihara dan dijalankan oleh semua pihak. Dengan kata lain pamong praja berkewajiban melindungi keseluruhan aturan agar ditaati dan tidak dilanggar baik oleh masyarakat maupun oleh pamong praja itu sendiri.
  1. Melindungi citra korps pamong praja itu sendiri
Citra Pamong Praja ditentukan oleh perilaku yang ditampilkan oleh Pamong Praja balk pada saat menjalankan tugas maupun di luar tugas. Perilaku baik akan mendapat respons baik sebaliknya perilaku yang tidak baik akan menuai kecaman dari masyarakat. Melindungi citra korps hanya bisa dilakukan oleh anggota Korps Pamong Praja itu sendiri, banyak pihak yang akan memetik keuntungan jika Korps Pamong Praja gagal melindungi masyarakat.
(4) Mengayomi
Mengayomi berarti melakukan suatu tindakan yang mem­buat orang lain atau masyarakat merasa nyaman dan am=, bebas dari berbagai kehawatiran. Masyarakat akan merasa terayomi apabila Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya secara sopan, melayani, dan melindungi seperti diuraikan di atas. Di samping itu, Pamong Praja harus dapat berperan:
  1. Sebagai guru
Kita memahami bahwa tugas guru adalah mentranfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai moral, budi pekerti, terhadap para murid-muridnya. Pamong Praja dapat berperan sepecti halnya guru dengan mernberi pencerahan dengan berbagi pengetahuan clan pengalaman terutama dalam hal penyelenggaraan pemerintahan sehingga masyarakat mendapat nilai lebih (added value) dalam bergaul dengan Pamong Praja.
  1. Sebagai bapak atau orang yang dituakan Maknanya adalah bahwa Pamong Praja harus dapat memberi nasehat, petuah clan wejangan-wejangan yang mampu membangkitkan semangat hidup clan perlunya kerja keras. Pamong Praja harus dekat dengan masyarakat layaknya seorang bapak yang dekat dengan anaknya clan dapat menjadi contoh teladan dalam bertindak dan bertingkah laku. Pamong Praja yang muslim yang bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas muslim harus sering shalat berjamaah di masjid. Demikian juga Pamong Praja yang non muslim bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas non muslim juga harus sering tampak bersama jamaah di gereja, pure, kelenteng, atau tempat ibadah non muslim lainuya.
  2. Sebagai pemimpin
Tugas seorang pemimpin pada hakekatnya adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Pamong Praja adalah pemimpin yang bertugas menggerakkan masyarakat melalui penggalangan peranserta masyarakat untuk membangun daerah tempat tugasnya sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Pada kepemimpinan ASTRABRATA dapat dijadikan pedoman dalam kepemimpinan Pamong Praja.
Dengan berpegang pada etika profesi di atas pamong praja diyakini akan dapat menjalankan tugas seb4uk-baiknya dan sekaligus dicintai masyarakat.
Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.

1.      Jelaskan  kode etik Pamong Praja yang saudara ketahui ?
2.      Jelaskan tugas Pamong Praja ?
3.      Sebutkan dan jelaskan   unsur-unsur dalam etika?
4.      Apa syarat yang harus dipenuhi Pamong Praja untuk dapat melaksanakan etika profesinya ?
5.      Uraikan hal-hal yang menjadi rumusan kode etik  Pamong Praja!

Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar  yang menyangkut kode etik Pamong Praja. Untuk menjawab semua soal di atas baca dengan seksama hingga paham, dan agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
 Pada dasarnya kebutuhan akan pelayanan pemerintah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang berbeda latar belakang pendidikan, golongan, suku, agama, dan wdat istiadat. Agar pelayanan pamong praja dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka pelayanan harus dilakukan berdasarkan rumusan etika profesi pamong praja yaitu: sopan, melayani, melindungi, dan mengayomi atau disingkat "Sopyan linomi" dengan uraian sebagai berikut.
(1) Sopan
Sopan menunjuk pada suatu perbuatan atau tingkah laku yang selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, susila, maupun norma-norma yang terkandung dalam adat istiadat. Sopan dalam tindakan atau perilaku bersumber dari rasa sopan dalam sanubari, oleh karena itu sopan dapat dibagi:
a.Sopan dalam sikap batin
Perasaan menghargai dan menghormati orang lain, tidak mengang;ap diri lebih segalanya dari orang lain, tidak congkak, tidak sombong. Bahwa dirinya memiliki kelebihan kareua berpendidikan tinggi, memiliki jabatan dan berpangkat bukanlah alasan untuk tidak menghormati orang lain karena orang lain pun memiliki kelebihan yang tidak kita miliki
 b.Sopan dalam sikap lahir
Sikap lahir menunjuk pada penampilan fisik petugas pemberi pelayanan. Tidak semua orang mendapat anugerah kecantikan atau ketampanan, tetapi semua orang dapat tampil menarik dengan berpakaian bersih, rapi, dan serasi. Raut muka mencerminkan keterbukaan dan persahabatan, kumis dan janggut tercukur rapi, rambut tersisir rapi, make up tidak berlebihan, menarik, berwibawa, dan jauh dari kesan angker, galak dan tidak bersahabat.
c.Sopan dalam tindakan
Tindak tanduk petugas pelayan baik sedang tidak bertugas dan terlebih pada saat sedang bertugas harus selalu "correct" sehingga dihormati dan disegani oleh lingkungan maupun masyarakat penerima pelayanan. Membanting berkas, merokok, atau sambil makan pada saat melayani adalah perbuatan yang perlu dihindarkan karena sangat tidak sopan, atau mengobrol seenaknya dengan teman sejawat dengan membiarkan orang yang membutuhkan pelayanan menunggu terlalu lama.
d.Sopan dalam bertutur kata
Bertutur kata secara balk, tidak dibenarkan menge­luarkan kata-kata yang menyinggung perasaan apalagi merendahkan martabat seseorang, tetapi juga tidak perlu basa basi yang berlebihan selungga mengganggu masyarakat lain yang juga membutuhkan pelayanan.
(2) Melayani
Melayani dapat dimaknai sebagai upaya membantu memenuhi kebutuhan orang lain melalui suatu produk berbentuk barang atau jasa. Meningkatnya jumlah penduduk tidak saja diikuti dengan peningkatan kebutuhan tetapi juga semakin bervariasi dan kompleksnya persoalan yang dihadapi. Kompleksitas persoalan dalam masyarakat berimbas pada peningkatan kebutuhan akan pelayanan dan karena itu waktu pelayanan pun tidak terbatas pada jam kerja. Pada saat­saat tertentu pamong praja harus siap selama 24 jam sehari untuk melayani pihak-pihak yang memerlukan pelayanan.
Bervariasinya kebutuhan masyarakat tidak memungkinkan untuk merinci satu per satu bentuk pelayanan yang harus dilakukan oleh pamong praja, namun secara garis besar pelayanan dapat berupa:
j.        Pelayanan surat menyurat yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai warga negara seperti pelayanan akte kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), surat nikah, surat kematian, dan lain-lain;
k.      Pelayanan akan bukti kepemilikan harta benda seperti girik, akta tanah/ sertifikat, BPKB, dan lain-lain;
l.        Pelayanan yang berkaitan dengan kewajiban warga _negara terhadap negara seperti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran STNK, dan lain-lain;
m.    Pelayanan yang berkaitan dengan perizinan, seperti IIv1B, ijin usaha pertambangan, perindustriaan, tempat hiburan atau tempat rekreasi, dan lain-lain;
n.      Pelayanan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, lapangan usaha, seperti puskesmas, posyandu, rumah sakit, gedung­gedung sekolah, pasar, dan lain-lain;
o.      Pelayanan yang berkaitan dengan penyediaan infra­struktur seperti jalan negara, Jalan provinsi, jalan kabu-paten, jalan desa, jalan lingkungan, jembatan, dan lain-lain;
p.      Pelayanan yang berkaitan dengan penyebarluasan informasi dan sosialisasi kebijakan atau program pemerintah;
q.      Melayani berbagai pengaduan dan keluhan warga negara berkaitan dampak kebijakan pemerintah, atau persoalan-persoalan yang timbul dalam interaksisesama warga masyarakat dalam kehidupan sehari­hari.
r.        Pelayanan terhadap korban bencana alam, kebakaran, korban penggusuran, dan lain-lain.
(3) Melindungi
Melindungi pada dasarnya bertujuan agar masyarakat memperoleh kapastian akan keamanan dan keselamatan lahir batin dan tidak terganggu hak miliknya serta dapat mengupayakan kepentingannya tanpa keraguan akan gangguan pihak lain. Oleh karena itu hal-hal yang perlu dilindungi adalah:
  1. Keamanan dan keselamatan fisik dan psikis warga masyarakat
Pamong praja wajib menciptakan keamanan dan ketertiban sehingga secara fisik warga masyarakat terbebas dari segala macam bentuk tindak kekerasan seperti penghadangan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain. Demikian juga masyarakat harus terlindungi dari segala macam bentuk ancaman, teror, caci maki yang mengganggu ketenteraman psikis.
  1. Kepemilikan atau harta benda warga masyarakat. Tiap warga masyarakat dipastikan memiliki harta benda meskipun dalam jumlah dan besaran yang berbeda dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak. Tidak semua barang-barang tersebut selalu berada dalam pengawasan pemiliknya, oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk menciptakan suatu sistem pengamanan yang memungkinkan barang­barang tersebut tetap menjadi milik dari pemiliknya yang sah, termasuk melindungi harta benda milik negara.
  2. Kepentingan warga masyarakat
Tiap warga masyarakat memiliki kepentingan tertentu atas segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Petani sawah berkepentingan terhadap pembagian air untuk mengairi sawahnya. Masyarakat perkotaan berkepentingan terhadap penyediaan air bersih untuk kepentingan makan, minum, dan mencuci. Oleh karena itu menjadi tugas pamong untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.
  1. Melindungi harga diri atau harkat dan martabat masyarakat
Harga din tidaklah dimiliki hanya oleh pimpinan, pejabat, atau orang kaya saja tetapi dimiliki semua orang. Petani, buruh, tukang becak, pegawai rendah, pengangguran Juga memiliki harga diri, memiliki martabat yang harus dihormati. Jangan pernah memarahi seorang bapak di depan anak atau istrinya karena akan menyinggung harga diri, kehormatan dan martabat keluarga bersangkutan.
  1. Melindungi norma atau aturan agar dipatuhi.
Pola interaksi dalam masyarakat dan antara masyarakat dengaan aparat terikat dengan sejumlah nilai/norma maupun aturan-aturan tertulis lainnya. Tugas pamong praja memanikan bahwa aturan yang ada tetap terpelihara dan dijalankan oleh semua pihak. Dengan kata lain pamong praja berkewajiban melindungi keseluruhan aturan agar ditaati dan tidak dilanggar baik oleh masyarakat maupun oleh pamong praja itu sendiri.
  1. Melindungi citra korps pamong praja itu sendiri
Citra Pamong Praja ditentukan oleh perilaku yang ditampilkan oleh Pamong Praja balk pada saat menjalankan tugas maupun di luar tugas. Perilaku baik akan mendapat respons baik sebaliknya perilaku yang tidak baik akan menuai kecaman dari masyarakat. Melindungi citra korps hanya bisa dilakukan oleh anggota Korps Pamong Praja itu sendiri, banyak pihak yang akan memetik keuntungan jika Korps Pamong Praja gagal melindungi masyarakat.
(4) Mengayomi
Mengayomi berarti melakukan suatu tindakan yang mem­buat orang lain atau masyarakat merasa nyaman dan am=, bebas dari berbagai kehawatiran. Masyarakat akan merasa terayomi apabila Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya secara sopan, melayani, dan melindungi seperti diuraikan di atas. Di samping itu, Pamong Praja harus dapat berperan:
  1. Sebagai guru
Kita memahami bahwa tugas guru adalah mentranfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai moral, budi pekerti, terhadap para murid-muridnya. Pamong Praja dapat berperan sepecti halnya guru dengan mernberi pencerahan dengan berbagi pengetahuan clan pengalaman terutama dalam hal penyelenggaraan pemerintahan sehingga masyarakat mendapat nilai lebih (added value) dalam bergaul dengan Pamong Praja.
  1. Sebagai bapak atau orang yang dituakan Maknanya adalah bahwa Pamong Praja harus dapat memberi nasehat, petuah clan wejangan-wejangan yang mampu membangkitkan semangat hidup clan perlunya kerja keras. Pamong Praja harus dekat dengan masyarakat layaknya seorang bapak yang dekat dengan anaknya clan dapat menjadi contoh teladan dalam bertindak dan bertingkah laku. Pamong Praja yang muslim yang bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas muslim harus sering shalat berjamaah di masjid. Demikian juga Pamong Praja yang non muslim bertugas pada komunitas mayoritas atau minoritas non muslim juga harus sering tampak bersama jamaah di gereja, pure, kelenteng, atau tempat ibadah non muslim lainuya.
  2. Sebagai pemimpin
Tugas seorang pemimpin pada hakekatnya adalah menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Pamong Praja adalah pemimpin yang bertugas menggerakkan masyarakat melalui penggalangan peranserta masyarakat untuk membangun daerah tempat tugasnya sehingga masyarakat setempat dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Pada kepemimpinan ASTRABRATA dapat dijadikan pedoman dalam kepemimpinan Pamong Praja.
Dengan berpegang pada etika profesi di atas pamong praja diyakini akan dapat menjalankan tugas seb4uk-baiknya dan sekaligus dicintai masyarakat.


POKOK BAHASAN  X
PERANAN PAMONG PRAJA DALAM ERA REFORMASI
Rounded Rectangle: PENDAHULUAN
Euforia reformasi dewasa ini seolah-olah telah menafsirkan peran Pamong Praja dalam tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang telah diukir sejak proklamasi kemerdekaan sampai akhir orde baru.
                                    Ditinjau dari aspek manajemen pemerintahan, tugas dan peran pembinaan lebih dekat dengan fungsi penggerakan, sedang pengawasan sendiri merupakan fungsi penting lainnya dari fungsi manajemen.
Secara teoritis fungsi-fungsi pembinaan tidak berbeda, namun dalam prahanisasi dan cara melaksanakan kemudi pemerintahan daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) perlu diketahui perbedaan dan sifat pembinaannya, agar mebjadi jelas dan tidak simpang siur. Berkaitan dengan hal tersebut dalam kerangka Badan Eksekutif Daerah terhadap perbedaan dan sifat pembinaan yang perlu diketahui unsur-unsur organisasinya.
a.       Unsur pimpinan daerah,
b.      Unsur pembantu pimpinan, dan
c.       Unsur pelaksana


Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka:
a.       Unsur pimpinan adalah Gubernur (Propinsi) dan Bupati/Walikota (Kabupaten/Kotamadya);
b.      Unsur pembantu pimpinan adalah Sekretaris dan Sekretariat Daerah; dan
c.       Unsur pelaksana adalah para Kepala Dinas atau Instansi
Pada setiap pembinaan pemerintahan dibedakan adanya 2 jenis pembinaan yaitu:
a.       Pembinaan organisasi, adalah suatu pembinaan organisasi yang berkedudukan sebagai alat/wadah dan wahana dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokok sebaik-baiknya;
b.      Pembinaan fungsi adalah suatu pembinaan kegiatan-kegiatan fungsional sesuai dengan tugas dan kewajiban suatu organisasi.
Dilihat dari segi tujuannya, pembinaan oleh unsure pimpinan pemerintah daerah adalah:
a.       Untuk menjamin penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna
b.      Untuk meningkatkan SDM baik dari segi mutu dan keterampilan serta kegairahan kerja sehingga menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang.
c.       Untuk menjamin terwujudnya stabilitas daerah
d.      Tetap terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Harold Koontz dan Cyril O’Donnel ( 19..:..) bahwa pengawasan adalah penilaian dan koreksi atas pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh bawahan dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau menjamin tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang digunkan untuk mencapainya dilaksanakan.
Berkenaan dengan standart pengawasan tersebut Harold dan Cyril O’Donnel mengelompokkan dalam 3 (tiga) macam yaitu:
a.       Standar fisik (non moneter);
b.      Standar Moneter yang meliputi: standar biaya, standar modal, standar pendapatan dan sandar upah; dan
c.       Standat abstrak (intangible)
-          Standar fisik
-          Standar biaya
-          Standar pendapatan
-          Intangible standar
      Selanjutnya dalam aplikasi, pelaksanaan pengawasan berorientasi pada:
a.       Menentukan fakta tentang bagaimana tugas-tugas dijalankan;
b.      Mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dari rencana semula;
c.       Meningkatkan efisiensi dan mencapai efektivitas;
d.      Mempermudah tercapainya tujuan;
e.       Menemukan kesalahan; dan
f.       Membimbing agar para pelaksanaan dapat meningkatkan kemampuannya untuk melaksanakan tugas yang telah ditentukan bainya.
Dalam proses pengawasan tersebut beberapa tehnik dapat diambil misalnya dengan:
a.       Pengawasan langsung dalam bentuk:
-          Inspeksi mendadak (sidak)
-          Observasi di tempat (on the spot observation)
-          Laporan di tempat (on the spot report)
b.      Pengawasan tidak langsung dalam bentuk:
-          Laporan tertulis
-          Laporan lisan
Dalam kerangka (frame) pembinaan pengawasan mesti/harus dilakukan dan dalam proses pengawasan terkandung pula unsur-unsur pebinaan. Dengan demikian keduanya saling melengkapi dan bersinergi secara simultan untuk mencapai tujuan organisasi pemerintah daerah serta berdayaguna dan berhasilguna.
Pemerintah daerah dalam posisi sebagai daerah otonom perlu melakukan pembinaan dan pengawasan baik terhadap aparat-aparat yang ada dalam jajarannya maupun terhadap masyarakat di wilayahnya, agar berbagai kemungkinan penyimpangan dapat dihindari sekaligus dalam waktu bersamaan dapat digalang persatuan dan kesatuan bangsa, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan.
Intensitas pembinaan menunjukkan bahwa intervensi/campur tangan pemerintah pusat terlalu mendalam (deep intervention) terhadap pemerintah daerah. Akibat dari campur tangan yang terlalu jauh tentu berimplikasi pada sempitnya ruang gerak pemerintah daerah dalam mengambil keputusan (decisition making) apa yang terbaik menurut dirinya berdasarkan kondisi obyektif dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Kenyataan itu gilirnnya akan menimbulkan ketergantungan (dependency) yang besardan tidak mendewasakan pemerintah daerah.
Komparasi, Aplikasi dan Implikasi Undang-undangNomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Komparasi, Aplikasi dan Implikasi kedua Undang-undang di atas lenih bersifat analisis/akademis yang didasarkan pada isi, semangat dari jiwa pasal-pasal yang mengaturnya, sekalipun demikian terhadap Undang-undang Nomor 5 Than 1974 Aplikasi dilihat dalam perspektif formal, sedangkan implikasinya dilihat dalam perspektif faktual. Adapun terhadap Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Aplikasi dilihat dalam perspektif prediksi dan implikasinya dilihat dalam perspektif proyeksi.
Dilihat dari karakteristiknya pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah memiliki perbedaan sebagai berikut:
a.       Dilihat dari sifat pembinaanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih bersifat operatif (langsung) sehingga impilkasinya pembinaan enderung bersifat pada hal-hal kecil sekalipun. Hal ini jelas memberikan ruang gerak kepada pemerintah daerah karena semuanya serba terpusat/sentralistik.
b.      Dilihat dari isi/muatannya pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 meliputi aspek-aspek ideology, politik, sosbud dan ekonomi serta hankam (terpusat/sentralistik) implikasi dari isi pembinaan yang sentralistik ini maka terjadi penteragaman dalam pembinaan yang mengakibtakan hilangnya cirri khas/jat diri daerah. Daerah tidak dapat berkembang sesuai dengan jati diri budayanya sendiri karena semuanya berjalan dengan monolitik.
c.       Ditinjau dari pembinaan dan pengawasannya pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 motif pembinaan didasarkan pada suatu keinginan agar daerah dapat menjalankan  tugas-tugas dekonsentrasi, desentralisasi dan bertanggungjawab dalam wadah Negara kesatuan RI, keserasian, keselarasan, keseimbangan dan kemerataan antar daerah di bina sedemikian rupa engan harapan terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
d.      Ditinjau dari sasaran pembinaan dan pengawasannya, pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pembinaan pemerintah diarahkan pada aparatur daerah dalam arti luas termasuk di dalamnya DPRD (badan legislative daerah) dan instansi vertikal di daerah dengan Kepala Wilayah/Daerah selaku koordinatornya (selaku wakil pemerintah pusat di daerah).
e.       Dilihat dari mekanismenya, pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dilakukan melalui Departemen Tehnis terutama berkanaan dengan tugas-tugas dekinsentrasi dan tugas pembantuan di bawah koordinasi Kepala Wilayah. Hal ini berimplikasi pada munculnya raja-raja kecil di daerah, karena Kepala Daerah akan lebih menampakkan sosoknya sebagai Kepala Wilayah (Pamong Praja) atau penguasa tunggal di wilayahnya (sentralisasi lokal). Sedangkan mekanisme pelaksanaan pembinaan dan pengawasan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dilakukan melalui dinas-dinas tenis di bawah koordinasi Kepala Daerah. Impilkasi dari aplkasi pembinaan dan pengawasan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini adalah hilangnya sosok raja-raja kecil karena Kepala Daerah semata-mata merupakan Kepala Eksekutif yang dikontrol secara efektif oleh DPRD, satu yang perlu dicegah apabila sering terjadi misi tidak percaya.
f.       Scope/lokus pembinaan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 meliputi semua urusan baik yang telah diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah sendiri maupun tugas-tugas pemerintahan umum dan tugas-tugas pembantuan. Impilkasi dari aplikasi pembinaan yang menyeluruh pada semua urusan ini adalah lumpuhnya antara peran DPRD dan menguatnya peran Kepala Daerah. Keidak seimbangan antara kepala eksekutif dan legislatif daerah, sebagian juga berpangkal dari batasan/ konsep pemerintah daerah yang terdiri atas unsure dan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
g.      Diliha dari fokus pembinaan dan pengawasannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memfokuskan pada penyeragaman dan pemerataan antara daerah, guna memelihara dan memupuk loyalitas daerah. Sentralisasi kekuasaan merupakan strategi menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat dengan harapan daerah commited terhadap Negara Kesatua Ri
h.      Akhirnya dilihat dari orientasi pembinaan dari pengawasannya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berorientasi pada pembinaan organisasi dan fungsi secara berimbang, serasi dan seragam. Akibatnya/implikasi dari orientasi pembinaan seperti ini adalah organisasi dan manajemen pemerintah daerah lebih mementingkan prosedur kerja daripada efektivitas dan efisiensi kerja, sehinngga terkesan birokratis, berbelit tidak rasional (Biro Pathologi).



Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan peranan Pamong Praja dalam era reformasi!
2.      Jelaskan fungsi pembinaan Pemerintah Daerah!
3.      Apa yang dimaksud dengan  pembinaan fungsi? Jelaskan!
4.      Bagaimana hubungan  pengawasan daerah dengan pembangunan daerah? Jelaskan!
5.      Jelaskan apa yang dimaksud  :
a.       Pengawasan Preventif
b.      Pengawasan Represif
c.       Pengawasan Umum

Rounded Rectangle: PETUNJUK  JAWABAN  LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar X yang menyangkut tentang Peranan Pamong Praja di era Reformasi. Untuk menjawab semua soal di atas baca dengan seksama hingga paham, dan agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Pada setiap pembinaan pemerintahan dibedakan adanya 2 jenis pembinaan yaitu:
a.       Pembinaan organisasi, adalah suatu pembinaan organisasi yang berkedudukan sebagai alat/wadah dan wahana dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokok sebaik-baiknya;
b.      Pembinaan fungsi adalah suatu pembinaan kegiatan-kegiatan fungsional sesuai dengan tugas dan kewajiban suatu organisasi.
Pemerintah daerah dalam posisi sebagai daerah otonom perlu melakukan pembinaan dan pengawasan baik terhadap aparat-aparat yang ada dalam jajarannya maupun terhadap masyarakat di wilayahnya, agar berbagai kemungkinan penyimpangan dapat dihindari sekaligus dalam waktu bersamaan dapat digalang persatuan dan kesatuan bangsa, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan.
Intensitas pembinaan menunjukkan bahwa intervensi/campur tangan pemerintah pusat terlalu mendalam (deep intervention) terhadap pemerintah daerah. Akibat dari campur tangan yang terlalu jauh tentu berimplikasi pada sempitnya ruang gerak pemerintah daerah dalam mengambil keputusan (decisition making) apa yang terbaik menurut dirinya berdasarkan kondisi obyektif dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Kenyataan itu gilirnnya akan menimbulkan ketergantungan (dependency) yang besardan tidak mendewasakan pemerintah daerah.

 








POKOK BAHASAN XI
PERKEMBANGAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK

Rounded Rectangle: PENDAHULUAN 
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintah – baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah - pada umunya  belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan masih adanya berbagai keluhan yang datang dari masyarakat sebagai obyek penerima pelayanan, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap aparatur pemerintah. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan.
Bab XI ini terdiri dari 4 (empat) sub pokok bahasan, meliputi perubahan manajemen, paradigma baru pelayanan publik, kualitas pelayanan publik, serta teori dan model pelayanan publik.
Setelah mempelajari bab XI ini Anda diharapkan :
1)      Memahami secara lebih mendalam mengenai tahapan perkembangan manajemen;
2)      Memahami paradigm baru dalam pelayanan publik;
3)      Memahami kualitas pelayanan publik;
4)      Memahami teori dan model pelayanan publik.



            Salah satu sebab ketertinggalan suatu negara dibanding negara lain adalah karena ketertinggalan dari segi manajemennya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) yang mengatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini bukan terletak pada apa yang dikerjakan, melainkan terletak pada bagaimana mengerjakannya (Wasistiono, 2004:4). Artinya permasalahan utama yang dihadapi oleh organisasi pemerintah terletak pada kemampuan manajerialnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Peter F. Drucker (1995) yang menolak menggunakan istilah “under developed country” untuk Negara-negara yang terbelakang. Drucker lebih cocok menggunakan istilah “undermanaged country”, sebab keterbelakangan suatu negara lebih banyak disebabkan oleh ketertinggalan di bidang manajemennya.
            Hal tersebut di atas akan semakin nampak apabila dikaitkan dengan perkembangan manajemen pada umumnya dan manajemen pemerintahan pada khususnya. Berikut diuraikan 5 (lima) tahapan perkembangan manajemen sebagaimana dikemukakan Wasistiono (2004:4).
Rounded Rectangle: Manajemen Generasi Pertama (MG1)
             Manajemen sebagai sebuah kemahiran (know-how) lahir bersama dengan hadirnya peradaban manusia. Sedangkan sebagai ilmu, kelahiran manajemen sulit ditetapkan secara pasti karena sifatnya yang evolutif dan inkremental. Manajamen generasi pertama disebut juga sebagai Jungle Management.
            Ciri utama manajemen generasi pertama ialah pekerjaan yang ada lebih banyak dikerjakan sendiri. Catatan tertulis mengenai apa yang telah, sedang dan akan dikerjakan dapat dikatakan tidak ada. Semua hanya dicatat dalam ingatan orang-orang yang menjalankan kerjasama. Pekerjaan dijalankan secara naluriah tanpa perencanaan, mengalir bersama-sama kehidupan orang-orang yang saling bekerjasama. Dalam menjalankan organisasi digunakan prinsip : doing things by ourself.
Rounded Rectangle: Manajemen Generasi Kedua (MG2)
            Seiring dengan kemajuan  ilmu dan teknologi, manajemen sebagai kemahiran maupun sebagai ilmu sudah mulai menampakkan sosoknya yang utuh. Salah satu pelopor manajemen sebagai sebuah ilmu adalah F.W Taylor (1856-1915) yang dikenal sebagai : bapak Manajemen Ilmiah”.  Ciri utama manajemen generasi kedua adalah penggunaan kewenangan dan kepemimpinan untuk mengarahkan anggota organisasi mencapai tujuannya. Anggota organisasi lebih banyak diposisikan sebagai alat produksi sehingga kurang memiliki kebebasan untuk berkreasi. Kepuasan pelanggan maupun kepuasan anggota organisasi belum diperhitungkan dalam proses manajerial.  Pada generasi ini, berkembang teori-teori kepemimpinan, oleh karena itu manajemen generasi kedua dinamakan pula Management by Direction. Dalam menjalankan organisasi digunakan prinsip : doing things through by the other people.
Rounded Rectangle: Manajemen Generasi Ketiga (MG3)
            Sebagai reaksi dari kelemahan manajemen generasi kedua, para ahli manajemen kemudian mengembangkan konsep-konsep yang baru. Agar anggota organisasi memiliki daya inovasi dan kreativitas, mereka perlu diberi kebebasan. Akan tetapi kebebasan tersebut perlu diimbangi dengan pemenuhan target-target pekerjaan secara kuantitatif. Dalam kenyataannya target-target kuantitas yang terlampau berat justru memebelenggu kebebasan anggota organisasi dan kemudian menimbulkan ketegangan jiwa.  Manajemen generasi ketiga dinamakan pula sebagai : Management by Targetting atau Management By Objectives (MBO). Nilai yang diutamakan pada manajemen generasi ketiga adalah produktivitas yang bersifat kuantitas. Tokohnya antara lain Peter F. Drucker.
Rounded Rectangle: Manajemen Generasi Keempat (MG4)
            Perubahan dan perkembangan jaman yang berjalan sangat cepat dan seringkali sulit diperkirakan ternyata telah membuat berbagai konsep dan teori manajemen yang telah dikembangkan pada dekade 1980-an dirasakan tidak sesuai lagi. Munculnya gelombang demokratisasi ketiga (tesis Samuel P. Huntington) mendorong meningkatnya kesadaran konsumen akan hak-haknya. Konsumen yang selama ini dalam posisi pasif menerima produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi, mulai bangkit kesadarannya dan ikut memainkan peran penting di dalam menentukan bentuk, jenis serta kualitas suatu produk. Berbagai ahli kemudian melakukan penelitian dan kajian yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan maupun jurnal manajemen. Salah satu diantaranya adalah Brian L. Joiner (1994) yang menulis buku berjudul “Fourth Generation Management – The New Business Conciousness”. Tulisan tersebut dapat dikatakan sebagai bibit lahirnya manajemen generasi keempat.
            Ciri utama manajemen generasi keempat adalah memadukan  pendekatan ilmiah serta kerja tim untuk mencapai kualitas. Manajemen generasi keempat memupunyai fokus pada kualitas produk yang dihasilkan dalam rangka memberikan kepuasan pada pelanggan (customer satisfaction) disertai kepuasaan anggota organisasinya. Kualitas di sini adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh para pelanggannya, bukan sepihak oleh produsennya.
            Pencapaian kualitas tersebut dilakukan melalui berbagai pendekatan ilmiah berdasarkan hasil penelitian. Pendekatan ilmiah merupakan suatu proses pembelajaran mengelola suatu organisasi sebagai sebuah sistem, pengembangan proses berpikir serta mengambil keputusan dengan berdasarkan data.
            Pada generasi keempat ini, manajemen berangkat dari rasa saling percaya pada setiap orang dengan memperlakukan manusia berdasarkan harga dirinya, kepercayaan dan rasa hormat serta bekerja atas dasar pendekatan menang-menang (win-win approach).
            Manajemen mutu total (total quality management atau TQM) termasuk ke dalam manajemen generasi keempat karena mempunyai fokus yang sama yaitu mengutamakan kualitas.
Rounded Rectangle: Manajemen Generasi Kelima (MG5)
            Manajemen gemerasi keempat yang belum lama muncul dan baru digunakan di kalangan terbatas –khususnya dunia bisnis – ternyata telah disusul dengan embrio lahirnya manajemen generasi kelima. Tokohnya antara lain Charles M. Savage (1990) melalui bukunya berjudul : “ Fifth Generation Management – Integrating Enterprises Through Human Networking”.
            Ciri utama manajemen generasi kelima adalah bagaimana mengintegrasikan organisasi melalui jaringan manusia. Unsur manusia di dalam organisasi dihargai sangat tinggi sebagai individu yang memiliki keahlian tertentu. Individu anggota organisasi bukan sekedar alat produksi.
            Untuk masuk ke dalam manajemen generasi kelima, Savage (1990) menawarkan lima macam transisi yaitu :
1)   transisi dari era industrialisasi ke era ilmu pengetahuan;
2)   transisi dari kegiatan rutin pada kegiatan yang kompleks;
3)   transisi dari kegiatan sekuensial pada kegiatan paralel;
4)   transisi pada prinsip-prinsip konseptual;
5)   transisi pada struktur baru.
            Manajemen pemerintahan sebagai salah satu derivat manajemen secara umum juga mengalami perkembangan seperti yang dikemukakan di atas. Hanya saja, manajemen pada organisasi pemerintah umumnya tertinggal dibandingkan kalangan bisnis, karena pada sektor pemerintah tidak terdapat iklim kompetisi yang mampu menjadi daya dorong untuk melakukan pembaruan. Pekerjaan di sektor pemerintah umumnya bersifat monopoli dan berbasis kewenangan. Monopoli berarti tidak ada kompetisi, tanpa kompetisi tidak akan tercapai efisiensi dan inovasi.
            Di Indonesia, manajemen sektor pemerintah pada umumnya baru masuk pada generasi kedua ataupun ketiga. Masih sangat jarang yang masuk pada generasi keempat ataupun kelima. Hierarkhi dalam bentuk eselonering, orientasi kepada atasan karena faktor budaya serta pengaruh manajemen militer selama masa dwifungsi ABRI, menjadi kendala utama mengembangkan manajemen pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut menghambat penggunaan paradigma baru berpemerintahan yang mensyaratkan adanya hubungan yang lebih egaliter dan heterarkhis.
            Tanpa adanya strategi besar untuk mengubah secara mendasar dan menyeluruh manajemen pemerintahan, maka organisasi pemerintah akan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa. KKN di Indonesia yang seharusnya menjadi musuh bersama bangsa (common enemy), bermula dari kelemahan manajemen, baik mulai dari manajemen perencanaannya sampai pada manajemen kolaborasi dan konflik.

Terminologi pelayanan berasal dan kata service. DeVrye mengatakan ada dua pengertian yang terkandung di dalamnya, yakni “.
.. the attendance of an inferior upon a superior” atau “to be useful”(DeVrey, 1994:8). Pengertian  pertama mengandung unsur ikut serta atau tunduk dan pengertian kedua mengandung suatu kebermanfaatan atau kegunaan. Pengertian kedua dan pendapat DeVrey tersebut sejalan dengan pendapat Davidow dan Uttal yang memberikan pengertian lebih luas yaitu “...whatever enhances customer satisfaction”(Davidow & Uttal, 1989:19). Dengan demikian, dikatakan bahwa pelayanan merupakan suatu usaha untuk mempertinggi kepuasan pelanggan.
Di sisi lain, terminologi publik sering diartikan sebagai sekelompok masyarakat. Masyarakat itu sendiri dapat dipandang dan berbagai pengertian. Frederickson (1997:21) mengungkapkan pengertian public dan bahasa Yunani, yakni: “...The public as a political community-the polis-in which all citizens (that is adult males and nonslaves) participated”. Artinya, publik merupakan suatu masyarakat-polis dan semua penduduk berpartisipasi di dalamnya. Kemudian berkembang di Inggris modern bahwa “...the public to mean all the people in a society, without distinguish between them”. Kedua pengertian ini saling memperkuat pengertian publik atau masyarakat, yakni semua penduduk tanpa kecuali dalam suatu komunitas yang ikut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Terminologi pelayanan dan publik di atas, memberikan dasar pengertian terhadap pelayanan publik. Pelayanan publik didefinisikan oleh Roth (1987:1) sebagai “any services available to the public whether provided publicly (as is a museum) or privately (as is a restaurant meal)”. Any services yang diungkapkan oleh Roth berkaitan dengan barang dan jasa dalam pelayanan. Pelayanan publik yang dimaksud adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh suatu organisasi atau individu dalam bentuk barang jasa kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok atau organisasi.
Dalam penyediaan kebutuhan secara berkelompok dipengaruhi oleh adanya perbedaan secara filosofis barang layanan. Barang dan jasa dalam pelayanan publik oleh Olson dan Lean (1987) dikategorikan ke dalam dua kelompok besar yaitu barang publik (public goods) dan barang privat (private goods). Barang yang satu degan barang yang lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Lean (1987:11-12) mendifinisikan barang publik adalah “A pure public good is defined as a good requiring indivisibility of production and consumption, non rivalness, and non-excludability”. Dengan demikian, barang publik murni dikonsumsi secara bersama dan setiap orang tidak dapat dicegah untuk mengkonsumsinya. Di samping itu, tidak dapat dipisahkan antara konsumen dan produsen. Akibatnya tidak ada seorang pun yang mau memproduksi, sehingga tidak mengundang adanya persaingan.
Kedua jenis barang dengan tiga karakteristik yang berbeda tersebut kemudian dikembangkan oleh Savas (1987:38) menjadi empat, yaitu: “...private goods, toll goods, common pool goods and collective goods”. Pemisah yang digunakan adalah consumptions and exclusion, baik yang bersifat individual maupun joint. Dalam mengkonsumsi dan memproduksi barang, terdapat empat persoalan yaitu adanya altruism, anarchy, the market, and government (McLean, 1987:12). Barang privat (private goods) tidak menimbulkan persoalan bagi pemerintah karena pasar menjadi media untuk pelayanannya. Kejelasan konsumsi dan produksi menyebabkan setiap orang mau menyedialcannya. Dampaknya adalah adanya price and quality competition di pasar. Demikian juga dalam pelayanan pendidikan, peran masyarakat dapat menumbuhkan kualitas pelayanan itu sendiri.
Paradigma administrasi publik tradisional dipengaruhi secara kuat oleh 3 (tiga) aliran utama yang berkembang pada masa gerakan administrasi modern, yaitu Weberian dengan tokoh utamanya Max Weber (1864-1820), the Scientific Management yang dimotori oLeh Frederick Taylor (1911) dan teori Human Relations dan Elton Mayo (1930). Pertama, Aliran Weberian berpendapat bahwa birokrasi yang ideal adalah yang meriekankan pada prinsip efisiensi. Prinsip tersebut meliputi: otoritas bersumber pada hukum formal, birokrasi dibangun dengan struktur hirarki, konsistensi dalam menerapkan peraturan dan impersonal, profesionalisme, kerja penuh waktu, dan segala sesuatu di catat dan diatur dalam perundang-undangan. Kedua, aliran manajemen ilmiah (the sdentific management) mengenal dua prinsip yaitu time and motion studies yang digunakan sebagai penentu standa kinerja dan sistem insentif. Ketiga, aliran human relations menekankan pentingnya hubungan informal dalam bekerja selain hubungan formal (Solomo, 2006).
Paradigma NPM berkembang sebagai bentuk kekecewaan terhadap birokrasi yang semakin tidak efisien, birokrasi yang sangat besar dan kaku dan kinerja yang semakin menurun. Aliran NPM diawali dengan kemunculan teori public choice yang dimotori oleh Buchanan dan Tullock pada tahun 1960-1970 an. Pada intinya aliran ini menekankan pentingnya kekuatan pasar atau kompetisi dalam birokrasi yang didasari kekhawatiran apabila alokasi sumber daya dilakukan melalui mekanisme politik. Pada era ini ide tentang contracting out, privatisasi dan kompetisi antar departemen gencar disuarakan. Berdasarkan aliran public choice ini  berkembang NPM pada era 1980 an yang menekankan paham managerialism yang didasarkan pada metode dan praktik sektor swasta. Secara makro pendekatan ini berorientasi pada struktur birokrasi negara yang ramping (slimming the state) dengan contracting-out dan swastanisasi, sedangkan secara mikro dilakukan dengan manajemen stratejik, manajemen dan anggaran kinerja dan sistem kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik. Pada prinsipnya paradigma ini menekankan pentingnya efisiensi birokrasi dengan pendekatan manajerial.
Paradigma kepemerintahan yang baik (Good Governance/GG) berkembang sebagai bentuk kekecewaan terhadap dominasi negara dan pasar yang sangat kuat dalam pelayanan publik. Sementara itu masyarakat sebagai penerima layanan jasa dianggap sebagai objek semata. Gerakan yang muncul pada tahun 1990 an ini, menempatkan tiga pilar yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (civil society) yang mempunyai peran dan posisi sama penting dalam pelayanan publik. Masyarakat perlu mengetahui pelayanan yang transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan partisipatif dalam mekanisme pelayanan publik.
Pada perkembangan terakhir muncul paradigma The New Public Service Management (NPSM) sebagai penyempurnaan terhadap aliran GG. Aliran ini memadukan prinsip-prinsip dalam NPM dan GG. Dengan mengusung prinsip serving than steering aliran ini menegaskan bahwa pemerintah tetap harus berperan membuat regulasi dan melakukan pelayanan publik pada masyarakat tetapi masyarakat juga diberi peran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tersebut. Perpaduan pergerakan pemerintahan subnasional dengan pergerakan paradigma administrasi publik melahirkan model-model pelayanan yang beragam pada unit-unit yang berada di dalam organisasi subnasional (Denhardt, 2008:174).
 Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tugas pokok pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Menurut  Lembaga Administrasi Negara (1998) :
“Pelayanan umum diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun  dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan    perundang-undangan”.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut Effendi dalam Widodo (2001), mengatakan bahwa :
“Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). ciri sebagai berikut :
1.      Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran
2.      Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
3.      Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a.        Prosedur/tata cara pelayanan
b.       Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif
c.        Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
d.       Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya
e.        Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4.      Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
5.      Efisiensi, mengandung arti :
a.       Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan
b.       Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6.      Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
7.      Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani
8.      Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani  yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama (Rasyid, 1996) yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service), fungsi pembangunan (development) dan fungsi pemberdayaan (empowerment). 
            Buku Delivering Quality Services karangan  Zeithaml, Valarie A. (et.al), 1990, membahas tentang bagaimana tanggapan dan harapan masyarakat pelanggan terhadap pelayanan yang  mereka terima, baik berupa barang maupun jasa. Tujuan pelayanan publik pada umumnya adalah bagaimana mempersiapkannya sesuai kebutuhan publik, dan bagaimana menyatakan dengan tepat kepada publik mengenai pilihannya dan cara memperolehnya. Konsepsi terkini tentang pelayanan publik dikemukakan oleh Denhardt and Denhardt (2003) tentang New Public Service (NPS) yang mengemukakan bahwa NPS adalah sebuah alternatif terhadap konsep administrasi publik yang lama dan konsep New Public Management (NPM). Menurut pandangan mereka ada dua tema pokok yang mendasar NPS yaitu untuk meningkatkan martabat dan manfaat dari pelayanan publik, serta untuk menegaskan kembali nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik sebagai nilai-nilai unggul dari administrasi publik. Menurut Denhardt and Denhardt (2004:181), ada 7 (tujuh) prinsip-prinsip kunci dari NPS, yaitu :
1.      Serve citizens, not customers
2.      Seek the people interest
3.      Value citizenship and public service above entrepeneurship
4.      Think strategically, act democratically
5.      Recognize that accountability is not simple
6.      Serve rather than steer and
7.      Value people, not just productivity.
            Menurut Moenir (2001:28) antara masyarakat, pelayanan umum dan hak asasi merupakan tiga hal yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Oleh karena itu pemerintah memiliki peran yang amat besar dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan harapan mereka. Namun secara faktual kecenderungan yang terjadi adalah rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan birokrasi di Indonesia. Kecenderungan ini terjadi di semua organisasi atau birokrasi pemerintahan, baik di tingkat Pemerintahan Pusat maupun di tataran pemerintahan daerah (Rasyid, 1996:125). Ada beberapa alasan mengapa perhatian terhadap arti pentingnya manajemen pelayanan umum masih relatif terbatas (Wasistiono, 2001:49), antara lain :
a.       Instansi pemerintah pada umumnya menyelenggarakan kegiatan yang bersifat monopoli sehingga tidak terdapat iklim kompetisi di dalamnya. Padahal tanpa kompetisi tidak akan tercipta efisiensi dan peningkatan kualitas.
b.      Dalam menjalankan kegiatannya, aparatur pemerintah lebih mengandalkan kewenangan daripada kekuatan pasar ataupun kebutuhan konsumen.
c.       Belum atau tidak diadakan akuntabilitas terhadap kegiatan suatu instansi pemerintah, baik akuntabilitas vertikal ke bawah, ke samping maupun ke atas. Hal ini disebabkan karena belum adanya tolak ukur kinerja setiap instansi pemerintah yang dibakukan secara nasional berdasarkan standar yang dapat diterima secara umum.
d.      Dalam aktivitasnya, aparat pemerintah seringkali terjebak pada pandangan “etic”, yakni mengutamakan pandangan dan keinginan mereka sendiri (birokrasi), daripada pandangan “emic”, yakni pandangan dari mereka yang menerima jasa layanan pemerintah.
e.       Kesadaran anggota masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara maupun sebagai konsumen masih relatif rendah, sehingga mereka cenderung menerima begitu saja layanan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Terlebih lagi, apabila layanan yang diberikan bersifat cuma-cuma.
f.       Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak demokratis dan cenderung represif seperti yang selama ini dipraktekkan, selalu berupaya menekan adanya kontrol sosial dari masyarakat.
            Osborne dan Gaebler (1996:68)  memberikan pendapat bahwa “Cara program pelayanan sosial yang efektif berjalan akrab, agresif, menggunakan  perasaan”. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku petugas pelayanan harus dapat menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi masyarakat, dengan demikian akan memperlancar kegiatan pelayanan.
Masalah yang terjadi dalam proses pelayanan antara pemerintah dengan masyarakat menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai pelayan masyarakat, tapi ingin dilayani masyarakat (Rasyid, 1996:126). Adanya berbagai keluhan dari masyarakat sebagai pelanggan atas layanan dari proses pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah, secara faktual merupakan gambaran dari rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Padahal perilaku aparat birokrasi ini, sangat menentukan proses pelayanan yang diberikan.
Salah satu tujuan kebijakan otonomi daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratisasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Ndraha (1997:73), pemerintahan adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi, atau menjual alat pemenuh kebutuhan rakyat yang berbentuk jasa publik dan layanan civil. Dalam kaitan ini, kegiatan pelayanan publik dalam prosesnya menunjukkan hubungan dan interaksi antara pemberi pelayanan (pemerintah) dan penerima pelayanan (rakyat/masyarakat). Oleh karena itu hubungan tersebut simetris dengan hubungan antara produser/penjual/distributor dengan konsumen/ pembeli/distributee.
Terdapat beberapa pandangan tentang publik dalam pelayanan. Publik dalam pelayanan dibedakan menjadi publik sebagai “citizens”(Stewart, 1988:59) dan publik sebagai
“customers” (Skeicher, 1992:11). Publik sebagai citizens adalah masyarakat yang dapat berperan aktif dalam pelayanan. Peran masyarakat di sini adalah sebagai pemilik kedaulatan (stakeholder). Itulah sebabnya mereka dapat memainkan peran (1) memenuhi kewajiban sebagai warga negara seperti membayar pajak, (2) menikmati pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, dan (3) berperan aktif melaksanakan kontrol sosial terhadap pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat dapat ikut serta memberikan penilaian pelayanan yang dilakukan pemerintah. Sementara itu, Skeicher membedakan publik dan pelanggan.
Publik diidentifikasi sebagai kelompok umum yang memiliki keterbatasan kekuasaan, sehingga asumsi pelayanannya bersifat paternalistik. Publik sebagai pelanggan diidentifikasikan sebagai individu yang spesifik, mempunyai kekuasaan yang luas dalam menetapkan kualitas pelayanan sehingga asumsi dalam pelayanan berorientasi pada kualitas (Skeicher, 1992:1).
Bertolak pada konsep putting people first (pembeli adalah raja, pelanggan adalah maharaja), maka dalam hubungan tersebut tolok ukur atau standar pelayanan terletak pada kepuasan pelanggan. Baik buruknya pelayanan berbanding lurus dengan kepuasan pelanggan yang menurut Kotler (dalam Tjiptono, 1996:102) bahwa “kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya”. Jadi kepuasan pelanggan dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Dengan demikian kualitas pelayanan ditentukan sejauh mana persepsi masayarakat sebagai pelanggan atau konsumen terhadap pelayanan yang diterimanya. Dengan kata lain, kualitas selalu berfokus pada pada pelanggan atau masyarakat.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang berkualitas, maka organisasi publik atau pemerintah harus mengetahui dan memahami segala tuntutan, keinginan, harapan atau tingkat kepuasan pelanggan. Secara praktis kualitas pelayanan akan terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh faktor-faktor antara lain kesadaran para pejabat, pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup, kemampuan dan keterampilan yang sesuai, dan tersedianya sarana dan prasarana pelayanan (Moenir, 2001:124).
Untuk mengembangkan konsep pelayanan yang berkualitas atau “Service Quality” menurut Zethaml, et.al. (1990), harus dihilangkan empat kesenjangan yang sering terjadi antara pemberi pelayanan dengan pelanggannya. Kesenjangan yang perlu dieliminir tersebut antara lain :
1.      Tidak mengetahui apa yang diinginkan pelanggan
2.      Kesalahan menentukan standar kualitas pelayanan
3.      Kesenjangan kinerja pelayanan
4.      Terjadi kesenjangan antara janji yang diberikan dengan pelayanan yang diterima.
Selanjutnya Zeithaml, Parasuraman dan Berry juga mengemukakan lima dimensi dalam menilai kualitas jasa atau pelayanan (Tjiptono, 1997:14), yaitu :
1.      Tangibles, tercermin pada fasilitas fisik, peralatan, personil dan sarana komunikasi.
2.      Realibility, kemampuan memenuhi pelayanan yang dijanjikan secara terpercaya, tepat.
3.      Responsiveness, kemauan untuk membantu pelanggan dan menyediakan pelayanan yang tepat.
4.      Assurance, pengetahuan dari para pegawai dan kemampuan mereka untuk menerima kepercayaan dan kerahasiaan.
5.      Emphaty, perhatian individual diberikan oleh perusahaan kepada para pelanggan.
Sejalan dengan pandangan tersebut di atas, lebih lanjut menurut Fitzsimmons dan Fitzsimmons (1994:190) terdapat lima determinan kualitas pelayanan yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.      Keterandalan (realibility) kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
2.      Keresponsifan (responsiveness) kesadaran atau keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat.
3.      Pengetahuan atau wawasan (assurance) pengetahuan dan kesopanasantunan, kepercayaan diri dari pemberi pelayanan serta respek terhadap konsumen
4.      Empati (emphaty) kemauan pemberi layanan untuk melakukakn pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
5.      Berwujud (tangible)  penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.
Fitzsimmons dan Fitzsimmons (1994:196) lebih lanjut menambahkan bahwa perspektif yang dapat diukur dari kualitas pelayanan antara lain adalah muatan (content),  proses (process), struktur (structure), hasil atau keluaran (outcome) dan dampak pelayanan (impact). Adapun Ndraha (2003) berpendapat bahwa : “Dimensi-dimensi penilaian terhadap kualitas pelayanan di sektor privat atau bisnis, tidak dapat digunakan begitu saja di sektor publik, lebih-lebih lagi di sektor sipil. Dalam kondisi “no choice” sektor publik, tolok ukur penilaian kualitas bukan kepuasan, tetapi pengertian (understanding, verstehen), penerimaan (legitimasi), dan kepercayaan (yang bersumber pada pengetahuan bahwa pertanggungjawaban pemerintah atas pelayanan jelas dan faktual: saya tahu, maka saya percaya) konsumer.” Pengertian, penerimaan, dan kepercayaan itu dapat ditumbuhkan di kalangan konsumer jika siklus pelayanan kepada masyarakat terbuka dan informasi berakses penuh. Jadi Ndraha kiranya yang menilai tinggi tingkat keterbukaan proses pelayanan, berpendapat kualitas pelayanan itu lebih ditentukan oleh tingkat transparansi dan acessability di mata publik.
Ndraha nampaknya melihat hubungan yang kuat antara ada tidaknya pilihan dengan tingkat kepuasan. Semakin banyak pilihan, semakin memenuhi harapan barang yang dipilih, semakin tinggi kepuasan, sebaliknya semakin sedikit pilihan, semakin kurang memenuhi harapan, semakin sedikit pilihan semakin kurang memenuhi harapan, semakin rendah tingkat kepuasan. Semakin bebas memilih, semakin nyata kepuasan, semakin tiada pilihan, semakin merasa dipaksa atau terpaksa, kepuasan bagi seseorang semakin abstrak. Proses memilih itu sendiri  bergantung kemampuan (tingkat keberdayaan) pemilih.
Penetapan sebuah layanan yang berkualitas, terdapat 3 (tiga) landasan pemikiran seperti
dikatakan Schedler & Felix (2000:125) bahwa:
“Legitimation may be considered to have three layers: basic legitimation is a product of social contract and refers to the state analist structures in general terms; institutional legitimation relates to public management as an institution, arid to its outward manifestations; and individual legitimation is the product of specific contact between management and customers”.
Pemikiran di atas dijelaskan perbedaan ketiga dalam penetapan kualitas pelayanan yang dielaborasi dalam tiga sudut pandang. Pertama, pengaruh kebijakan pemerintah yang melaksanakan mandat dan masyarakat untuk melayani (amanah). Kedua, kualitas yang ditetapkan dan kacamata pemerintah. Ketiga, penilaian terhadap birokrasi yang melakukan pelayanan dan kacamata masyarakat sebagai konsumen.
Sementara itu Skeicher (1992:10) membagi pelanggan dalam pelayanan publik menjadi dua bagian, yaitu pelanggan internal dan eksternal. Perhatian pelayanan sering terfokus pada pelanggan eksternal, yaitu masyarakat sebagai stake holder. Dalam membangun kualitas sebuah layanan tidak hanya dilakukan oleh pelanggan eksternal saja, tetapi juga ikut ditentukan oleh pelanggan internal. Dikatakan oleh Skeicher (1992:12) bahwa “increasingly local authorities are organized in terms of internal clients or purchasers and contractors or providers”. Hal ini sejalan dengan pendapat Rosen (1993:43) pelaku pelayanan adalah pemerintahan daerah, maka pelaku perbaikan pelayanan urnum berasal dan para stake holder, yakni pihak-pihak yang memiliki kepentingan (vested interest) dan peran penting. Para pelakunya dapat digolongkan menjadi dua bagian besar yaitu: eksternal organisasi dan internal organisasi pemerintah daerah. Pelaku pelayanan ekternal pada umumnya para pembayar pajak, pemilih, pejabat negara, media masa, dan federasi tenaga kerja. Pelaku pelayanan internal terdiri atas top manager, middle manager dan para pekerja teknis. Kevitt (1998:9) memasukkan organisasi profesi di dalamnya agar peduli pada standar- standar pelayanan publik.
Dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, disamping pernerintah pusat terdapat pemerintahan subnasional yakni pemerintah daerah yang keduanya mempunyai tugas utama melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Roth (1987:1)
bahwa “... that are generally considered the responsibility of government whether central, regional or local”.
Tugas yang diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan, dapat dipisahkan ke dalam beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut menyangkut pilihan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Leach, et.al.(1994:238), terdapat 4 (empat) model alternatif kewenangan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic authority, residual enabling authority, market oriented authority, dan community oriented enabler.
Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional bureaucratic authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang menyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Sementara itu pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan dasar kewenangan terbatas. Pada umumnya pelayanan yang dilakukan lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik. Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.
Pemerintah daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market oriented authority, merupakan kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang hampir sama dengan residual enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan serta agen koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat community oriented enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas. Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi komunitas (publik) dan akuntabilitas.
Keempat alternatif di atas memberikan peluang bagi setiap pemerintah daerah untuk memilih cara pemberian pelayanan pada masyarakatnya. Pemilihan kewenangan itu berpengaruh pada penyediaan barang dan jasa yang menjadi tanggung jawab baik pemerintah maupun pemerintah daerah. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan pemerintah sesuai penjelasan Olson dalam Schmidtz (1991:1) merupakan “. . a state is first of all an organization that provides public goods for its members the citizens” Dengan demikian pemerintah merupakan organisasi yang bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan.
Teori di atas memberikan gambaran tentang berbagai alternatif pemberian pelayanan. Namun implementasi pelayanan yang dilakukan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan alternatif-alternatif di atas. Pelayanan di Indonesia menggunakan pendekatan sentralisasi dan desentralisasi. Kedua pendekatan merupakan kontinum dan tidak dikhotomi (Hoessein, 2001:9). Pendekatan sentralisasi dalam pelayanan dapat mencerrninkan adanya negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi Negara Kesatuan. Sedangkan pendekatan desentralisasi dapat merepresentasikan kemajemukan masyarakat serta sekaligus menggambarkan adanya pendemokrasian.
Pelayanan yang dilakukan dengan pendekatan desentralisasi, dijelaskan oleh Hoessein (2000:12) bertujuan untuk efisiensi dan demokrasi. Tujuan efisiensi biasanya berpasangan dengan nilai-nilai komunitas politik yang disebut dengan kesatuan bangsa. Sementara itu, tujuan demokrasi berpasangan dengan kemandirian sebagai penjelmaan dan otonomi, efisiensi, dan pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, dalam desentralisasi terkandung makna mengakomondasikan nilai-nilai yang ada pada masyarakat untuk tujuan politik dan birokrasi dalam rangka menciptakan efisiensi birokrasi.
Diterapkannya kebijakan impelementasi otonomi daerah, telah mengubah model pemerintahan di Indonesia yang semula menganut model efisiensi struktural menjadi model demokratik (Hoessein, 2000:13). Manan (2001:107) mengatakan bahwa dengan undang-undang ini, masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk berinovasi, mengembangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai, serta menghasilkan bentuk pemerintah otonom (Manan, 2001:107). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan publik dapat dipenuhi sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat.
 Sementara itu Sudarsono dalam Martani (2000) memaknai otonomi daerah di atas sebagai “inovasi dan kreativitas yang lebih besar dipusatkan di daerah otonom dan juga terkandung makna pemberdayaan potensi masyarakat”. Pemberdayaan ini apabila berjalan dengan baik akan memperkuat mutu penyelenggaraan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Alasan lain yang memperkuat pelayanan publik akan lebih efektif apabila dilakukan oleh pemerintah daerah karena ia dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan pelayanan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut Stewart (1988:3) menjelaskan bahwa:
Management in Local Government has to be understood as part of the public domain, but also with its own special purposes and conditions. The purposes and condition reflect the nature authorities as political institution constituted for local choice in government and as organization for the delivery of public services”.
Lebih lanjut ditegaskannya pula bahwa “A local authority should provide service for the public not to the public. In that simple statement lies a challenge to past and present working”. Pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menjadi komitmen dan concern pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengakomodasi kebutuhan yang bervariasi dari satu lokalitas ke lokalitas yang lain.
Pada umumnya pelayanan dalam bentuk public good, terdapat proposisi lebih atau sama efisiennya jika disediakan oleh pemerintah daerah daripada disediakan oleh pemerintah Pusat. Lebih-lebih lagi bila pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan di wilayahnya, spesifik serta uniform. Seperti ditegaskan oleh Oates (dalam Watt, 1996:15) bahwa:
“..it will always be more efficient (or at least as efficient) for local government to provide the locally preferred levels of output for their respective jurisdictions than for central government to provide any specified and uniform level of output across all jurisdiction”.
Dengan demikian penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan di Indonesia, pada setiap wilayah akan berbeda-beda. Pelayanan publik yang sangat beragam untuk mengakomodasikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, menyebabkan adanya standar pelayanan secara nasional tidak dapat berlaku sepenuhnya. Alasan inilah yang menyebabkan adanya ketidak efisienan terhadap pelayanan publik.
Solusi untuk memberikan pelayanan secara efektif dan efisien, ditawarkan oleh Tiebout dengan menerapkan mekanisme pasar untuk menyelenggarakan pelayanan bagi pemerintah daerah. Secara lengkap Watt (1996:15) mengatakan bahwa “... a form of market could operate for local government which would allow individuals to obtain a close match between what their local government provided and what they wanted”.
Penerapan model mekanisme pasar memungkinkan individu mendapatkan kecocokan antara pelayanan yang disediakan pemerintah daerah dengan kebutuhan yang mereka inginkan. Hal ini berkaitan erat dengan upaya meningkatkan kemandirian sebagai bagian dari tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Berkaitan dengan daerah otonom, Leach, et.al. (1994:4) mengingatkan:
Local authorities are not only providers of services; they are also political institution for local choice and local voice. The key issue for management of local government is how one achieves an organization that not merely out one role but carries out both roles, not separately but in interaction.
Dengan demikian pemerintah daerah sampai dengan kecamatan dan kelurahan/Desa memiliki tugas utama yaitu pelayanan dan juga sebagai institusi politik sebagai saluran adanya local choice and local voice. Local choice dan local voice dalam pelayanan publik dimaknai oleh Hoessein (2001:31) sebagai “... otonomi daerah terkandung otonomi masyarakat setempat. Artinya, masyarakat yang berada dalam teritori tertentu memiliki kemampuan, kekhususan prakarsa dan kemandirian membangun dirinya sendiri.”
Pendapat di atas memperkuat tekanan bahwa pelayanan publik sebaiknya berorientasi untuk masyarakat dan bukan kepada masyarakat. Oleh kerana itu, orientasi dalam pelayanan publik adalah pada kemampuan dan kemandirian sesuai dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Di samping itu, pemerintah daerah sampai dengan Kecamatan dan Kelurahan/desa juga mempunyai fungsi melayani dan mengatur seluruh kepentingan masyarakat. Vickers (dalam Stewart, 1988:4) menyebut sebagai “multi valued choice”. Artinya, dimana pemerintah daerah dipandang sebagai organisasi yang menampung nilai-nilai masyarakat lokal yang dapat menyalurkan suara dan menentukan pilihan secara bebas.
Dalam konteks ini, Stewart (1988:4) mengatakan pemerintah daerah menjadi “multipurpose organization. Hal ini memberikan gambaran bahwa pekerjaan yang menjadi beban pemerintah daerah secara kuantitas jumlahnya cukup banyak dan beragam. Keragaman dan kuantitas beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dalam praktiknya, pemerintah daerah membentuk dinas-dinas daerah sebagai unit operasional. Pembentukan dinas-dinas tersebut dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama disebut oleh Daft (1994:194) sebagai “self-contained product groups” atau oleh Hatch (1997:184) disebut sebagai “multi divisional structure”. Pendekatan kedua oleh Daft dan Hatch disebut sebagai “functional structure”. Kedua pendekatan mi digunakan untuk membedakan berbagai bentuk dinas yang ada pada pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing. Karakteristik tersebut dapat dicermati dan setiap dinas dalam melakukan pelayanan.
Pada praktiknya di Indonesia, kegiatan dinas dapat dikelompokkan menurut fungsi yang hendak dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Tim Peneliti di Lembaga Administrasi Negara (2001), memisahkan fungsi organisasi yang dipraktikkan pada pemerintah daerah menjadi tiga kelompok yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah, yaitu:
a.       dinas yang berfungsi dan menjalankan tugasnya hanya memberi pelayanan saja. Dinas ini memberi pelayanan kepada masyarakat, baik yang dilakukan melalui unit pelaksana teknis maupun yang langsung oleh dinas bersangkutan,
b.      dinas yang berfungsi ganda melaksanakan kegiatan pelayanan secara langsung kepada masyarakat dan mengumpulkan dana sebagai sumber PADS, dan
c.       dinas yang hanya berfungsi untuk mengumpulkan PADS.
Hal ini memberikan gambaran yang jelas terhadap fungsi-fungsi dinas dalam menjalankan tugasnya. Melalui fungsi-fungsi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan.
Tugas-tugas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk kecamatan kelurahan/desa secara langsung dimaksudkan untuk memperdekat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya. Dalam kontek otonomi daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia, pelayanan dengan model di atas dapat memperkuat semangat otonomi. Dengan demikian pemerintah daerah mendapatkan otoritas lebih besar untuk meningkatkan kinerjanya. Dan sisi Pemerintah berharap agar daerah makin akuntabel, ekonomis, dan efisien, dan di sisi lain pemerintah daerah juga perlu mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal.
Pelajaran yang diberikan oleh Amerika Serikat dalam pelayanan publik di tahun 1980-an adalah dengan meningkatkan peran sektor publik, yaitu adanya pergeseran filosofi dan gaya manajemen. Pergeseran itu ditandai oleh lunturnya dikotomi publik dan sektor swasta. Sebelumnya, filosofi, gaya, dan prosedur manajemen sektor swasta sering dicurigai oleh pemerintah daerah. Namun, pada tahun 1980-an pemerintah daerah mulai merujuk sektor swasta sebagai model manajemen. Langkah drastis yang dilakukan oleh Margareth Tatcher di Inggris dengan mengimpor manajer senior dan sektor swasta untuk melakukan reformasi organisasi dan manajemen sektor publik, merupakan salah satu contoh perubahan radikal dalam sektor publik. Dasar pemikiran ini digunakan untuk melakukan reformasi sektor publik. Hal itu merupakan upaya menuju close to the costumer.
Perubahan di atas dalam tataran akademis dikemukakan oleh Pallach & Prohl (dalam Nashold dan Daley, 1999:27), bahwa organisasi pemerintah daerah modern melakukan perubahan orientasi pelayanan publik dengan memberikan beberapa kriteria yang perlu diperhatikan. Terdapat tujuh kriteria pembentuk profil analitis-normatif dan sistem yang berorientasi kinerja untuk pemerintah daerah, yaitu:
(1) Performance under democratic control; (2) citizens and customerorientation (3) cooperation between politicians and administration; (4) decentralized management; (5) controlling and reporting, planning, coordination, and controlling systems allow continuous improvement and adaptation of services to local needs; (6) employee potential; and (7) capacity for innovation and evaluation secured by competition.
Performance under democratic control, diartikan pemerintah daerah merupakan alat bagi masyarakat untuk menyelenggarakan dan menyelesaikan masalah-masalah lokal. Pemerintah daerah tidak hanya menyediakan pelayanan, tetapi juga harus mengetahui kualitas dan tingkat keefektifan penyelenggaraan pelayanan. Di samping itu juga harus akuntabel terhadap publik.
Citizens and customer orientation diartikan pemerintah daerah dapat melihat dirinya sebagai suatu perusahaan. Untuk itu, pelayanan yang dilakukan harus bersahabat, penduduk-pelanggan sebaiknya cukup mempunyai informasi tentang pilihan mereka, umpan balik dan masyarakat sebagai pelanggan digunakan untuk mengetahui keefektifan pelayanan. Di samping itu, sebaiknya masyarakat ikut berpartisipasi dalam perencanaan dan penyediaan pelayanan.
Cooperation between politicians and administration diartikan politisi merupakan perwakilan yang terpilih. Ia berhak menentukan target dan mengawasi kinerja administrasi yang menyediakan pelayanan, baik yang berupa nasihat sebagai ahli maupun informasi untuk pengoparasian pemerintah yang terpilih. Decentralized management diartikan hubungan antara administrasi dan politisi atau pelimpahan wewenang yang dilakukan dan organisasi pelaksana di atas ke organisasi pelaksana di bawahnya. Hal ini diikuti dengan delegasi tanggung jawab dengan pengawasan terhadap pencapaian hasil (outcome).
Controlling and reporting, planning, coordination, and controlling systems allow continuous improvement and adaptation of services to local needs. Hal ini merupakan satu set pekerjaan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi. Setelah kegiatan tersebut adalah sistem pelaporan yang berorientasi pada produk, kemudian menginformasikan kepada instansi di atasnya antara lain departemen fungsional, unit pengawas di tingkat Pusat, dan lembaga politik. Employee potential diartikan karyawan merupakan sumber daya yang paling berharga, sensitif dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja setiap organisasi. Oleh karena itu karyawan didorong untuk berpikir bahwa capacity for innovation and evaluation secured by competition. Ketujuh kriteria di atas merupakan kebutuhan bagi setiap pemerintahan daerah dalam mengadakan perubahan guna menjawab tuntutan perubahan yang ada.
Dalam praktek penyelenggaraan pelayanan menurut Wasistiono (2009) terdapat 4 (empat) macam model pelayanan, yaitu : (1) Spread system,  (2) One Roof System (ORS), (3) One Stop System (OSS) dan (4) OSS dengan Cabang Online.
Model pertama menekankan pentingnya daerah otonom sebagai pelayanan masyarakat, dan masyarakat  secara langsung melalui dinas-dinas secara terpencar, sedangkan model kedua menekankan pelayanan itu melalui unit samsat mengumpulkan berkas, tapi penyelesaian perijinan tetap di dinas masing-masing. Model ketiga, ijin diberikan oleh kepala unit dan dinas memberikan konsultasi teknis.  Sedangkan model keempat, merupakan modofikasi dari model ketiga dan memanfaatkan kecamatan sebagai cabang online, memanfaatkan teknologi e-government. Keempat pendekatan ini bukan merupakan dikhotomi tetapi senantiasa bergerak secara kontinum di antara satu pendekatan ke pendekatan lainnya. Titik berat tujuan dsentralisasi sangat tergantung pada kesepakatan dalam menentukan arah tujuan yang akan dicapai yang dibangun bukan saja oleh unsur utama pemerintahan tetapi juga melibatkan masyarakat lokal. Penekanan terhadap arah tujuan desentralisasi akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan serta institusi yang akan melaksanakan fungsi pelayanan tersebut.
Adanya tarik menarik antara keempat pendekatan tersebut dalam penyelenggaraan pelayanan publik pemerintah tidak dapat dilepaskan dan paradigma administrasi publik yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pendekatan pelayanan efisiensi misalnya, dipengaruhi oleh paradigma administrasi publik tradisional dan The New Public Management (NPM). Sedangkan pendekatan demokrasi lokal banyak diwarnai oleh paradigma Good Governance (GG) dan The New Public Service Management (NPSM).
Pemerintah memiliki kewenangan yang luas dalam pengaturan dan penyelenggaraan pelayanan. Kewenangan pemerintah dalam penyediaan secara mandiri disebut sebagai díscretionary services. Artinya pemerintah mempunyai diskresi yang luas untuk mengatur dan melaksanakan pelayanan publik (Prasojo, dkk, 2002:19). Mengacu kepada luasnya kewenangan tersebut, maka kualitas jenis pelayanan yang diberikan pemerintah sangat tergantung pada komitmen dan kemampuan keuangan pemerintah. Sehubungan dengan tersebut keberadaan kecamatan sebagai perangkat daerah dapat dijadikan instrumen untuk melaksanakan kewenangan penyelenggaraan pelayanan yang efektif, efisien, responsif dan akuntabel.

Rounded Rectangle: LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman praja mengenai materi di atas silakan praja kerjakan latihan berikut ini.
1.      Jelaskan  apa yang dimaksud paradigma baru pelayanan publik!
2.      Jelaskan  kualitas pelayanan publik!
3.      Apa yang dimaksud dengan  model pelayanan publik? Jelaskan!
4.      Bagaimana hubungan otonomi daerah dengan pelayanan publik  ? Jelaskan!
5.       Sebutkan tujuan pelayanan public !

Rounded Rectangle: PETUNJUK JAWABAN LATIHAN
Baca kembali materi kegiatan belajar XI yang menyangkut tentang  perkembangan sektor pelayanan publik . Untuk menjawab semua soal di atas, baca dengan seksama hingga paham, dan agar praja lebih yakin dapat berdiskusi dengan teman kuliah.
Rounded Rectangle: RANGKUMAN
Tugas yang diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan,
dapat dipisahkan ke dalam beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut menyangkut pilihan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Leach,
et.al.(1994:238), terdapat 4 (empat) model alternatif kewenangan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic authority, residual enabling authority, market oriented authority, dan community oriented enabler.
Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional bureaucratic authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang menyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Sementara itu pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan dasar kewenangan terbatas. Pada umumnya pelayanan yang dilakukan lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik. Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.
Pemerintah daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market oriented authority, merupakan kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang hampir sama dengan residual enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan serta agen koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat community oriented enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas. Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi komunitas (publik) dan
Pada praktiknya di Indonesia, kegiatan dinas dapat dikelompokkan menurut fungsi yang hendak dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Tim Peneliti di Lembaga Administrasi Negara (2001), memisahkan fungsi organisasi yang dipraktikkan pada pemerintah daerah menjadi tiga kelompok yang dilakukan oleh dinas-dinas di daerah, yaitu:
a.       dinas yang berfungsi dan menjalankan tugasnya hanya memberi pelayanan saja. Dinas ini memberi pelayanan kepada masyarakat, baik yang dilakukan melalui unit pelaksana teknis maupun yang langsung oleh dinas bersangkutan,
b.      dinas yang berfungsi ganda melaksanakan kegiatan pelayanan secara langsung kepada masyarakat dan mengumpulkan dana sebagai sumber PADS, dan
c.       dinas yang hanya berfungsi untuk mengumpulkan PADS.
Tugas-tugas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk kecamatan kelurahan/desa secara langsung dimaksudkan untuk memperdekat pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya. Dalam kontek otonomi daerah yang sedang dikembangkan di Indonesia, pelayanan dengan model di atas dapat memperkuat semangat otonomi. Dengan demikian pemerintah daerah mendapatkan otoritas lebih besar untuk meningkatkan kinerjanya. Dan sisi Pemerintah berharap agar daerah makin akuntabel, ekonomis, dan efisien, dan di sisi lain pemerintah daerah juga perlu mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Barzelay, 1982, Breaking Through Bureaucracy, University of California, Berkeley.
Danuredjo,S.L.S., struktur administrasi dan sistem pemerintahan di indonesia, lembaga administrsi negara, jakarta, 1961.
Drucker, Peter F., 2001, The Organization of the Future, Elex Media, Jakarta;
Fitzsimmons, James A., and Fitzsimmons, Mona A., 1994, Service Management for Competitive Advantage, Mc Graw Hill, London.
Frederickson, H. G., 1997, The Spirit of Public Administration San Franccisco: Jossey-Bass Publishers.
Huntington, Samuel P., 1991, Gelombang Demokrasi Ketiga, Terjemahan oleh : Asril Marjohan, Penerbit PT Pustaka Grafiti, Jakarta;
Huseini, Martani, 2000, Otonomi Daerah, Integrasi Bangsa, dan Daya saing Nasional: Saka Sakti Suatu Model Alternatif Pemberdayaan Bangsa, Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana STIA-LAN Bandung, 2000.
Indrajit, Richardus Eko., 2002, E-Government – Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital, Andi Yogyakarta;
Joiner, Brian L., 1994, Fourth Generation Management – The New Business Conciousness, Mc Graw-Hill Inc., Singapore;
Kementrian penerangan RI , Kitab Perhimpunan Perundang – Undangan Negara Republik Indonesia jilit I, II ,III
Koentjayaningrat, 1974 ,Pengantar antropologi, penerbit aksara baru, Jakarta.
Koesoemahatmadja, Djenal , 1978,Perkembangan Fungsi dan Struktur Pamong Praja dari Segi Sejarah, alumni Bandung.
Napitupulu, Paimin, 2007, Pelayanan Publik a Customer Satisfacition, Alumni Bandung.
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.
Mc.Lean, Lain, 1987, Public Choice an Introduction, New York.
Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Napitupulu, Paimin, 2007, Pelayanan Publik a Customer Satisfacition, Alumni Bandung.
Nashold, Friede dan Daley, Glenn, 1999, Learning From The Pioneers: Modernizing Local Government. Part One, International Public Management Journal 2 (1).
Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Rineka Cipta.
Ndraha, Taliziduhu, 2009, GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan, Sirao Credentia Center, Tangerang.
Nasrul SH masalah sekitar otonomi j beijveldgronigen jakarta.  
Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi - Mentransformasi Semangat Birokrasi ke dalam Sektor Publik (seri Umum No.17), Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta;
Prasojo, Eko, dkk, 2006, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Jakarta, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Rasyid, Ryass, 1996, Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan, Yarsif Watampone, Jakarta.
Rosen, et al, 1993, Improving Public Sector Productivity, Concept and Practice London: Sage Publication.
Roth, Gabriel, 1987, The Private Provision of Public Services in Developing Countries, EDI Series in Economic Development, Published for the World Bank, Oxford University Press.
Salomo, Roy Valiant. 2006. Scenario Planning Reformasi Administrasi Pemerintah
            Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy Menuju Tahun 2025 Disertasi.
Syafri, Wirman, dan Israwan Setyoko,2008, Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Profesi Pamong Praja, Alqaprint, Jatinangor.
Syafrudin, Ateng, 1963, Pamong Praja Sebagai Golongan Karya Pemerintahan Umum, Singa Marga, Bandung.
Soleh, chobib, dan Bambang Trisantono, 2000, Pamong Praja Dalam Perspektif Sejarah, Citra Utama, Depok
Savage, Charles M., 1990, Fifth Generation Management – Integrating Enterprises Through Human Networking, Digital Equipment Corporation, USA;
Schmidtz, David, 1991, The Limits of Government, An Essay the Public Goods Argument. New York: West View Press.
Skelcher, Chris, 1992, Managing for Service Quality London: Longman.
Stewart, John, 1988, Managing Local Government, Understanding The Management of Local Government, Longman.
Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor.
Watt, Peter A., 1996, Local Government, Principle and Practice, A text for Risk Managers, Publisher is association with The institute of Risk Management by Witherby.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Zeithaml, Valerie A., et.al, 1990, Delivering Quality Services – Balancing Customer Perceptions and Expctations, The Free Press, New York.

1 komentar: